Menjadi Perempuan yang Berpendidikan
Masih terngiang dalam benakku, kata-kata dari nenekku, yang lulusan Sekolah Darmorini, yang diajar oleh para guru Belanda, juga kata-kata Ibuku yang hanya lulusan SMP. Mereka berdua selalu mengatakan :” Jadi perempuan itu tidak hanya meraih berpendidikkan tinggi tapi yang terpenting berkarakter, berkepribadian serta punya watak terpuji.
Tidak hanya itu saja, mereka juga selalu bilang, :” Kalau kamu nanti sudah dewasa dan menikah, harus bekerja dan mampu mencari uang sendiri, jangan hanya minta ( istilah mereka “nyadong” dari suami saja). Wanita itu harus berani ditata dan menata serta mandiri.
Nasihat itu seakan menempel dibenakku. Kalau saya ditanya :” Apakah saya bahagia dilahirkan sebagai perempuan ?” Saya akan menjawab dengan tegas, “ ya saya BAHAGIA dan Beruntung terlahir sebagai perempuan. Mengapa ? karena saya diterima apa adanya, di dalam keuarga tidak pernah dibedakan, dan mempunyai hak yang sama dengan saudara lelaki saya.
Di lingkungan keluarga pun di sekolah dan di masyarakat, saya bisa berkembang dan membentuk diri serta mempunyaai hak yang sama dengan lelaki.
Mungkin karena saya lahir dan dibesarkan di kota, atau punya keluarga yang open mind, terbuka pada segala budaya, suku, agama dan dalam hidup bermasyarakat.
Serta dari enam bersaudara, termasuk saya sebagai tersulung, Saya punya adik lelaki hanya satu. Dulu Bapak memang berencana setelah saya lulus dari SPG ( Sekolah Pendidikan Guru ) saya akan melanjutkan, ke Univ Swasta di Yogya, namun saya keburu tertarik pada panggilan saya masa kecil untuk menjadi Biarawati.
Dalam perkembangan waktu, adik-adik saya melanjutkan study dengan usahanya sendiri , mereka semua adalah para pekerja keras, pantang menyerah dengan keadaan .Dan study lanjut itupun dilakukan setelah mereka menikah, bahkan ada yang bertitel Doktor dan menjadi dosen untuk Pasca Sarjana di Univ Brawijaya Malang. Jadi dikeluarga kami komplit ada yang jadi guru TK, SD, SMP, SMA dan Dosen.
Perempuan Berprofesi yang kukagumi
Sebagai seorang biarawati saya punya banyak relasi, rekan kerja dan sahabat. Sewaktu muda sebagai suster Yunior saya ditugaskan di SD Pius Pekalongan. Ada seorang wanita sebagai Tata Usaha yang sangat kukagumi namanya Ibu Gwat Tien (Tina Kusuma ).
Darinya saya banyak belajar bagaimana menghadapi orang tua murid,para murid yang waktu itu jumlahnya ada 1500 an maklum ada 4 Paralel dari kelas 1 hingga kelas 6.
Bu Tien begitu sabar, ramah dan selalu ada solusi untuk memecahkan persoalan. Sebagai TU, dia pegang peran penting dalam sekolah kami. Waktu itu serba manual, belum canggih seperti saat ini, penerimaan dan pengelolaan uang sekolahpun juga manual.
Setiap pagi Bu Tien selalu berkeliling meminta disetiap kelas , siapa yang membawa uang sekolah, menulisnya dengan rapi dan nanti menyetorkannya ke Suster Ekonom.
Dia juga sangat murah hati, tahu persis siapa yang tidak mampu, dan sering membagi pakaian para keponakannya untuk anak murid yang membutuhkan. Saya sungguh banyak belajar dari keutamaannya yang memancar. Dari kebaikan dan ketulusan hatinya serta jujur luar biasa.
Bu Tien punya banyak kenalan dan murah senyum serta humoris, setiap istirahat, selalu ada saja cerita yang membuat kami terpingkal-pingkal, saya belum pernah melihat dia marah atau cemberut.
Jika ada orang tua yang rewel, rasanya kami saja jengkel melihat orang tersebut berkata dan berperiilaku kasar padanya, tapi Bu Tien selalu bilang :” Biarkan saja Suster, kita doakan , Tuhan yang akan membalas, ( itu diucapkan dalam Bahasa Jawa Pekalongan yang medok, yang membuat sejuk hati ini)
Saya juga dilatih untuk jadi tabah jika melihat “darah” dulu saya paling tidak tahan melihat darah jika ada anak yang terluka, tapi Bu Tien selalu meminta saya untuk membawa anak-anak itu ke RS Budi Rahayu, milik SND yang letaknya besebelahan dengan Sekolah. Lama-kelamaan saya berani menangani anak-anak yang kecelakaan bahkan ada yang sangat parah.
