Senandung Cinta Kita

Sudah lama tak terdengar lagi beduk yang waktu kecilku menjadi waktu yang ditunggu jika ramadhan tiba. Aku rindu yang beduk itu, bagaimana tidak semua rasa lapar akan terganti dengan rasa kenyang akibat menyantap semua juadah yang sudah disiapkan oleh Emak dari bada’ zuhur tentunya.

Lihatlah semua yang tersaji di atas meja saat ini, semua hidangan yang mengungah selera ada makanan pembuka, dan ditutup dengan desert yang dengan susah payah aku ambil dari youtube walaupun harus mengulangnya beberapa kali tapi lihatlah hasilnya sekarang sungguh memuaskan bisa diadu dengan masakan chef Juna yang katanya sering mengertik setiap makanan yang disajikan oleh peserta master chef yang ditanyakan salah satu TV Nasioanal.

Walaupun bukan bulan puasa tapi aku selalu menyediakan semua makanan seperti bulan puasa karena Kata Emak makanan yang lengkap hanya dihidangkan pada waktu bulan puasa saja, tapi lihatlah setiap hari setelah aku bergelar Nyonya Arsad aku berusaha membuat hidangan seperti hidangan pada bulan puasa.

Setetes air bening meluncur dengan sempurna walaupun aku berusaha menahannya tapi sepertinya hari ini tidak ada alasan untuk tetap menahannya, apakah tidak ada rasa bahwa di luar sana masih banyak orang yang membutuhkan makanan. Sudah lebih empat hari semua makanan yang aku masak hanya menjadi objek masak tapi hanya aku yang memakannya dan sisanya tidak mungkin aku bagi ke tetangga karena sudah terlalu malu untuk membaginya jika waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

“Abang sudah makan, simpan saja atau jika sudah tidak layak makan dibuang saja.” Sudah empat hari ini aku mendengar ucapan yang sungguh diluar nalarku.

Tak bisakah Bang Arsad mengatakan tidak makan di rumah, atau menelepon pukul delapan malam jika harus pulang terlambat sehingga aku bisa memberikan makanan kepada Hansip yang sudah berjasa menjaga lingkungan tempat kami tinggal.

“Abang pulang jam delapan kita makan malam bersama.” Itu ucapan Bang Arsad empat hari ini ketika aku menelepon apakah dirinya makan malam di rumah.

Malam sudah berlalu, ternyata aku tertidur di meja makan dalam posisi terduduk tak ada tanda kepulangan Bang Arsad.

Aku merengangkan otot badanku yang terasa sakit, sambil mengusap air bening yang terus saja menetes, apa yang membuat diri Bang Arsad selama empat hari mengingkari ucapannya sendiri.

Setelah merasa ototku merasa enakan aku mengangkat satu persatu hidangan untuk aku pindahan ke wastafel, sempat melirik jam dinding pukul lima pagi, kemana perginya Bang Arsad.

Belum selesai kerjaku, azan subuh terdengar aku meninggalkan semuanya menuju kamar mandi tidak ada yang bisa menghalangiku untuk menghadap kepada – Nya.

Berkeluh kesah kepada – Nya membuatku merasa lega, melangkahkan kaki menuju dapur untuk menuntaskan kerja yang terkendala.

***

(bersambung)

Tinggalkan Balasan