Mungkinkah Cinta (part 7)

Cerpen, Fiksiana209 Dilihat

Part Edwin

Aku sengaja mengulur–ulur waktu, mengerjainya tentu saja tidak. Tapi aku ingin lebih lama berdua dengan. Aku melihat wajah kesalnya tapi dia masih terlihat manis. Entah hanya aku yang merasakannya tapi aku tahu sebenarnya dia malu tapi mau. Aku masih saja membuatnya kesal dengan tidak mengatakan apa yang seharusnya dikerjakan. Tingkah dan wajah kesalnya membuatk gemas, seandainya aku tipe laki–laki yang tidak tahu malu, pasti dari tadi tanganku sudah mencubit pipinya yang bersemu merah jambu. Kegelisahaanya membuatku merasa menang, akhirnya aku bisa berdua saja dengan, aku sengaja menghalangi pergi dengan mengatakan mana buku dan pulpenya atau mau menulis langsung di laptop. Apalagi ketika aku mengatakan dia suka panik langsung wajah protesnya jelas ditampaknya.

Part Putri

Untung saja kami hanya berdua, jika tidak aku tidak tahu mahu di taruh dimana mukaku saat Edwin mengatakan aku panikan orangnya. Aku bukan panic tapi aku benar – benar tidak bisa menenangkan hatiku saat ini, semua perasaan menjadi satu ada rasa suka, ada rasa malu dan juga ada rasa jengkel. Seandainya ada mantra yang bisa menghilangkan aku saat ini, kama mantra itu akan aku baca, aku sudah tidak tahan berada berdua saja dengan dirinya.

“Maaf aku masih ada pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan, kirim saja di whatsapp apa yang harus aku kerjakan, kasih datelinenya pasti aku siapkan tepat waktu.” Aku berdiri dan meninggalkan Edwin yang masih terpaku ditempatnya setelah puas mengerjaiku.

“Waalaikumsallam.” Senyumnya itu, walaupun salam yang diucapkannya aku tahu Edwin pasti lagi mengusikku.

Dengan langkah lebar seperti ingin berlari aku menjawab salamnya, dan dapat dipastikan wajahku pasti semerah tomat masak, menyengkelkan.

***

Part Putri

Hari – hariku tidak sama lagi, ada saja yang dilakukan Edwin yang memancing emosiku tapi jika aku hariku tanpa usilnya Edwin semuanya terasa hampa. Seperti hari ini, sudah 2 hari aku tidak mendapatkan chat dari Edwin, entah apa yang terjadi dengan dirinya. Chat terakhir yang aku terima darinya hanya memastikan semua surat pengantar yang kami butuhkan sudah ada dan lengkap.

Besok kami akan memulai KKN, selama 1 bulan aku akan meninggalkan rumah selama itu aku juga harus meninggalkan bimbelku tapi untung saja aku sudah punya cukup tabungan sehingga aku bisa bernapas lega.

Pikiranku kembali melayang kepada Edwin yang sudah dua hari ini tidak mengirim chat, untuk memulai chat aku merasa bukan prosiku yang harus mulainya, semua pekerjaan yang dilimpahkan kepadaku sudah selesai dengan tengat waktu yang diberikannya. Aku tidak melihat ada alasan untuk mendahului chat dengan Edwin.

Dret dret aku terkejut dengan bunyi notifikasi dari handphoneku, secepat kilat aku mengeser layar hanphoneku dan nampaklah satu notifasikasi masuk di whatsapp, ku tekan aplikasi whatsapp baru saja diomongin, panjang umurnya si Edwin. Aku membuka chat dari Edwin.

“Assalamulaikum, bisa kerumah sakit Bakti  Husada sekarang?” Astafirullahalazhim tercetus begitu saja dari mulutku(Bersambung)

Tinggalkan Balasan