Hening malam menambah volume aduanku kepada – Nya, sesak dada ini sedikit berkurang semoga besok lebih baik lagi.
Kantuk masih mengelayut di mataku tapi jika aku bermalas – malasan maka asap di dapurku tidak akan mengepul.
Senyum kecut menghias bibirku, jika mengingat bagaimana dulu Emak selalu berkata jika dapurnya tidak akan mengepul jika Ayah malas melaut.
Itu dulu, Emak memasak menggunakan kayu bakar, sekarang orang tidak akan tahu jika dapur digunakan atau tidak karena tidak ada asap dari kayu dapur.
Dengan kantuk berat serta badan yang masih lelah aku memaksakan diri untuk berjalan menuju kamar mandi, tidurku hanya dua jam saja setelah subuh aku baru tertidur.
Mengambil air putih untuk mengisi perut, setelah itu aku berjalan menuju motor butut yang selalu menemani aku pergi mengajar.
Jalan yang mulai padat, untuk orang kantoran jam segini masih duduk sarapan di rumah atau kongkow di kedai kopi yang menjadi adat di kampungku, baru setelah itu mereka mulai beraktivitas.
Sedangkan aku yang notabene pendidik di sekolah negeri tapi nasib belum memihak kepadaku hanya sehingga statusku hanya pegawai honerer saja.
***
Bel panjang sudah berbunyi, mereka siswaku berlari menuju pagar sekolah seakan mereka tidak ingin berlama – lama di sekolah setelah mulai dari jam 7 pagi sampai dengan jam 3.45 sore mereka berada di sekolah.
Aku masih memikirkan apa yang tertulis di chat room yang dikirim adiku kemaren malam yang membuatku tidak bisa tidur.
“Kak, Ayah berhutang kepada tungkulak. Jatuh tempo tiga hari lagi jika tidak melunasi sampan untuk Ayah melaut akan di ambil.” Dadaku merasa nyeri mengingatnya.
Lima juta bukan nominal yang besar bagi mereka yang bergaji besar, tapi aku yang honor dengan gaji Rp 2,5 juta sebulan itu hal yang luar biasa.
“Masih lama Bu Nur.” Lamunanku terganggu oleh ucapan penjaga sekolah.
Aku meliha sekeliling majelis guru ternyata sudah sepi, hanya tinggal aku sendiri.
“Maaf Pak Ilyas, sebentar saya berkemas dulu.” Ucapku malu.
Menuju area parkir sekolah untuk guru, hanya motor bututku yang tinggal sendiri sama seperti diriku.
***
Belum juga aku menyuap makan malamku, suara jeritan gawaiku membuat aku menghentikan suapanku lebih memilih mengangkat gawaiku, jika Mak tahu pasti marah besar.
Emak selalu berpesan jika di depan rezeki tinggalkan semua pekerjaan untuk menghargai rezeki yang ingin dimakan.
Maaf Mak, batinku bukan ingin mengindahkan ajarannya tapi sejak sore hatiku tidak tenang karena telephonku tidak diangkat oleh adikku untuk mengetahui keadaan rumah.
Anak perempuan bukan berarti tidak ada tanggung jawabku kepada Ayah dan Ibu, apalagi Abangku lebih memilih untuk bertransmigrasi ke jambi untuk menghidupi rumah tangganya, minta tolong kepadanya sama dengan mengharapkan embun di siang hari.
“Assalamualikum Nir, sore kakak sudah mentranfer tiga juga sisanya dalam dua hari ini.” Ucapku sedih.
“Iya Kak, Ayah sudah bernegosiasi dengan tengkulak. Mudah – mudahan semua masalah bisa teratasi.” Terdengar suara Adikku begitu pilu mengucapkannya.
“Jaga kesehatan Ayah dan Emak, Kakak usahakan, Insyaallah. Assalamualaikum.” Tak mau berlama – lama yang penting Aku tahu keadaan Ayah Emak sehat.
Menlanjutkan makan dengan setengah hati, setelah selesai aku langsung masuk ke kamar untuk mencari cara bagaimana bisa mencari kekurangan dana untuk Abah.
Sepertiga malam aku duduk bersimpuh menghadap – Nya berdoa dan meminta semoga ada jalan terang untuk masalah sampan Abah. Menunggu subuh aku habiskan dengan membaca alquran.
***
Bel tanda waktu istrihat pertama berbunyi langkahku menuju majelis guru lemah, masih terpikir bagaimana cara mencari kekurangan dana.
Hiruk pikuk diruang majelis guru membuatku tercengang, apa yang diributkan mereka.
“Alhamdulillah, akhirnya bantuan pemerintah untuk kita yang honor keluar juga. Gementar tangan saya ketika menerimanya tadi ucap Bu Naisah.” Deg jantung berdegup kencang mendengarnya, sudut netraku menghangat.
“Bu Nur cepat ke ruang TU, Alhamdulillah ada rezeki buat kita lumayan enam juta potong pajak.” Teman honorku berucap melihat kedatanganku di majelis guru.
Senyumku cerah, ya Allah doaku terkabulkan dengan gerak cepat aku menuju mejaku meletakkan semua perlengkapan mengajar di meja, terus bergegas menuju ruang TU.
***
Senyum tak lepas dari bibirku, menolak pintu ruang ATM bergegas ke tempat pakir dengan hati gembira.
Dengan lincah jariku mengetik nomor Adikku untuk mengabarkan bahwa aku sudah menstranfer kekurangan dana yang dibutuhkan untuk melunasi hutang Abah, semuanya indah pada tempatnya, sepanjang hari setelah mentranfer uang kepada Adikku tak lepas rasa syukurku kepada – Nya.
Hadiah terindah dari – Nya tidak ada yang tahu, berpasrah dengan segala kesulitan dengan tidak lelah berdoa meminta tentu ada jalan keluarnya.
Berita tentang adanya tunjangan tambahan sudah lama, berharap tentu berharap tapi kapan keluarnya tidak ada kepastian dan ternyata ini saatnya, Alhamdulillan batinku.
Sisa uang masih dapat aku simpan untuk kebutuhan mendadak lainnya, kehidupan tidak lepas dari suka dan duka. Mungkin ini hadiah terindah dari kehidupan, mengajarkan untuk bersabar dalam menghadapi kesulitan dan ihklas dalam menjalani tak lupa berdoa.***