Oleh
Sucipto Ardi
PBB mencatat pada tahun 2002 telah lahir negara baru bernama Timor Leste. Negara yang lazim banyak dikenal dengan nama Timor Timur di Indonesia memiliki kisah panjang juga memilukan selama 24 tahun bergabung (integrasi) sebagai provinsi ke-27. Banyak yang memang merasa senang menjadi bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), juga banyak pula yang menentang integrasi. Para penentang ini dipermukaan publik Indonesia dan dunia selalu menyatakan bahwa negara tetangganya, yaitu Indonesia merupakan pelaku invasi ke tanah mantan jajahan Portugal di bulan Desember tahun 1975 hingga pendudukan ditahun-tahun berikutnya. Para penentang ini bergabung dalam faksi militer bernama Fretilin dengan pimpinan tertingginya ialah Xanana Gusmao periode 1980-an hingga di awal tahun 1990-an. . Organisasi ini selain melakukan perlawanan bersenjata terhadap kekuatan pendudukan, dalam hal ini adalah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) juga bergerilya diplomatik ke beberapa negara hingga mampu berbicara di forum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Salah satu tokohnya ialah Ramos Horta.
Diberikannya opsi untuk menentukan nasib sendiri dalam bentuk referendum di tahun 1999 oleh Presiden Habibie, Fretilin sebagia kekuatan utama yang begitu popular di kalangan orang Timor Timur tidak menyia-nyiakan moment ini. Dengan dikirimkannya ke PBB terkait laporan kecurangan-kecurangan yang menguntungkan pihak pro-kemerdekaan dibanding pro-integrasi, ini cukup membuktikan bahwa proses referendum “berjalan pincang”. Laporan dari pihak Indonesia tidak digubris, dan “orang-orang atas (politik & militer)” tidak se-militan seperti 30 tahun lalu saat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di New Holland (Irian Jaya-Papua). Kesan yang timbul kemudian ialah ada semacam kesengajaan atau pembiaran guna mempercepat sekaligus mempermudah guna melepaskan Timor Timur dari NKRI.
Lalu benar adanya bahwa “kerikil yang selama ini bersemayam dalam sepatu, kemudian menjadi batu besar” kini sudah menjadi negara berdaulat pisah dengan Indonesia. Beban politik yang dipikul amat jauh berkurang. Kemudian empat tahun setelah dinyatakan sebagai negara baru berdaulat oleh PBB, Timor Leste mengalami krisis yang mengharuskan kondisi keamanan harus terjaga dengan kondusif. Jam malam diberlakukan, jalan-jalan kota terutama, sepi lalu lalang layaknya ada perang. Situasi ini bukanlah petanda baik bagi negara yang baru merdeka yang masih trauma terhadap masa lalu penuh dengan intrik, kekerasan, hingga penghilangan nyawa secara paksa.
Perselisihan hingga aksi tembak menembah dikalangan militer tidakberhenti sampai disitu,namun merambet ke dalam konflik sosial yang melibatkan gangster-gengster dimana para perkumpulan silat berada di dalamnya (konflik sosial). Diawali di tahun 2006, hampir separuh kekuatan militer Timor leste yang jumlah totalnya 1.000 personil, melakukan disersi massal melawan ketentuan disiplin militer. Nyaris 500 personil menyatakan protes dan keluar dari barak. Militer Timor Leste nyaris lumpuh.
Di tahun 2007, kaum disertir yang disebut oleh elit politik di Timor Leste sebagai Pemberontak, mendapatkan dukungan yang besar ketika Letnan Polisi Militer (PM) Alfredo Alves Reinado malah ikut angkat senjata melawan pemerintah dan merangkul disertir. Beliau pernah dibesarkan oleh anggota ABRI dan besar di wilayah Indonesia. Setelahnya bermukin di luar negeri, dan kembali ke Timles setelah jajak pendapat. Melihat kemampuannya, terlebih ikut sekolah militer di Australia pada tahun 2003-2004, menjadikannya pemimpin PM dari kesatuan angkatan Laut Timles. Dengan segera kaum disertir mengangkat Letnan PM itu sebagai pemimpinnya. Bisa kebayang bukan betapa kagetnya dunia ketika PM yang harusnya menangkap kaum disertir karena melanggar ketentuan disiplin militer, malahan bergabung. Yang juga lebih mengagetkan lagi, Reinado kemudian berhasil ditangkap oleh pihak Timor Leste karena ikut dalam barisan disersi. Tak lama kemudian, bersama puluhan anggota pasukan setianya, mereka mampu keluar dari penjara dan kembali bergabung ke kaum disertir lainnya dimarkas yang dibangun terletak 70 KM dari pusat Ibukota negara, yaitu Dili. Tambahan lagi yang tak kalah mengagetkan, masih ditahun 2007 Rainado masuk ke acara talk show nomor 1 di Indonesia sebagai bintang utamanya. Kick Andy sebagai talk show jempolan milik statasiun televisi Metro TV, menjadi “corong” pesan penting sang komandan untuk anak buahnya sekaligus elit Timor Leste. Melihat Reinado adadisalah satu hotel berbintang banyak di Jakarta untuk shooting acara tersebut, elit Timor Leste kemudian menuduh ada keterlibatan pihak Indonesia dalam hura-hara yang masig sedang berlangsung.
