Ketika Mimpiku Berlalu (1)

Suara riuh rendah tak mengangguku, aku masih menatap lirih jendela kelas seakan ingin menembus asaku yang terkoyak dengan realita yang ada.

“Bagaimana Ais sudah ada keputusan dari kedua orangtua Ais.” Aku menatap Bu Linda yang selalu menjadi keluh kesahku selama menuntut ilmu di sini.

Jika bukan karena usaha gigih beliau bersama walikelasku mungkin aku sudah menyerah untuk meraih nilai – nilai fantastis dengan mengorbanankan waktu bermainku bersama mereka teman – temanku.

Aku mengelengkan kepala menjawab pertanyaan Bu Linda, seakan ada ribuan ton batu menindih sehingga aku tidak bisa mengangukkan kepalaku.

“Bu, kata Bu Cahaya beliau akan membiaya kuliahku tapi Aisyah ragu sampai kapan Bu Cahaya menjadi tempat Ais bergantung. Setahun ini saja semua keperluan sekolah Ais beliau yang membantu.” Ucapku malu.

Ah bukan hanya Bu Cahaya, Bu Lindapun banyak membantu keuangan sekolahku jika saja Abah mempunyai pekerjaan layak mungkin lain jadinya.

Abah selalu mengingatkanku untuk tidak mengulang kesalahannya, karena tidak mendengarkan nasehat kakek jadinya Abah hanya tamat SMA dan menjadi kuli akhirnya.

Sedari SD aku selalu rajin belajar, rangking satu selalu menjadi langganan ku tapi itu semua seakan menjadi beban bagiku, bagaimana tidak rangking satu tapi keterbatasan dana apakah aku bisa mengapai cita, sesak mengayuti dadaku saat ini.

Lamunanku terusik dengan sentuhan lembut di pundakku, sampai lupa kalau saat ini aku masih mengadukan nasibku dengan Bu Linda di ruang konseling.

“Lonceng sudah berbunyi, nanti kita sambung lagi. Pergilah masuk ke kelas, tetap semangat.” Bukan mengusirku tapi aku memang harus meninggalkan ruang konseling yang selalu aku datangi.

Dengan langkah lemah setelah mencium tangan Bu Linda aku melangkah menjauhi ruang konseling menuju kelasku.

***

Menghela napas panjang, berakhir sudah hanya tinggal menunggu hasil ujian akhirku saja.

Tak berharap lagi untuk melanjutkan pendidikan, hanya berdoa dengan nilai – nilai yang sudah menghabiskan waktu mainku mendapatkan kerja yang bisa membantu meringankan beban Abah dan Emak.

Tanganku masih berlumur dengan adonan tepung, kegiatanku setelah ujian akhir membantu emak membuat kue untuk dihantar ke warung serta kantin sekolah yang sudah menghidupi kami selain penghasilan Abah sebagai penjaga sekolah dan malamnya menjadi Hansip di RW tempat kami tinggal, lumayan untuk kami.

Ketukan pintu yang tidak bisa, menganggu pendengaranku dan Emak.

“Tinggalkan adonan tu Ais, buka pintu lihat siapa yang tak sabar mengetuk pintu.” Ucap Emak masih mengaduk adonan inti untuk kue yang kami buat.

Tangan yang berlumur dengan tepung aku kibas berjalan menuju kamar mandi dekat dapur mencuci dan mengelapnya sebelum menuju pintu depan.

Panel pintu aku tekan, wajah terenggah – enggah Iwan tetangaaku menghiasi penglihatanku.

“Ada apa Wan, untung tak pecah pintu rumah aku.” Ucapku menyambut kedatangan Iwan.

“Bapak kau tertimpa pokok yang tumbang dekat sekolah Aisyah sekarang sudah dibawa ke pukesmas. Cepat aku antar ke puskesman.

Iwan menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya menuju motornya yang terpakir dihalaman rumahku.

Bergegas aku mengikuti langkah Iwan dengan perasaan cemas, sambil merapal doa semoga Abah baik – baik saja.

***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan