Perjalanan Panjang Berliku “Seorang Pembelajar”

Fiksiana58 Dilihat
Sumber gambar :Twitter.com

 

Sebut saja namanya Royan. Ketika itu usianya sekitar 19 tahun, ia baru saja lulus sekolah di salah satu Sekolah Menengah Umum (SMU) negeri di pinggiran ibu kota. Selayaknya remaja seusianya yang baru lulus SMU, ia berkeinginan melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi negeri. Banyak di antara teman-teman sekelasnya bahkan satu sekolahnya yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi negeri ternama, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Pajajaran (Unpad), dan lain sebagainya. Atas saran dari guru Bimbingan Konselingnya, Royan disarankan agar tidak mengikuti jejak teman-temannya, namun ia diarahkan untuk mendaftarkan diri ke IKIP Jakarta yang pada saat itu bukanlah perguruan tinggi favorit bagi mereka yang mendapat peringkat 10 besar di kelasnya.

Akhirnya iapun berencana mendaftarkan dirinya ke IKIP Jakarta melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Royanpun menceritakan niatnya ini kepada ibunya, sementara ayahnya telah meninggal dunia 4 tahun yang lalu ketika ia masih duduk di bangku SMP. “Bu, saya mau daftar kuliah !”. Ucap Royan kepada ibunya. “untuk apa kamu kuliah, kita inikan orang miskin, tidak ada biaya!”, sudah kamu lanjutkan saja usaha dagang almarhum bapakmu”. Timpal ibunya dengan nada sinis. Mendengar jawaban ibunya, Royan merasa sangat sedih dan putus asa. Dukungan yang ia harapkan datang dari ibunya, ternyata hanya tinggal angan-angan semata. Ibunya tidak merestuinya untuk melanjutkan kuliah dengan alasan tidak ada biaya. Usahanya untuk membujuk ibunyapun sia-sia belaka.

Sampai pada akhirnya ia bertemu dengan guru matematikanya tatkala masih di SMP dahulu. Sang gurunya tersebut bertanya kepadanya, “Royan, kamu sudah daftar UMPTN?”.  “Belum pak, saya tidak boleh kuliah sama ibu saya”, jawab Royan. “Sayang sekali kalau kamu sampai tidak melanjutkan kuliah. Sudah, segera sekarang kamu daftar!, dan nanti kamu belajar yang rajin agar dapat beasiswa, dan saya yakin kamu bisa !”. Ucapan guru Matematikanya ini telah memantik kembali semangat dan motivasi Royan untuk terus mengejar cita-citanya untuk kuliah sebagai calon guru di IKIP Jakarta.

Singkat cerita, Royanpun mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dengan pilihan pertama Program Studi Pendidikan Matematika dan kedua Pendidikan Biologi di IKIP Jakarta. Waktu yang ditunggu-tunggupun tiba. Saatnya ia melihat pengumuman kelulusan di salah satu pusat informasi di bilangan Jalan Salemba Raya. Setelah sekian lama ia memperhatikan sederet nama di papan pengumuman, akhirnya ia menemukan nama dirinya tertulis di antara ratusan nama yang ada. Namun kegembiraannya tidaklah maksimal karena ia diterima di pilihan keduanya yaitu Program Studi Pendidikan Biologi bukan di Pendidikan Matematika. “Alhamdulillah saya diterima di IKIP Jakarta, walaupun bukan pada pilihan pertama, gak apa-apalah daripada saya harus ngangur setahun tidak kuliah”, gumamnya di dalam hati.

Dengan setengah hati akhirnya iapun menerima takdir ini dan memilih tetap kuliah di Program Studi Pendidikan Biologi. Namun perjalanan hidupnya untuk kuliah ini terasa berat, sebab utamanya karena sang ibu tidak juga merestuinya untuk kuliah, bahkan sang ibu sampai terbaring sakit menharapkan Royan agar tidak kuliah.

Hari-hari dilalui Royan dengan penuh berliku. Sering kali ia berangkat kuliah tanpa membawa uang sama sekali, sehingga ia harus membuang rasa malunya untuk sekedar menumpang bus agar sampai ke kampus. Setibanya di kampus dan selesai kuliah, sering waktu istirahatnya diisi dengan membaca Al qura’an sambil menahan lapar karena belum makan siang. Bahkan untuk minum saja ia harus minum air kran tatkala berwudhu. Terkadang ia menyampaikan keluhannya kepada ibunya, bahwa ia sangat capek dan lelah setiap pulang kuliah. “ Bu, saya capek dan lemas sekali !, dari pagi sudah berangkat kuliah dan pulangnya sore, sudah gitu tadi belum makan siang, karena ga ada uang”. Keluh Royan kepada ibunya. Namun bukan kata-kata hiburan dan semangat yang ia dapatkan, justeru kata-kata yang membuatnya malah down dan frustasi. “Suruh siapa kamu kuliah!, sudah dibilangin jangan kuliah, mau tetap kuliah juga!”.

