Lamunanku (3)

Cerpen, Fiksiana, KMAB232 Dilihat

Alhamdulillah, akhirnya malam ini aku bisa tidur nyenyak, tapi entah besok dan besoknya lagi. aku menarik selimut untuk mengusir rasa dingin yang mulai merambat dengan semakin malam. Jam dinding menujukkan angka sebelas, sebelum mataku berangsur mengecil karena kantuk yang sudah tak bisa aku tahan.

Samar azan subuh berkumandang, tidak biasanya mataku masih berat untuk terbuka, tapi aku harus bangun sebelum terompet pagi mulut Mak Cik yang akan memekakkan telingaku.

Setelah menyerahkan pagiku kepada-Nya, memohon kebaikan hari ini kepadanya aku melangkah menuju dapur. Rutinitas pagi sebelum berangkat ke kantor, pagi ini dahagaku tidak sampai menunggu ke kantor untuk mencicipi teh hangat di pagi yang dingin ini.

Setelah selesai tugas di dapur, aku mempersiapkan diri setelah pamit kepada Pak Cik dan Mak Cik.

***

Siang ini, suara ribut mengema setelah kami semua mendapatkan sebuah surat dari bagian humas. Dengan gemetar tanganku membuka surat yang ada di tanganku, sambil merapal doa aku berharap keberuntungan berpihak kepadaku, semoga.

Netraku membulat, seakan tidak percaya. Tulisan itu aku ulang beberapa kali, takut aku salah membaca. Setelah yakin dengan yang aku baca, berulang kali aku mengucapkan syukur, spotan aku duduk dan bersujud di hadapan teman kantor, semua memandang heran kepadaku.

“Sinta ada apa?” salah satu temanku bertanya

“Aku dipromosikan naik jabatan.” Ucapku cepat

Semua teman kantor memandangku, akhirnya satu persatu dari mereka menyelamatiku atas promosiku.

***

Langkah tergesaku menuju rumah, niat hati ingin membahagiakan keluarga dengan promosi yang aku dapat, tapi semua lamunku hancur. Ketika kakiku menginjak rumah, di ruang tamu ada rombongan Pak Daud yang sedang bersembang dengan Mak Cik, aku melihat mencari keberadaan Pak Cik tapi tak ada.

“Nah yang ditunggu sudah datang. Sinta sini, duduk kat sini.” Suara Mak Cik mengema, tangannya menyuruhku duduk di sampingnya.

Dengan langkah berat aku melangkah menuju ke arah yang di minta Mak Cik, Aku duduk dengan perasaan gundah. Ya Allah, baru saja aku melamunkan wajah bahagia Pak Cik, Mak Cik dan Mira sepupuku. Dan tak ada lagi hinaan Mak Cik yang menganggap aku menyusahkan hidupnya. Aku diam seribu bahasa.

“Sinta, duduk sini.” Ucapan Mak Cik bagaikan petir di siang bolong.

Dengan langkah gontai aku mendekati Mak CIk, meletakkan bokongku ke kursi panas, bagaikan bermain game saja ada istilah kursi panas, tentu panas karena sudah banyak lamunan akan kehancuran hidupku ke depan.

Senyum Pak Daud membuatku merasa tercekik di leher oleh tangan yang tidak Nampak, semakin lebar senyumnya semakin aku merasakan sesak napas yang kuat. Aku berusaha untuk tetap tenang, tanganku sudah berkeringat tentu saja dahiku juga berkeringat. Tatapan mengitimasi dari Pak Daud yang melihat kepadaku seakan ingin menelanku hidup – hidup, membuatku tak kuasa untuk melihat kepadanya.

Aku merasakan remasan di tanganku, aku memandang sekilas ke arah Mak Cik, semacam pemaksaan akan hasrat oleh Mak   Cik lewat genggaman tangannya kepada tanganku.

“Pak Daud datang untuk merisik.” Dor jantungku seperti terkena tembakan yang membuat sekujur tubuhku merasa sakit, dan yang paling sakit adalah hatiku.

Pak Daud yang seumuran Pak Cik berniat melamarku menjadi pendamping hidupnya, hartanya memang banyak tapi aku bukan orang yang tergila akan harta. Walaupun aku masih sendiri bukan berarti aku harus menerima pinangannya. Hidup menumpang bukan berarti Mak Cik bisa semena – mena dengan hidupku, ada benda cair panas di sudut netraku, ku hapus dengan cepat jangan sampai Mak Cik melihatnya.

“Pak Daud nak merisik siapa Mak Cik.” Ucapku berpura – pura tak tahu.

“Merisik Kak Mira Mak Cik.” Lanjutku lagi

“Eh merepek apa pulak kau Sinta, tak mungkin Pak Daud merisik Mira pulak.” Berang Mak Cik dengan intonasi naik satu oktaf.

“Mira lebih tua tiga tahu dari Sinta Mak Cik, sudah sepantasnya Kak Mira yang menikah dulu.” Ucapku prontal berusaha menekan tutur kataku.

Aku melihat Pak Daud memandang Kak Mira, dan tersenyum.

“Maaf Pak Daud, saya baru dipromosikan naik jabatan, dalam waktu dekat ini saya tidak boleh menikah oleh pihak perusahaan. Jika Pak Daud datang untuk merisik Saya, terpaksa Pak Daud menunggu tiga tahun lagi, tapi jika merisik Kak Mira, insyaallah dalam waktu dekat pasti bisa menikah” Ucapku setenang mungkin.

Aku melihat paras wajah Mak Cik yang memerah dengan netra yang sudah mau keluar dari cangkangnya.

Aku berlalu meninggalkan semua yang berada di ruang tamu dengan perasaan kesal yang mendalam.

***

Sejak magrib tadi aku mendengar suara ribut antara Pak Cik dan Mak Cik, tak niatan untuk keluar kamar mendengarkan apa yang mereka ributkan.

Sayup – sayup aku mendengarkan ketukan di pintu kamarku, aku melepaskan headphone dari telingaku. Benar ada yang mengetuk pintu kamarku, aku membangunkan diriku dari posisi tidur dan berjalan menuju pintu. Panel pintu terbuka, aku melihat wajah Kak Mira yang kesal

“Di panggil Ayah tu.” Ucapkan singkat dan meninggalkanku begitu saja.

Aku melangkah menuju ke tempat Pak Cik dan Mak Cik berada. Aku mengambil kursi yang kosong di antara mereka berdua. Aku memandang wajah kesal Mak Cik sebentar kemudian beralih memandang wajah Pak Cik.

“Sinta benar dipromosikan naik jabatan.” Ucapan Pak Cik ku balas dengan senyuman.

“Alhamdulillah, Pak Cik bersyukur. Pindahlah dari rumah ini, hiduplah dengan bahagia Nak.” Netraku membulat mendengar ucapan Pak Cik

“Mana boleh macam tu, Bang. Trus Pak Daud bagaimana?” suara galau Mak Cik bergema

“Itu bukan urusan Aku, Awak yang berjanji. Jangan hancurkan masa depan keponakan Aku yang sudah banyak berkorban selama ini.” Setelah mengucapkan itu Pak Cik berlalu, meninggalkan Aku dan Mak Cik. Akhirnya aku menyusul Pak Cik meninggalkan Mak Cik sendiri menuju kamarku.(Bersambung)

***

Tinggalkan Balasan