Indah Pada Waktunya (1)

Bukankah keturunan itu hak prerogatif Yang maha kuasa, tapi masih saja dipertanyakan oleh manusia. Aku tidak bisa membendung airmata yang sudah penuh dan tak dapat aku tahan untuk membuat aliran sungai dipipiku.

Manusia diciptakan tentu dengan nasib yang berbeda dan segala sesuatunya sudah menjadi janjinya dengan sang Khalid, tak terlepas dengan diriku. Dan aku pasrah dengan semua ketentuanya.

Perjalanan hidup terus saja mempermainkanku, lepas dari masa kecil yang tidak ada Ibu, masa remaja dengan Ayah tiri tidak membuatku merasa aku adalah orang yang kurang beruntung dimuka bumi ini.

Bukannya tidak mensyukuri tapi itulah kenyataan hidup yang aku alami, semua orang percaya dengan kekuasan sang Khalid tapi mengapa mereka masih mempertanyakan hak prerogatif yang Maha Kuasa terhadap diriku.

“Kamu itu bisa tidak memberikan sedikit kebahagian untuk wanita tua ini, Ibu hanya mau cucu, tidak lebih.” Perkataan Ibu mertuaku dua hari yang lalu masih tergiang diteligaku. Sekejap saja aliran airmata sudah membanjiri pipiku. Ya Allah apa yang mesti aku lakukan, bukannya aku tidak mau hamil seperti perempuan diluar sana tapi aku sudah berusaha tapi belum juga dipercayakan untuk memilikinya.

***

“Tidak ada masalah dengan Ibu dan Bapak, mungkin belum waktunya diberikan kepercayaan olehnya saja.” Perkataan dokter kandungan yang memakai kerudung biru itu, dokter saja pasrah dengan kehendak sang Khalid mengapa tidak dengan mereka diluaran sana.

Remasan lembut tangan suamiku tidak lagi memberikan kekuatan seperti dulu lagi, ini sudah yang kesekian kalinya aku harus mengunjungi dokter kandungan dalam bulan ini, suamiku seakan dicucuk hidungnya mendengar perintah ibunda untuk membawaku periksa, bukankah pemeriksaan ini juga butuh waktu. Bukan semakin sering dilakukan aku akan cepat hamil, batinku merintih.

Ku lepas gengaman tangan suamiku, beranjak dari tempat duduk di depan dokter.

“Terima kasih dok.” Kataku berlalu tanpa memperdulikan suamiku yang masih terduduk dan seakan merasa ku tinggalkan, akhirnya suamiku menyusul aku keluar dari ruang periksa.

Sengaja aku melebarkan langkahku, luka dihatiku mengangga. Suamiku saja sudah tidak mempercayai hak  prerogatif sang khalik, aku marah dengan diriku sendiri aku saja sabar tapi mengapa dia suamiku yang seharusnya menjadi pembelaku malah membuat luka yang teramat dalam dan mengangga.

Panggilan suamiku tidak aku hiraukan, aku terus saja memperbesar langkahku. Berlari mendapatkan taxi yang kebetulan berhenti di depan rumah sakit.

“ Jalan Pak.” Perintahku kepada supir taxi dengan tidak dapat lagi menahan air yang sudah berat dipelupuk mataku.

“Pantai pak.” Perintahku kepada supir, tanganku berusaha menghapus air mata yang bagaikan bah di pipiku.

***

Sengaja aku mencari sudut pantai, aku menghempaskan tubuhku ke pasir pantai, tak kuhirauskan pasir pantai yang berhampuran menempel dibajuku, kerudungku tertiup angin pantai. Sesekali aku menghapus aliran air mata di netraku yang seperti tidak mau berhenti.

Ku pandang langit, masih biru tapi tidak sebiru hatiku yang sudah lama berwarna abu – abu. Aku berbicara dengannya

“Ya Allah aku tidak menyesal kepada Mu, hanya berikan aku kekuatan untuk menghadapi orang – orang yang menentang hak Mu, aku bukan wanita kuat tapi berikan aku kekuatan dengan caramu sehingga aku tidak durhaka kepada Suami dan mertuaku.” Batinku terus berbicara dengan sang Khalik.

Terik matahari menembus kulitku, ku lihat jam tangan yang melingkar manis di tanganku. Pukul 12 siang sebentar lagi mau masuk sholat zhuhur, aku bangkit dudukku mengibas – ngibas pasir yang melekat dibajuku. Membenahi kerudungku, berjalan meninggalkan bibir pantai yang sudah menenami aku selama hampir 3 jam ini.

“Aku harus kuat.” Batinku

Perjalanan panjang menuju rumah, semua kemungkinan harus aku lalui. Apalagi tadi aku meninggalkan suamiku di rumah sakit tanpa memberitahu kemana aku pergi. Pasti pulangku disambut oleh seribu kata yang akan menambah luka di dadaku, walaupun hasil tadi di rumah sakit tidak ada yang salah antara aku dan suamiku.  Tapi mertuaku tidak mau tahu itu, pasti aku saja yang salah. (bersambung)

 

Tinggalkan Balasan