Setelah sholat isya’ berjamah kami, Aku, Ayah dan Ibu duduk diruang tengah. Tempat dimana kami selalu berkumpul sebelum aku menikah hanya kurang Shakila adik bungsuku. “Bulan depan ada yang meminang adikmu.” Suara Ayah memecah kesunyian kami, sejak kami duduk diruang ini hampir setengah jam tidak ada yang membuka suara.
“Orang mana Yah?” aku bertanya
“Anak Sahabat Yah, kau masih ingat dengan Om Yanto?” Aku mengangguk
“Si Anton, yang seharusnya menjadi jodohmu tapi kau menolaknya” aku tertunduk sedih mendengar penuturan Ayah.
Seandainya saja aku menerima permintaan Ayah tentu akan tidak akan sesakit ini batinku.
“Memangnya Shakila mau?”
“Shakila menyerahkan semua keputusan kepada Ayah dan Ibu.” Jawab Ibuku
“Shakila mana? Sudah hampir jam 8 tapi belum nyampai rumah. Tanyaku kepada Ayah dan Ibu.
“Katanya mau kepesta pertunangan temanya bersama Anton perginya.” Ibu menjelaskan kepadaku.
“Bagaimana dengan dirimu dan Rifai, baik – baik sajakan?” Pertanyaan Ayah membuatku gusar.
“Tidak biasanya kamu datang sendiri, pasti ada yang tidak beres.” Ibu menimpali perkataan Ayah.
“Entahlah Yah, Bang Rifai sudah sebulan tidak pulang. Katanya mengurus usahanya di Kalimantan.”
“Yah, tadi sekretaris bang Rifai datang kerumah.” Ada pergolakan batin dalam hatiku, apakah aku harus menceritakan masalah rumah tanggaku kepada Ayah dan Ibu.
“Kenapa? Rifai sakit, sehingga sekretarisnya datang kerumah. Kenapa tidak telephone saja, jaman sudah maju tapi masih menyuruh sekreataris datang kerumah.” Ibu mengomel mendengar aku bercerita.
“Terus apa yang dikatakan sekretarisnya Rifai?” tanya Ibu
“ Dia hamil, anak Rifai.” Tanpa aku sadari aku mengucapkannya
“Astafirullahalazhim.” Serentak Ayah dan Ibu mengucapkannya
“Sudah kamu telephone si Rifai?” aku hanya menganggukkan kepala atas pertanyaan Ibu
“Ayah bukan mau masuk campur urusanmu dengan Rifai, tapi Ayah masih ingat saat kalian meminta izin untuk menikah, Rifai berjanji tidak akan menyia-yiakan kamu Del.” Intonasi Ayah meninggi
“Kamu Del tidak mau mendengar Ayah, mungkin jika menikah dengan Anto Ibu yakin dia tidak akan membuatmu bersedih.” Isak Ibu mulai terdengar, akhirnya pertahananku juga runtuh.
“Ayah Ibu, belum tentu itu anak bang Rifai.” Aku masih membela bang Rifai
“Kalau gitu telephone dia sekarang, minta dia pulang dan menjelaskan semuanya.” Nada suara Ayah sudah tidak enak di dengar.
“Ayah “
“Telephone sekarang, tidak ada alasan. Ambil handphonemu dan telepon Rifai sekarang.” Aku tidak bisa menolak perintah Ayah. Mengambil handphoneku dan mendail nomor bang Rifai. Nada bunyi tersambung, tapi tidak ada yang mengangkat. Aku mencoba beberapa kali menghubungi bang Rifai, masih sama tidak diangkat.
“Tidak diangkat Yah.” Suaraku putus asa
“Berani macam – macam dengan Anakku, awas kamu Rifai.” Kata Ayah berdiri berjalan menuju kamarnya meninggalkan Aku dan Ibu.
“Percuma rumah besar dan harta berlimpah, jika kau dimadu Del.” Dalam isak Ibu berkata.
Aku mencari perlindungan dalam dekapan ibu, akhirnya kami saling peluk dan tangis yang tidak bisa dihindari lagi.
“Assalamualikum.” Suara adikku mengejutkan Aku dan Ibu
“Ada ada mengapa ibu dan kak Delisha menangis? Ayah mana? Ayah kenapa Ibu? Cemas itu yang ku dengar dari suara adikku.
Aku dan ibu menghapus airmata kami, melepaskan pelukkan karena tidak enak dengan calon Adikku, Anton.
“Ayah tidak apa – apa, Ayah lagi di kamar. Ibu hanya kangen dengan kakakmu, sudah lama kakakmu tidak pulang kerumah.” Ibu memberikan alasan mengapa sampai adikku dan calon tungannya melihat kami menangis sambil berpelukan.
“Dikirain ada apa – apa, Bang Aton ingin pamit bu.” Kata adikku
“Saya pamit bu, salam dengan bapak.” Anton berlalu tanpa menyapaku dengan kata, hanya menganggukkan kepalanya kearahku. Aku membalas menganggukkan kepala juga.
“Kapan datang kak, mana Bang Rifai?” di Kalimantan jawabku pelan
“Menginap di sini kak?” aku mengangguk mengiyakan pertanyaan adikku.
“Shakila masuk ke kamar dulu ya, capek.” Setelah mengatakan itu Adikku berjalan menuju kamarnya.
“Del, jangan cerita apa – apa dengan adikmu dulu.” Aku menganggukkan kepala menyetujui permintaan Ibu.
“Kita istriahat dulu, sana masuk kamarmu. Istirahatlah.” Perintah Ibu, aku mencium pipi Ibu lali berdiri dari dudukku dan berjalan menuju kamar sewaktu aku kecil.
Aku coba mengejamkan mata, tapi mata ini tidak mau terpejam. Tidak biasanya Bang Rifai tidak menelepon kembali jika ia tidak mengangkat telephone dariku. Kecurigaanku semakin besar, apakah ini akhir dari rumah tanggaku. Kepalaku mendadak semakin berat dan pusing yang membuatku meneteskan airmata. Dari kejauhan aku mendengar bunyi mobil yang berhenti dan parkir di depan rumah orangtuaku, siapa yang datang malam – malam begini. Tak lama aku mendengar adikku Shakila memangil namaku dari luar kamarku kerena aku tidak menyawab adikku mengetuk – ngetuk pintu kamarku.
“Kak, ada Bang Rifai.” Mendengar suara Shakila yang mengatakan ada Bang Rifai, aku berusaha untuk bangun dan menuju pintu untuk membukannya.
Pintu terbuka, aku melihat Bang Rifai berdiri di depan kamarku, tanpa berkata Bang Rifai masuk kekamarku dan menutupnya kembali. Bang Rifai meraih tanganku, tapi aku berusaha melepaskannya tapi kepalaku terasa sangat sakit, akhirnya aku tidak ingat apa – apa lagi.
***
ayahnya menakutkan, hehe. Tapi itu tanda sayang sama anak gadisnys.