Bonus Terindah (Part 1)

Cerpen, Fiksiana127 Dilihat

Lelahku berpanjangan setelah selesai memasukkan semua nilai, aku hanya menunggu hasil Penilaian Akhir Tahun siswa – siswa yang aku ajar. Aku melihat icon bateri yang terpapas, tinggal lima belas persen. Aku mematikan laptopku dan mengambil chagernya, setelah itu aku mengambil buku tulis yang sudah beberapa bulan ini menemaniku untuk menuliskan ide bagi mempermudah proses belajar mengajar.

Tugas mulia kata orang – orang, aku seorang guru ASN di sebuah SMA Negeri yang terletak di Kabupaten Pemekaran. Mengabdi sudah lebih sepuluh tahun, dengan siswa yang sudah tidak terhitung jumlahnya. Kadang aku tersenyum sendiri jika mengingat pola tingkah mereka, yang namanya anak baru gede alias Abege, mereka memberikan banyak cerita. Ada yang menganggap aku teman, ada juga yang menganggap aku kakak tapi yang lebih ekstrim salah satu siswaku menginginkan aku menjadi bundanya.

“Bu Cahaya, bagaimana tugas anak – anak apakah lengkap?” suara Bu Indah memecah kesunyian yang dari tadi melandaku.

Sudah tidak banyak guru di majelis ini, mereka pada sudah pulang karena memang sudah jam pulang. Aku sengaja memilih menyelesaikan tugasku di sekolah daripada di rumah pasti amukan Umi akan terdengar. Maklum umurku yang sudah tidak muda lagi selalu menjadi amukan Umi karena aku katanya terlalu cinta profesiku mengurus anak orang daripada mengurus kehidupanku sendiri.

“Biasalah Bu, ada yang lengkap ada juga yang tidak.” Ucapku membalas pertanyaan Bu Indah.

“Kapan nikahnya Bu Cahaya, tidak bosan hidup sendiri. Sebentar lagi kiamat jangan di tunda – tunda lagi.” aku hanya tersenyum mendengar ocehan Bu Indah yang selalu mengomentari ke jombloanku.

“Belum di izinkan dengan yang di Atas.” Ucapku datar sambil melempar senyum kecil kepada Bu Indah.

Aku kembali menyibukkan diri dengan mencoret – coret membuat pantun yang akan aku jadikan bahan mengajar guna melestarikan sastra lama yang menjadi kebangaan daerah tempat asalku.

Belum juga siap sebait pantun, aku mendengar notifikasi di Androidku, dengan malas aku mengambil handphoneku dan membuka aplikasinya.

Sudah beberapa hari ini aku selalu mendapat terror dari orang tua salah satu siswaku, entah apa yang diinginkannya.

“Assalamualaikum Bu Cahaya, apakah hari ini ada pelajaran tambahan?” keningku berkerut membaca chat darinya.

Ilham  namanya, seorang duda beranak dua, salah satu anakknya adalah siswiku yang cerewetnya lumayan banyak. Bisa sakit jantung serta pusing tujuh keliling jika lagi kumat bawelnya tapi pada dasarnaya anak ini hanya kurang kasih sayang, mungkin karena di rawat Ayah yang membuatnya cerewet luar biasa.

Flashback

Bunyi notifikasi memecah kosentrasiku, aku melirik gawaiku. Sudah jam sepuluh malam tidak mungkin mereka mengantar tugas yang aku berikan. Keningku berkerut, jari lentikku membuka sistem gawai melihat aplikasi whatsappku, tak percaya tapi nyata siswiku yang bernama Lia mengchatku.

“Assalamualaikum Bunda, Lia tidak bisa tidur. Boleh telepon?” lama aku memandang chat dari Lia

“Sudah malam, besok saja jumpa disekolah.” Balasku kepada Lia

“Bunda kejam, Lia lagi bête.” Tulisnya dengan menambahkan emoticon menangis yang membuatku tersenyum sendiri melihatnya

“Bicara dengan Ayah saja, ungkapkan apa yang menganjal di hati Lia.” Tulisku lagi

“Sudah, tapi Ayah malah marah besar, Lia telephone ya Bunda, please.” Tulis Lia lagi

Seketika aku di kejutkan dengan bunyi handphone, aku melihat layar handphone ku, benar – benar anak satu ini, baru saja aku mengirim kata OK langsung ditelepon.

