MENGAPA MENGELUH PAK KADES?

Terbaru19 Dilihat

Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom

“Di desa kami tak ada kasus Covid, kami bingung membelanjakan Dana Desa yang diarahkan pusat” Tidak salah muncul keluhan semacam ini. Menarik untuk disimak tentang keluhan para kepala Desa tentang penanganan dampak Covid-19 ini. Meskipun mungkin bersifat kasuistis, hanya keluhan beberapa kepala Desa.

Terbentuk keluhan ini bisa jadi karena kalau pemahaman penanganan Covi-19 hanya terbatas pada pengobatan dan perawatan kasus. Sebenarnya pemahaman penanganan dampak tidak terbatas pada pengobatan kasus dan perawatannya saja, melainkan jauh lebih luas dari itu.

Dewasa ini beban kerja kepala Desa bertambah. Situasi pandemi Covid-19 yang merebak di seantero pelosok negeri mengharuskan pemerintah Desa yaitu kepala Desa dibantu perangkatnya untuk tetap siaga. Tak urung penggunaan Dana Desa misalnya, diarahkan dari pusat pada prioritas penanganan dampak Covid-19.

Jika ditelisik memang cukup berat beban kerja kepala Desa ini. Selain memikirkan penyelenggaraan Pemerintahan juga pembangunan desa untuk menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Kini ditambah dengan keadaan yang “extra ordinary” keadaan luar biasa yang menuntut sikap dan perilaku yang tidak biasa-biasa saja.

Jika tidak dijumpai kasus warga desa yang tidak terpapar virus Covid-19, banyak faktor yang perlu ditelisik. Apakah mobilitas masyarakat keluar desa terbatas, apakah “herd immunity” atau imunitas kelompok tinggi, apakah upaya peningkatan Kesehatan berbasis masyarakat efektif dan sebagainya dan sebagainya.

Upaya pencegahan terpapar Covid-19 yang terkenal sebagai mahluk yang bisa “mancala putra mancala putri’ alias selalu bermutasi, sudah tidak diragukan efektifitasnya. Pakai masker dengan betul, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, hindari kerumunan, batasi mobilitas atau bepergian. Tentu harus ditambah tetap menjaga imunitas dengan berolah raga dan mengonsumsi makanan bergizi seimbang.

Sarana dan prasarana di desa cukup tersedia. Ada PKK, Posyandu dan lembaga kemasyarakatan lain. Masih eksiskah dan berfungsi semua itu? Bagaimana pembinaannya? Memadaikah dukungan sistem, prosedur, organisasi, tatalaksana, kualitas SDM serta dukungan finansial untuk melaksanakan pembinaan secara berjenjang? apakah upaya-upaya yang dilakukan sudah dikaitkan dengan program-program perioritas lain semisal program prioritas percepatan penurunan Stunting yang rapat nasionalnya baru saja selesai digelar oleh Kantor Wakil Presiden RI dikomandani BKKBN?
Tentu ini menjadi pertanyaan-pertanyaan kritis yang memerlukan jawaban.

Sejauh mana upaya-upaya di atas dapat menjadi bagian dalam rencana penanganan dampak Covid-19 desa. Pastinya aturan atau regulasi patut diacu.

Pada dasarnya pemahaman tentang penanganan Dampak Covid-19 tidak terkunci pada pengobatan dan perawatan kasus. Tentu harus lebih meluas dan dalam mencakup upaya-upaya prevetif dan promotif, serta secara komprehensif mencakup baik bidang ekonomi, Kesehatan, pendidikan serta sosial politik. Utamanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara dini. “From conception to death” dari mulai dibentuk dalam kandungan sampai lanjut usia.

Berapa banyak kepala Desa yang berpikir “out off the box” atau berpikir kesamping dan berapa banyak yang melontarkan keluhan akibat bingung membelanjakan anggaran karena tak berjumpa dengan kasus Corona-19.

Kepala Desa kini menjadi seorang yang paling berkuasa di desa. Betapa tidak tokoh yang dipilih masyarakat Desa diberi kewenangan penuh sebagai Pemegang kuasa keuangan dan harta milik desa.

Dulu seorang kepala Desa dipilih karena ketokohannya. Karisma dan wibawa melekat pada dirinya. Sosok yang jadi panutan masyarakat di desanya.

Kini zaman telah berubah. Meski sekarang sarat dengan beragam regulasi, namun keberadaan desa tetap dihargai dan dihormati dengan berbagai keragaman karakteristik dan jenisnya. Pasalnya desa memang sudah ada sebelum NKRI ada. Karena itu punya hak tradisional dan hak berdasarkan asal-usul. Ditambah lagi dengan kewenangan lokal berskala desa. Kewenangan yang dapat memutuskan kepentingan terkait kepentingan masyarakatnya sendiri.

Dengan konstruksi mengabungkan fungsi “self governing community” dan “local self government” Kesatuan masyarakat hukum adat yang memang merupakan bagian wilayah desa ditata sedemikian rupa menjadi desa dan Desa adat.

Melalui Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat desa. Dalam menjalankan tugasnya melekat sederet wewenang. Tidak kurang dari 15 wewenang antara lain memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa, memegang kekuasaan Pengelolaan keuangan dan aset desa, menetapkan Peraturan Desa, menetapkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja desa, membina kehidupan masyarakat, meningkatkan perekonomian desa sampai kepada melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan.

Soal sumber pendapatan tidak kurang dari tujuh sumber tersedia untuk desa yang harus digali Dan dikelola oleh Pemerintah Desa di Bawah pimpinan kepala desa. Ada dari Pendapatan Asli Desa (PAD), bagian hasil pajak dan retribusi kabupaten/Kota, dari Dana Desa (APBN), Alokasi Dana Desa, bantuan keuangan kabupaten/kota, hibah dan lain-lain pendapatan.

Tentu saja dari sisi jumlah uang yang harus dikelola cukup besar. Implikasinya menuntut kapasitas sumberdaya manusia yang kompeten dalam artian pengetahuan, sikap kerja dan keterampilan dan penerapannya yang memadai. Catatan lapangan menunjukkan, 63% kepala Desa berlatar pendidikan SMA atau setaranya. Sisanya SMP dan Sarjana.

Jadi sejatinya, bergembira dan berbesar hatilah Pak Kades jika tak satupun kasus dijumpai di desa. Tetapi tetaplah waspada, jangan sampai sang virus datang bertandang karena abai dan lengah menerapkan protokol kesehatan. Meski tentu banyak hal yang masih perlu ditelaah lebih lanjut dan dihadapi dengan bijak.

Tinggalkan Balasan