“Ana uHibbuki” (4)“

“Abang mau bicara sama Ibu, bisa panggilkan Ibu sebentar.” Aku melihat raut terkejut ketika aku mengatakan ingin bicara dengan Ibunya.

“Jangan gegabah Bang, Balqis belum menjawab permintaan Abang.” Dia mencoba menghindar ketika aku mengatakan ingin bicara dengan Ibunya.

“Restu Ibu Balqis dulu yang Abang cari setelah itu Abang akan meminta restu orang tua Abang.” Ucapanku membuat mata Balqis membulat penuh ekspresi yang menurutku lucu.

“Bang.”

“Ibuuu.” Aku memanggil Ibu Balqis.

Aku mendengarkan langkah kaki Ibu menuju ruang depan tempat aku dan Balqis sedang berada.

“Sudah mau pulang nak Akmal?” Tanya Ibu

“Saya mau berbicara dengan Ibu, boleh?” Ibu mengangguk dan duduk dikursi yang masih tersisa diantara kami.

“Maaf bu mungkin saya tidak sopan, tapi Saya bukan anak Abg yang tapi saya sudah bisa bertanggung jawab dengan segala perbuatan Saya.”  Mukadimah kalimat yang tersusun untuk meminta Balqis kepada Ibunya

“Saya hanya minta izin kepada Ibu untuk menta’arof Balqis jika Ibu mengizinkan saya akan datang bersama orangtua saya.” Perkataanku ini sempat membuat Ibu Balqis sedikit terkejut dan memandang kearah Balqis yang dipandang malah menunduk malu.

“Balqis menyerahkan semuanya kepada Ibu, karena itu saya meminta izin dari Ibu.” Aku melanjutkan kata – kataku, sekali lagi aku mendapatkan tatapan bola mata yang membulat penuh. Untuk yang ini memang aku mengarangnya, tapi aku tidak melihat ada pembatahan dari Balqis.

Berarti apapun keputusan Ibu Balqis, aku yakin Balqis akan menerima ta’arupku.

“Balqis bagaimana menurut Balqis?” Ibu malah bertanya kembali kepada Balqis, aku sempat bergetar sambil berdoa dalam hati semoga Balqis menganggukkan kepalanya jika tidak maka duniaku akan hancur. Bukanya aku berharap tanpa mendiskusikannya masalh ini dulu bersama orangtuaku malah aku sudah sholat Istiqarah kepada Allah untuk memantapkan pilihanku walaupun pada awal aku mengatakan kepada Ibuku ada perdebat, aku masih ingat perdebatanku dengan kedua orangtuaku

“Bang memangnya Abang sudah kenal sama gadisnya sampai mau Ayah dan Ibu melamarnya.” Kata Ibuku waktu itu

“Menta’arup anak orang berarti siap untuk menuju jenjang pernikahaan ini bukan hal yang bisa dibuat main – main, Bang.” Ibu masih menyakinkanku

“Ayah, bicaralah Abang belum juga wisuda masa mau menta’arup anak gadis orang.” Ibu meminta bantuan Ayah, jawaban yang diberikan Ayah malah membuatku merasa bersyukur memiliki Ayah sebagai Ayahku

“Bu, jika sudah jodah walaupun kita menentang sekuat tenaga pasti akan bertemu juga. Akmal kan sudah bekerja walaupun di perusahaan Ayah, tapi Ayah sudah melatihnya dari nol bu. Ingat itu? jangan – jangan Ibu tidak rela ada saingan di rumah.” Gurauan Ayah mengena, wajah ibu langsung cemberut.

“Yakinlah Bu, Ibu tetap yang tercantik dan paling disayang. Iyakan Akmal?’ Ayah langsung memujuk ibu ketika melihat wajah Ibu cemberut.

“Bu, semua kreteria yang ada pada Balqis adalah cerminan dari Ibu karena itu Akmal memilihnya. Bukankah Ibu selalu bercerita kepada Akmal bagaimana Ibu bekerja keras membantu usaha Ayah sebelum Ayah sukses. Begitu juga Akmal mau istri Akmal seperti Ibu membantu kesuksesan Akmal, dan itu Akmal rasa Balqis bisa.” Aku masih mencoba membujuk Ibu.

“Ibu…Ibu pikirkan dulu” Kalimat Ibut membuatku spontan membuka mulutku lebar, untung saja tidak ada lalat yang lewat, kalau tidak mulutku pasti dikira lubung untuk bersembunyi.

Ibu meninggalkan Aku dan Ayah, selama  3 hari Ibu mendiamkan Aku.

Baru pagi tadi, sewaktu sarapan Ibu bersuara dan berkata.

“Akmal, jika memang Akmal sudah yakin dengan tekat Akmal untuk menta’arupnya Ibu mau Akmal hari ini juga memintan kepada orangtua, siapa namanya?

“Balqis bu.” Jawabku

“Setelah itu, malam nanti Ayah dan Ibu akan datang meminta Balqis kepada Ibunya.” Aku baru mau membuka mulutku, tapi aku mendengar suara Ibu

“Tidak ada penawaran, jika tidak hari ini Ibu tidak mau datang melamarnya. Titik.” Aku langsung terpaku di tempat dudukku, sarapan nasi goreng yang sudah mau ku suap kemulutku tidak jadi masuk. Dengan santai ibu menuju ke dapur meninggalkan Aku, Ayah dan Adiku dimeja makan.

“Rasain Bang, Nekat lagi. Sekarang Abang lihat Ibu lebih nekat dari Abang.” Suara Adiku membuatku tersadar. Suara Ayah menguatkanku.

“Sudah sana pergi, Ibumu sudah 3 malam ini sholat malam untuk jodohmu, Ayah yakin Balqis dan Ibunya akan menerima.” Itu percakapanku dengan kedua orangtuaku.

Kembali ke percakapan Aku dan Ibunya Balqis,

“Bagaimana bu, atau Akmal minta orangtua Akmal datang sekarang.” Ucapanku membuat Balqis dan Ibunya terkejut.

“Begini saja, sudah hampir magrib Akmal pamit dulu. Setelah bada’ Isya Akmal kembali lagi bersama kedua orangtua Akmal.” Aku meraih tangan Ibu Balqis dan menciumnya, kepada Balqis aku mengucapkan salam. Dan terus meninggalkan rumah Balqis, aku tahu keempat mata mengawasi dengan perasaan yang aku tahu pasti bingung sehingga mereka tidak sempat untuk berkata – kata.

***

Tinggalkan Balasan