“Bunda, Ayah jahat.” Suar tangisnya di seberang sana membuat aku menjadi pilu

“Ada apa Lia.” Ucapku

“Ayah tidak mau mengabulkan permintaan Lia, bunda.” Rengetnya lagi.

“Memangnya Lia minta apa sama Ayah?” tanyaku kepada Lia sambil mematikan laptopku.

“Lia meminta Ayah untuk menikah lagi.” Ucapnya tanpa dosa

“Memangnya Ayah sudah punya calon?” tanyaku penasaran

“Belum, bunda tapi Lia punya calon untuk Ayah.” Aku mengelengkan kepala mendengar ucapan Lia.

“Siapa?” tanyaku penasaran

“Bunda. Mau ya bunda jadi Ibu Lia.” Ucapan Lia sontak membuatku terkejut

“Lia.” Spontan aku menyebut namanya dengan nada tinggi

Aku mendengar suara tangis di seberang telephoneku,

“Bunda sama saja dengan Ayah, jahat.” Setelah mengatakan itu sambungan telephone langsung terputus.

Aku coba menelephone Lia, ada rasa cemas jangan sampai anak itu berbuat nekat, batinku. Sudah lebih dari sepuluh kali aku mencoba menghubungi Lia tapi tidak diangkat, akhirnya aku memberanikan diri menelepon Ayahnya Lia.

Nada sambung ke dua, telephoneku diangkat Ayah Lia

“Assalamualaikum, maaf menganggu Pak Ilham malam – malam.” Ucapku sambil menunggu jawabanan.

“Walaikumsallam Bu Cahaya, ada apa ya menelepon malam – malam.”

“Maaf Pak Ilham, barusan saya bertelephonean bersama anak bapak. Tiba – tiba di matikan, saya cemas. Saya sudah berusaha menelephone lagi tapi tidak diangkat. Apakah Bapak boleh melihat anak Bapak.” Ucapku berhati – hati.

“Sebenarnya ada apa Bu, kenapa ibu terdengar cemas.” Bukannya langsung melihat keadaan anaknya Pak Ilham malah bertanya kepadaku membuat kesal

“Tolong Pak lihat keadaan anak Bapak dulu.” Perintahku kesal

Aku mendengar suara langkah, pasti Pak Ilham menuju kamar anak gadisnya. Tak lama aku menndengar suara ketukan pintu sambil memanggil nama anaknya. Untung saja Pak Ilham tidak mematikan panggilan kami, sehingga aku bisa mendengarkan apa yang dilakukan Pak Ilham. Sudah lebih dari tiga kali Pak Ilham memanggil nama anaknya diberengi dengan ketukan pintu.

Aku berdoa semoga tidak terjadi apa – apa yang membuat aku akan merasa menyesal akhirnya.

Pintu pintu di buka, Alhamdulillah akhirnya pintu dibuka batinku.

“Lia kenapa menangis.” Suara cemas Pak Ilham terdengar olehku.

“Ayah mau apa.” suara Lia terdengar

“Ibu gurumu menelopon, ada apa sebenarnya Lia.” Suara Pak Ilham terdengar

“Bu Cahaya tidak mau menjadi Ibu Lia, Ayah Bu Cahaya jahat.” Kemudian aku mendengar pintu kamar yang di tutup dengan kuat.

Aku benar – benar malu mendengar percakapan mereka, akhirnya aku mematikan telephone secara pihak. Aku memicit pelipisku yang tiba – tiba terasa berat, apa lagi. jangan bilang cobaan menjadi guru termasuk juga cobaan dengan statusku yang masih melajang saat ini.(bersambung)

***

Tinggalkan Balasan