“Seminggu, Mi.” sambil menggelayut di tubuh Umi yang saat ini sudah duduk di ranjangku.
“Ada masalah, sayang?” tanyanya dengan netra Umi menatapku dengan penuh cinta
“Tidak Umi, ini cuti tahunan.” Balasku cepat tidak mau membuatnya gelisah.
“Tapi Umi lihat Ais seperti orang yang ada masalah, tidak ceria seperti biasanya.” Ucap umi sambil mengelus punggungku lembut.
“Umi bisa saja, penat saja Umi.” Aku meyakinkan Umi sambil bermanja – manja kepadanya.
“Sudah, mandi sana, Abi sudah menunggu untuk sarapan,” ucap Umi sambil melangkah meninggalkan aku.
***
Berhenti tidak, berhenti tidak, batinku berperang dengan keputusan yang tarik ulur di benakku saat ini. Aku memandang undangan warna gold di tanganku, apa aku sanggup melihatnya setiap hari setelah ini, batinku melirih.
Undangan inilah yang membuatku mengambil cuti dari kantor, hatiku gagal untuk menerima kenyataan bahwa dia akan menikah dengan orang lain.
“Aisyah ada undangan dari Riahan.” Tanganku bergetar menerima undangan yang disodorkan Nia teman kantorku.
Aku membaca sejenak undangan itu, panas yang terasa di sudut netraku harusku tahan. Senyum miris harus aku berikan semoga Nia tidak curiga.
Hubunganku dengan Raihan menjadi hambar semenjak dengan telak Raihan menolakku, hanya sesekali aku melihat Riahan mencuri pandang kepadaku, tidak ada lagi canda dan tawa di antara kami. Aku selalu menghindar, begitu juga dengan Raihan. Hanya pekerjaan kantor yang sesekali membuat kami harus berdiskusi itupun dengan perasaan cangung yang teramat sangat.
***
“Ais yakin dengan keputusannya.” Abi Umi mempertanyakan keputusanku untuk berhenti kerja dan kembali ke kampung halaman meninggalkan Batam
“Iya Abi Umi, Ais selalu rindu rumah.” Alasanaku untuk tidak membuat Abi Umi curiga akan keputusanku berhenti kerja
“Ais akan menghonor saja, sudah ada SMK yang mau menerima Ais menjadi guru Akuntansi, Abi, Umi,” jelasku kepada Abi Umi.
“Bagaimana dengan honornya, apa tidak menjadi masalah buat Ais.” Tanya Umi lagi
“Ais akan berjualan online Mi, kan sekarang lagi booming berjualan online.” Ucapku berusaha ceria padahal ada yang sakit di sudut hatiku.
“Ya sudah jika itu yang menjadi keputusan Aisyah, Umi Abi hanya bisa mendoakan Ais sukses.” Ucap Umi sambil diaminkan oleh Abi.
Maafkan Ais Abi Umi, bukannya Ais mau menyia–nyiakan gelar Sarjana Ekonomi yang Ais ambil, tapi Ais yakin ilmu Ais akan lebih bermanfaat jika Ais mengajar, batinku. Ais tidak mau membuang waktu Ais dengan mengenang dia yang tidak bisa Ais gapai, cukup sudah Ais menjadi perokok hanya karena untuk melupakannya. Ais janji akan kembali seperti Ais yang dulu, tidak merokok , Ais sadar Ais merusak hidup Ais sendiri. Walaupun sebenarnya alasan ini lebih karena dia, Raihan.***