Hakekat Manusia dalam Perpektif Pendidikan

Humaniora, Sosbud67 Dilihat

 

Sumber gambar:artikula.id

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, karena telah diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Tidak hanya sempurna dari susunan biologis dan fisiologisnya, namun juga dilengkapi dengan akal pikiran, hati, dan perasaan sehingga membuatnya layak mengemban amanah berat sebagai “Kholifatul fil Ardh”.

 

Dengan kesempurnaan penciptaan tersebut, apakah setiap manusia masih perlu dididik, yang implikasinya setiap orang harus melaksanakan pendidikan dan mendidik diri sendiri. Permasalahannya, apakah manusia mungkin atau dapat dididik?. Hubungan antara manusia dengan pendidikan diawali dari pertanyaan: “Apakah manusia dapat dididik?, Ataukah manusia dapat tumbuh dan berkembang sendiri menjadi dewasa tanpa perlu dididik?”.

Meskipun disadari pengetahuan itu penting, namun masih sering  muncul pertanyaan untuk apakah manusia memerlukan pendidikan?, bukankah tanpa pengetahuan manusia juga bisa hidup. Bagi manusia, kegiatan mengetahui merupakan kegiatan yang secara hakiki melekat pada cara beradanya sebagai manusia.

Istilahnya dalam filsafat ilmu “knowing is a mode of being“. Secara kodrati manusia memiliki hasrat untuk mengetahui. Ada yang hasratnya besar sehingga upaya pencarian pengetahuan sangat tinggi dan tidak kenal menyerah. Akan tetapi, ada pula yang hasratnya rendah atau biasa-biasa saja sehingga tidak bermotivasi mencari pengetahuan. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa semua manusia punya keinginan untuk tahu.

Dalam arti sempit pengetahuan hanya dimiliki makhluk yang bernama manusia. Memang ada yang berpendapat berdasarkan instingnya, binatang memiliki ‘pengetahuan‘. Misalnya, setiap binatang tahu akan ada bahaya yang mengancam dirinya atau ada makanan yang bisa disantap. Seekor harimau tahu persis apakah ada binatang di sekitarnya yang dapat dimangsa atau tidak. Seekor tikus juga tahu bahwa di sekitarnya ada kucing yang siap menerkam dirinya sehingga berdasarkan instingnya dia segera mencari tempat yang aman.

Manusia tidak dapat hidup berdasarkan instingnya saja, walau kadang-kadang juga ada manusia yang memiliki insting yang kuat. Manusia memiliki pengetahuan yang didasarkan atas insting sangat terbatas. Oleh karena manusia merupakan satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang diberi akal, maka ia dapat memperoleh pengetahuan tentang segala hal. Hebatnya lagi, manusia tidak saja mampu memperoleh pengetahuan yang diperlukan dalam hidupnya, tetapi juga mengembangkannya menjadi beraneka ragam pengetahuan.

Ada 5 Asas yang mendasari kesimpulan bahwa manusia itu dapat dididik yaitu:

  1. Asas Potensialitas. Manusia memiliki potensi untuk dapat dididik karena secara fitrah manusia dikarunia akal dan pikiran yang mampu menyerap informasi yang masuk sebagai sebuah sensasi dari panca indra dan mengolahnya menjadi suatu persepsi dan di impelementasikan dalam tindakan. Secara naluriah, manusia memiliki kecendrungan pada hal-hal yang baik, dan akan melakukan perbuatan baik sepanjang potensi kebaikan tersebut tidak dirusak oleh “pendidikan” yang salah.
  2. Asas Dinamika. Manusia selalu aktif baik dalam aspek fisiologi maupun spiritualnya. Ia selalu menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih dari apa yang telah ada atau yang telah dicapainya. Ia berupaya untuk mengaktualisasikan diri agar menjadi manusia ideal baik dalam rangka interaksi atau komunikasinya secara horizontal (manusia-manusia) maupun vertikal atau transcendental (manusia-Tuhan).
    Jika ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan dilakukan dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar menjadi manusia ideal. Di pihak lain, manusia itu sendiri (peserta didik) memiliki dinamika untuk menjadi manusia ideal. Oleh karena itu, dimensi dinamika mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
  3. Asas Individualitas. Sebagai individu, manusia memiliki unsur kedirisendirian (subjektivitas), ia berbeda dari yang lainnya dan memiliki keinginan untuk menjadi seseorang sesuai keinginan dirinya sendiri. Sekalipun ia bergaul dengan sesamanya, ia tetap adalah dirinya sendiri. Sebagai individu ia tidak pasif, melainkan bebas dan aktif berupaya untuk mewujudkan dirinya.
    Pendidikan dilaksanakan untuk membantu manusia dalam rangka mengaktualisasikan atau mewujudkan dirinya. Pendidikan bukan untuk membentuk manusia sebagaimana kehendak pendidik dengan mengabaikan dimensi individualitas manusia (peserta didik). Di pihak lain manusia sesuai dengan individualitasnya berupaya untuk mewujudkan dirinya. Oleh karena itu, individualitas manusia mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat didik.
  4. Asas Sosialitas. Sebagai makhluk sosial manusia hidup bersama dengan manusia lainnya. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan timbal balik. Setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Kenyataan ini memberikan kemungkinan bagi manusia untuk dapat dididik sebab upaya bantuan atau pengaruh pendidikan itu disampaikan justru melalui interaksi atau komunikasi antar sesama manusia.
  5. Asas Moralitas. Manusia memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan tidak baik, dan pada dasarnya ia berpotensi untuk berperilaku baik atas dasar kebebasan dan tanggung jawabnya.
    Pendidikan hakikatnya bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem nilai dan norma tertentu serta diarahkan untuk mewujudkan manusia ideal, yaitu manusia yang diharapkan sesuai dengan sistem nilai dan norma tertentu yang bersumber dari agama maupun budaya yang diakui. Pendidikan bersifat normatif dan manusia memiliki dimensi moralitas karena itu aspek moralitas memungkinkan manusia untuk dapat dididik.

Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, maka pendidikan mutlak harus dilaksanakan. Jika berbagai asumsi tersebut diingkari, kita harus sampai pada kesimpulan bahwa manusia tidak perlu didik, tidak akan dapat didik dan oleh sebab itu kita tidak perlu melaksanakan pendidikan.

Sebuah pendidikan yang benar adalah pendidikan yang mampu mengantarkan setiap insan untuk menjadi manusia seutuhnya, yang memiliki dua kesadaran. Yaitu kesadaran akan kemanusiaanya, sehingga ia tidak lupa akan peran dan fungsinya sebagai manusia di muka bumi yang dibekali dengan akal pikiran dan juga keterbatasannya karena hanya sebagai manusia yang fana. Yang kedua adalah kesadaran akan nilai-nilai transendental, yaitu menyakini bahwa segalanya berawal dan berakhir dari kuasa sang Pencipta Jagad Raya, sehingga pendidikan tidak akan melahirkan manusia yang sombong yang lupa akan jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT.***

Referensi :

  • Hidayat,Syarif Dr. 2019:TEORI, PROSES, DAN KONTEKS SOSIAL BUDAYA PENDIDIKAN. Tangerang:Pustaka Mandiri.

Tinggalkan Balasan