Seindah Pelangi (8)

Tanpa bertanya kepadaku, dimana rumahku Aditya langsung saja membelokkan arah motor dari costal area kembali ke jalan A. Yani melewati puakang dan belok dipasar Maimun dan lurus ke arah Meral. Aku hanya terdiam di belakang motor. Sesampainya di depan kantor Bea Cukai Meral Aditya belok menuju arah kampong bukit menuju kerumah orang tuaku.

Aku terkejut, ketika Aditya memakirkan motorku pas di depan rumah orang tuaku.

Ayah dan ibu sedang duduk santai ketika kami sampai, Aditya membuka pintu pagar rumahku dan mengucapkan salam.

“ Assalamualaikum Mak Long Pak Long, “ Ucapnya.

Ayah ibu menjawab serentak “ Walaikusalam, baru sampai? Katanya jam 9.30 kenapa baru sampai sekarang,” kata Ibuku kepada Aditya.

Aku binggung melihat cara mereka berbicara, seperti seperti sudah kenal lama.

“ Aisyah kenapa masih di luar masuk,” ku dengar suara ibu memanggilku.

Aku masuk kerumah, Aditya sudah duduk berdampingan dengan ayah di teras rumahku.

“ Ini anak Mak Uncu mu, adiknya Mila,”  ibu menjelaskan.

“ Aditya sudah berkabar mau datang,” kata ayah.

Ibu dan ayahku berdiri bersamaan, ku dengar kata ibu “ Aditya mau mengatakan sesuatu kepadamu Aisyah.” Ibu dan ayah akan meninggalkan kalian berdua. Ibu dan ayah meninggalkan kami di teras rumah.

Aku seperti di tipu oleh Aditya, lama aku memandang wajah Aditya.

“ Mengapa Aisyah memandang Adity seperti itu, Gantengkan.” Usik Aditya.

“ Mengapa Aditya tidak pernah mengatakan kalau kita bersaudara? Aditya sengaja mau mempermaikan Aisyahkan,” kataku kesal.

“ Aisyah yang tidak pernah bertanya kepada Aditya, setiap kita berbicara ataupun bertulis pesan Aisyah selalu menjaga jarak dan hanya berbicara yang menyangkut hobi kita sama. “

“ Coba Aisyah ingat baik – baik, setelah dua bulan pertemuan kita di Batam. Aditya berusaha memancing Aisyah untuk bercerita tentang keluarga tapi Aisyah sengaja mengalihkan pembicaran.”

“ Selama enam bulan ini, Aditya selalu menurutkan apapun yang Aisyah inginkan tapi Aditya tidak bisa bertahan lebih lama lagi.”

“ Karena itu hari ini Aditya mau menuntaskan semuanya.” Kata Aditya sambil menatap lekat kearah wajahku.

“ Aditya menyukai Aisyah, bukan hanya mengingikan Aisyah sebagai kekasih tapi lebih dari itu maukah Aisyah menjadi pendamping hidup Aditya.”

“ Kalau masih belum faham juga, sudikah Aisyah menjadi istri Aditya yang sah oleh hukum agama,” aku tidak membayangkan Aditya yang selama enam bulan ini aku kenal bisa seserius ini.

Bukan karena aku tidak mau serius tapi bagiku, hubungan jarak jauh akan mendatangkan masalah, aku tidak percaya dengan hubungan jarak jauh. Banyak teman sekantorku yang perkahwinannya tidak langgeng karena suami istri tidak pada tempat yang sama. Aku tidak mau perkahwinanku nanti akan sama seperti teman sekantorku.

“ Aditya, sudahkah memikirkan bagaiman perkahwinan kita nanti.”

‘ Aisyah di Karimun, Aditya di Tanjung Pinang. Jarak akan memisahkan kita. Aisyah tidak mau setelah menikah kita berpisah, itu juga yang menjadi penyebab mengapa Aisyah selalu mengalihkan pembicaraan jika Aditya sudah mulai membicarakan hal yang agak pribadi. Bukannya Aisyah tidak paham arah pembicaraan Aditya, maafkan Aisyah. Kataku.

“ Mungkin Aisyah menggangap Aditya juga tidak memikirkan hal ini.  Alhamdulillah jika kita bersungguh – sungguh dengan niat kita maka Allah akan mempermudah segalanya.”

“ Sudah lama Aditya memperhatikan Aisyah setiap pulang sebelum Ramadhan dan pulang untuk berlebaran bersama keluarga. Sudah dari Aisyah SMA, Aditya suka sama Aisyah. Aisyah adalah tipe istri yang Aditya cari, perempuang sholehah yang kelak menjadi ibu anak – anak Aditya, Inshaaallah.”

Sebenarnya tiga bulan yang lalu, Aditya sudah datang melamar Aisyah kepada ibu dan ayah Aisyah. Lalu  ibu dan ayah Asiyah Ta’aruf kita, karena itu sebulan yang lalu masihkan Aisyah ingat waktu Aditya menelepon mengatakan maukah Aisyah menjadi kekasih Aditya.

“  Aisyah menjawab, berikan Aisyah waktu untuk menjawab.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

1 komentar