Sumber gambar: Kumparan.com
Di era tahun 80-an kita mengenal istilah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), sebagai sebuah pendekatan belajar yang seyogyanya terpusat pada siswa. Namun, dalam prakteknya istilah CBSA dipelesatkan menjadi Catat Buku Sampai Abis.
Mengapa sampai terjadi sebuah pemelesetan akronim CBSA dari makna yang sebenarnya?. Bisa jadi, dalam implementasinya ada sebuah kesalahan, sehingga yang seharusnya siswa aktif dalam pembelajaran, dengan cara mengamati, bertanya, melakukan sebuah konstruksi pemahaman, dan mengkolaborasikan berbagai informasi menjadi sebuah kesimpulan, tetapi pada kenyataannya siswa sering disuguhi sebuah buku yang harus dicatat di papan tulis dan disalin oleh seluruh siswa.
Namun, kalau kita lihat sisi positifnya, penerapan CBSA dalam arti Catat Buku Sampai Abis dapat melatih siswa untuk terbiasa menulis di buku catatan, sehingga pada akhirnya mereka akan memiliki tulisan yang cukup bagus dan memiliki ketahanan dalam menulis.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi saat ini. Setelah dua dekade berlalu dan kurikulum berganti, para siswa masa kini merasa malas kalau diminta untuk mencatat materi pelajaran. Mereka lebih suka memfotokopi atau meminta soft copy dari gurunya. Efek dari sikap ini adalah mereka jadi jarang menulis dan pada akhirnya tulisan tangan mereka kurang baik.
Kualitas tulisan yang buruk juga berbanding lurus dengan kemampuan menulis. Banyak di antara siswa yang merasa kesulitan apabila diminta membuat tulisan atau mengarang dengan tema bebas. Bisa jadi, hal ini juga sebagai akibat menurunnya kemauan dan minat baca di kalangan siswa.
Kemampuan menulis sangat erat kaitannya dengan kemauan atau minat membaca. Jika minat membaca rendah, maka bisa dipastikan kemampuan menulis pun rendah. Orang yang banyak membaca, akan memiliki kosa kata dan perbendaharaan kata yang banyak, sehingga ia tidak akan kesulitan untuk menuangkan ide dan pemikirannya dalam sebuah tulisan.
Selanjutnya, Kemendikbud memunculkan sebuah gerakan bernama GLS (Gerakan Literasi Sekolah), yang tujuannya untuk kembali memunculkan minat baca para siswa. Para siswa diarahkan untuk membiasakan diri untuk membaca buku, dimulai dari jenis buku yang mereka sukai.
Akhir dari gerakan ini diharapkan siswa memiliki sikap “literate” yaitu sebuah sikap keterbukaan akan informasi sehingga selalu berkembang potensi diri yang dimiliki akibat dari sudah terbiasanya membaca dan menulis.
Tak dapat disangkal lagi bahwa membaca adalah “jendela dunia”. Dengan rajin membaca kita akan memiliki banyak ilmu dan pengetahuan. Menulis adalah tindak lanjut dari pembiasaan membaca. Orang yang sudah terbiasa menulis, maka ia akan memiliki Kemampuan berbahasa yang baik, memiliki kreatifitas yang tinggi, dan emosinya lebih terkendali.
Banyak orang yang merasa bahwa menulis adalah sebuah pekerjaan yang sulit, karena harus merangkai kata menjadi sebuah kalimat, merangkai kalimat menjadi sebuah paragraf, dan seterusnya. Namun, ada juga orang yang menjadikan menulis sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan dan mudah.
Sulit atau mudah adalah sebuah persepsi yang kita bangun di alam pikiran. Dalam kenyataannya sesuatu yang kita anggap sulit, belum tentu sulit dalam kenyataannya. Begitupun sebaliknya, sesuatu yang kita anggap mudah belum tentu mudah seperti kelihatannya.
Intinya adalah, sebuah kemampuan atau kompetensi di dapat melalui sebuah proses. Kemampuan menulis tidak datang begitu saja sejak kita lahir. Namun, ia berawal dari sebuah minat dan kesadaran dari pentingnya membaca.
Membaca merupakan perintah pertama Allah SWT kepada manusia melalui nabiNya. Dengan membaca yang diawali dari kesadaran akan kebesaran namaNya, kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran melalui perantaraan “qalam” dan budaya tulis, maka dalam jangka panjang akan mampu melahirkan generasi yang maju, cerdas dan berbudi pekerti luhur.
Membaca dan menulis merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Apabila seseorang sudah mempunyai kebiasaan membaca, tetapi tidak diiringi dengan kebiasaan menulis, maka hasil dari proses membaca yang sudah dilakukannya tidak terlalu membawa dampak nyata.
Produk dari sebuah tulisan minimal adalah artikel, dan lebih meningkatnya lagi adalah sebuah buku. Mengutip pernyataan Thamrin Dahlan,SKM,.M.Si seorang penulis dan penggiat Literasi, bahwa: ” Buku adalah mahkota seorang penulis”.
Artinya bagi seseorang yang sudah banyak menulis, maka ia harus mempunyai impian untuk dapat menerbitkan sebuah buku. Seorang penulis yang tidak punya buku ibarat seorang raja tanpa mahkota.
Permasalahan yang muncul adalah terbatasnya akses yang dimiliki seorang penulis untuk dapat menerbitkan tulisannya dalam bentuk buku, selain tentunya masalah permodalan jika buku yang diterbitkan ingin diproduksi secara masal.***