Setelah digali ternyata disersi massal ini disebabkan oleh karena mereka mendapat perlakuan diskriminatif. Di militer ada semacam pengelompokan. Pertama orang Timles yang ikut berjuang melawan ABRI umumnya mereka berasal dari sebelah Timur, dan kedua ialah orang Timles yang tidak ikut berjuang melawan ABRI umumnya mereka berasal dari sebelah Barat berbatasan dengan Indonesia. Dampaknya, mereka yang dianggap kelompo kedua mengalami diskriminasi seperti pangkat militer yang untuk naik, dan “hidupnya pengelompokan” ini diantara personil militer mengganggu hubungan sosial. Ternyata tidak sampai ditingkat militer, perselisihan merambat hinga ke segmen sosial. Perkelahian hingga menimbulkan koran jiwa juga megikuti alur pengelompokn yang terjadi di militer Timles. Pencak silat asal Indonesia kemudian dilarang untuk tahun-tahun berikutnya paska krisis tahun 2006-2008 ini.
Kaum pemberontak dengan pemimpin Rainando menuntut agar elit mereka yang merek sebut sebagai “Maputu Mafia Group”, sebuah kelompok mafia pembuat onar asal Mozambik, memperbaiki kehidupan secara menyeluruh Timles yang semakin hari semakin memburuk. Reinando merasa kecewa terhadap Xanana Gusmao, Ramos Horta, dan Mari Alkatiri.
Pada tanggal 11 Februari 2008, Renando bersama beberapa anggotanya merangsek masuk ke kediaman Presiden Ramos Horta untuk kemudian menghabisinya. Pasukannya mampu menyarangkan 3 peluru ke tubuh penerima Hadiah Nobel 1996 itu, sementara Reinado sendiri tewas dengan kepala pecah dihantam tembakan senjata mesin otomatis berkali-kali. Di tempat lain, rencana serupa dilakukan kepada Perdana Menteri Xanana Gusmaunamun gagal total.
11 Februari adalah hari diakhirinya pemberontakan, dengan terbunuhnya sang pemimpin dengan segera bawahannya menyerahkan diri. Di tanggal itu pula, di tahun 1971 lahir pebulu tangkis legend: Susi Susanti. Peraih pertama emas Olimpiade bagi bangsa ini di Barcelona tahun 1992, dialah sosok yang mampu meninggikan bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya berkumandang di even internasional paling bergengsi. Dengan segudang prestasinya, salah satu putri terbaik Indonesia juga mengalami apa yang dirasakan oleh Reinando. Sederet prestasinya seakan tak mampu menghilangkan stigma negatif etnis Tionghoa. Orde Baru dengan segala tindak tanduknya administratif dan pransangka yang dirajut bertahun-tahun dikehidupan sosial, membuat Susi Susanti kecewa.
Bagaimana dia sulitnya mengurus surat nikahnya karena dia bermata sipit. Keluh kesahnya menjadi isu utama di media cetak kala itu, dan setelah viral prosesnya menjadi cepat. Mengenang peristiwa itu Susi berseloroh: “Saya jelas kecewa saat itu sampai-sampai saya berucap apakah saat memenangi emas olimpiade, ada tanda Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) di belakang baju saya. Tidak kan? Hanya ada tulisan Indonesia”.
Demikianlah cerminan sejarah, diskriminasi atas nama kulit, suku, rasa, merupakan kisah yang memuakkan sekaligus menyedihkan. Di sinilah titik pentingnya manusia belajar dari sejarah yakni agar manusia tidak mengulangi kesalahan yang sama atau lebih buruk lagi. Indonesia kini berbeda dari jaman Orde Baru, kini penghormatan akan perbedaan sudah jauh lebih baik. Di sekolah tingkat SMA misalnya, perbincangan multikultural, toleransi, dan kesederajatan sebagai manusia Indonesia menjadi salah satu isu sentral. Guru harus mendahuluinya dengan membangun pribadi yang memgikuti perkembangan jaman dengan terus mengikuti tren isu tersebut. Guru sekarang adalah produk Orde Baru, jangan sampai pengalaman yang dijalaninya “keceplosan’ di dalam kelas. Benahi diri sehingga perbincangan tentang kesederajatan dan penghargaan akan perbedaan dapat di arahkan kepada muara yang seharusnya: “kita beragam, kita berbeda, kita saling menghormati, dan juga kita saling menghargai”.
Terima kasih.
Sumber:
https://tirto.id/alfredo-reinado-sang-pemberontak-ciSN
https://sosok.grid.id/read/412019947/11-februari-dalam-sejarah-lepas-dari-indonesia-upaya-pembunuhan-presiden-timor-leste-ramos-horta-dan-pm-xanana-gusmao-libatkan-1000-personil-polisi-hingga-tentara-?page=all
https://tirto.id/susi-susanti-love-all-dan-bejatnya-politik-identitas-orba-ekvK
https://tirto.id/kita-berutang-pada-bulu-tangkis-bBDu