Tanpa terasa waktu berjalan, sudah hampir dua tahun Royan kuliah, namun nilai IPKnya hanya dua koma. Selama kuliah dia harus isi waktu malamnya untuk mengajar les privat untuk sekedar menambah tansport kuliahnya. Itupun yang ia ajarkan bukan mata pelajaran Biologi, tetapi Matematika, Fisika, dan Kimia tingkat SMP/SMA.

Suatu peristiwa yang tidak diharapkan pun terjadi, ibu Royan akhirnya meninggal dunia setelah sekitar 2 tahun lamanya menderita sakit. Ia sedih karena sudah tidak punya lagi kedua orang tua, namun ia berusaha tetap tegar apalagi ia adalah anak pertama dari empat bersaudara. Ia bertekad harus tetap kuliah dan menjadi seorang guru.

Sejak ibunya tiada, semangat Royan untuk menjadi seorang guru tetap terpatri di dalam dada, walaupun ibunya tidak merestui keinginannya untuk kuliah di perguruan tinggi hingga akhir hayatnya. Sudah dua tahun ia kuliah di IKIP Jakarta, namun IPKnya hanya dua koma dan mata kuliah yang lulus masih di bawah rata-rata. Hal ini bisa terjadi karena Royan lebih banyak membaca buku-buku Matematika dan Fisika sebagai bekalnya untuk mengajar les private, ketimbang membaca buku-buku Biologi sesuai dengan program studi yang ia jalani. Ia juga sering menghabiskan waktunya di kampus untuk membaca buku di perpustakaan, dan tidak jarang ia juga sering menyempatkan diri membaca buku-buku tentang sosial, sejarah, dan keagamaan.

Royan adalah orang pertama -di antara teman kampus seangkatannya-yang sudah mempunyai pengalaman mengajar di sebuah SMP swasta di tahun kedua kuliahnya. Royan hanya sebentar mengajar di SMP, kemudian memasuki tahun ketiga masa kuliahnya ia mencoba mengajar di sebuah Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) swasta di pinggiran ibukota. Ketika mengajar di SMP maupun di SMK, mata pelajaran yang diampunya adalah Matematika, bukan Biologi sebagaimana jurusan kuliahnya. SMK tempat ia mengajar adalah kelompok Bisnis dan Manajemen. Untuk mempersiapkan pembelajaran, Royan lebih banyak belajar secara otodidak, terutama terkait materi Matematika keuangan dan ekonomi. Maklum banyak materi Matematika yang ia tidak dapatkan di bangku kuliah.

Sudah menjadi hal yang umum, kalau SMK kelompok Bisnis dan Manajemen lebih banyak didominasi oleh peserta didik Putri. Di sinilah sisi-sisi moral dan etika Royan terusik. Sebagai guru muda yang belum sarjana, Royan sering mendapat godaan dari para siswinya. Dengan bekal nilai-nilai moral yang ia dapatkan dari guru-gurunya, ia merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut. Di satu sisi ia memang bercita-cita ingin menjadi guru walaupun orang sering mengatakan gaji guru itu kecil. Di lain sisi ternyata menjadi guru juga ada ujiannya berupa sikap dari sebagian siswi yang suka menggoda.

Untuk menutup salah satu pintu setan ini, Royan berencana untuk memberanikan diri menikah dengan seseorang yang mempunyai pengertian dan pemahaman agama yang cukup. Dengan berbekal informasi dari salah seorang guru agama yang dikenalnya, akhirnya Royan menikah dengan seorang gadis asli ibukota jebolan salah satu pesantren.

Setelah menikah, Royan berencana pindah kuliah. Alasannya karena jarak kampus dan rumahnya cukup jauh, ditambah lagi  gajinya sebagai guru honorer terbilang kecil. Jatuhlah pilihannya pada salah satu perguruan tinggi swasta di dekat rumahnya, dan ia mengambil program studi Pendidikan Matematika yang selama ini menjadi impiannya. Pilihannya untuk menikah dan pindah kuliah bukanlah perkara kecil, namun ia beruntung memiliki istri yang sabar dan selalu memberikan motivasi yang positif agar setiap impiannya dapat tercapai.

Akhirnya berkat usaha yang gigih dan dukungan istri tercinta, akhirnya Royan berhasil menamatkan pendidikan S-1nya dan menyandang gelar Sarjana Pendidikan Matematika, sebuah gelar akademik yang telah lama ia idam-idamkan. Sebagai wujud rasa syukurnya, tak lupa ia berziarah ke makam ibunya, dan memohon maaf seraya berdo’a semoga ibunya bahagia di alam sana. Semangat pembelajar masih bergelora dan terus menyala di dada Royan, sehingga dia tak menyia-nyiakan gelora semangat tersebut. Tidak lama setelah wisuda sarjana, ia segera mendaftarkan dirinya sebagai mahasiswa Pasca Sarjana Program Pendidikan Matematika demi mengejar impian selanjutnya. ***

Tinggalkan Balasan