Kredibilitas dan kejujurannya membuat Bu Tien tidak pernah pensiun. Meskipun sudah pensiun, kami meminta Bu Tien untuk memperpanjang masa kerja, dan itupun disetujuinya, sampai boleh dikata tak mampu lagi bekerja.
Dari persahabatku dengan Bu Tien yang notabene adalah murid dari para Suster kami, karena dulu bersekolah di SD dan SMP Pius, diajar oleh para suster kami bahkan suster yang dari Belanda & Jerman, maka Semangat dan Kharisma SND nampak jelas dari cara hidup dan karakternya.
Saya jadi tahu bahwa Bu Tien adalah Puteri Sulung yang punya banyak adik, dia memilih tidak menikah dan mengalah supaya adik-adiknya berprofesi dan punya prestasi lebih baik. Dan memang terbukti adik adiknya berhasil dalam karier dan Rumah tangganya.
Ada yang menjadi pimpinan perusahaan, Pegawai Bank. Yang menarik Bu Tien adalah pemersatu dalam keluarga, jiwa social dan penolongnya sangat nampak pada keluarganya, para keponakannya, dan sesamanya. Yang saya tahu adik-adiknya dan para keponakan sangat mencintai dan menghormati Bu Tien.
Apa yang ditabur baik akan dituai baik dan indah pula, tahun 1987 saya meninggalkan Pekalongan untuk bertugas ditempat lain, jika saya ke Pekalongan saya sering bertemu Bu Tien di gereja, atau berkunjung ke rumahnya. Ceritanya membahagiakan, Bu Tien selalu diajak adik-adiknya keliling dunia.
Saya ikut bahagia mendengarnya, dan kami terus menjalin silaturahmi. Bu Tien selalu menjalin hubungan baik dengan para murid yang dulu pernah ditolong dan murid yang lain yang sering les di Bu Tien juga teman dan sahabat masa kecil, mereka selalu berkunjung.
Dimasa tuanya Bu Tien masih memberi Les anak-anak di Rumah keluarga besarnya, dia tinggal sendiri di Rumah “ Kong “ warisan orang tuanya dengan tiga pembantu. Pembantu itupun juga bisa mengais rejeki dengan berjualan makanan dan minuman untuk anak-anak yang les privat.
Meskipun tinggal sendiri Dia tidak merasa kesepian, karena selalu ada yang dikerjakan, meskipun jalannya sudah susah. Adik dan para keponakan ingin membawa Bu Tien untuk tinggal di Jakarta, tapi dia tidak mau.
Sewaktu kunjunganku bersama Bu Ratna ternyata merupakan pertemuanku terakhir dengan Bu Tien, dia cerita dari A sampai Z dengan wajah ceria, dan mengatakan :” Saya tidak mau tinggal di Jakarta suster, saya nyaman di Pekalongan, katanya”
“Kalau saya sakit, kan ada Budi Rahayu, para suster juga dekat, teman dan tetangga baik-baik sudah seperti saudara”. Kecuali kalau saya meninggal ya terserah adik-adik dan para keponakan, saya penginnya di kremasi,” begitu katanya.
Tak lama setelah pertemuanku itu ternyata saat berpisah dengan Bu Tien. Setelah saya kembali ke Jakarta beberapa hari kemudian saya mendengar Bu Tien menghembuskan nafas dengan tenang di RS Budi Rahayu, Pekalongan. Pada tanggal 29 Maret 2020 kira-kira pukul 16:15, setelah kami mendapat berita dan dimintai doa oleh Para Suster dan Staf RSBR.Jenazahnya dibawa ke Jakarta dan di Kremasi di Oasis Lestari.
Bu Gwat Tien (Tina Kusuma ) telah tiada, namun semangat dan kharismanya, memancar bagi orang yang telah mengenalnya. Bagiku dialah wanita berprofesi, wanita karier yang baik hati dan selalu berbagi apa saja yang dimilikinya.
Kini jiwanya kembali kepada Sang Khalik, tapi cintanya tertanam di hati para sahabatnya, juga padaku. Selamat jalan Bu Tien, doa kami menyertaimu, semoga jiwamu bahagia dalam dekapan Kasih dan Kerahiman Ilahi, Dirimu senantiasa hidup dalam kenangan manis hati kami ***.
Oleh Sr. Maria Monika SND
Artikel ke : 20 YPTD