Lima detik setelah kelopak mata tak lagi bertaut dalam takut.
Kudekap bantal busa berlapis kain merah bermotif buku dan pena. Ada maksud hendak menenangkan degup. Sepertinya sia-sia. Degup tetap serupa simponi tanpa konduktor. Kadang drum terdengar terlalu keras. Ada kalanya tempo mendadak lambat. Saat itu pikirankulah sebenar-benarnya konduktor.
Tidak mudah. Lebih mudah menenangkan pikiran lewat deretan aksara yang tertera di atas papan hitam di atas meja kerja atau menjinakkan imajinasi liar yang terjebak di dalam tempurung kepala sebagai tulisan.
Sepuluh detik setelah bayangan semu dalam lelap berlalu.
Kuhembuskan napas dengan irama teratur. Sama persis saat menorehkan nama sebuah gunung dalam berlembar-lembar puisiku. Kini aku berhasil menjadi pengendali atas diri dan pikiranku. Aku pun mencoba melemaskan otot leher yang membuatku tercekik saat menemui kenyataan di awal hari. Beberapa kali gerakan memutar membuat bunyi gesekan antar ruas tulang leher terdengar jelas.
Kedua tanganku berusaha memijat-mijat bagian belakang leher. Tangan kananku berhenti memijat ketika ada sesuatu yang lengket di permukaannya. Aku bergeming. Bahkan sekadar menutup mulut saja tidak ada keberanian melakukannya. Dalam waktu sepersekian detik, akhirnya kesadaran mengantarkanku pada sebuah gerakan tangan kanan.
Cairan pekat warna putih keruh sudah mengental dan agak kenyal. Aku memainkannya dengan ujung ibu jari dan telunjuk. Cairan kenyal itu menjadikan keduanya satu. Kutarik ujung telunjuk, meninggalkan jejak panjang tak terputus hingga titik terjauh. Lengket.
Selanjutnya kesadaran menuntun untuk mendekatkan cairan lengket ke dekat lubang hidung. Sekali hirup, kelopak mataku kembali terkatup. Gelap.
Lalu ketika aku membuka mata, hanya terlihat sebatang pohon besar di hadapanku dengan akar-akar menjulang. Beberapa di antaranya memiliki serabut panjang yang terus bergerak-gerak tak beraturan.
“Aku di mana?!”
Hening. Tak ada jawaban. Hanya kersik daun kering yang meluruh perlahan. Satu per satu hingga akhirnya pohon besar itu geming dalam ranggas.
“Aku di mana?!”
Masih hening. Tetap tak ada suara, selain angin yang perlahan menderu. Tunggu! Itu ternyata bukan angin. Itu adalah udara di sekitar akar yang terus bergerak tak beraturan. Seiring waktu, desau semakin membuatku risau. Terlebih saat beberapa akar bergerak bersama-sama — ke arahku.
“Arghhh!”
Aku berusaha menjauh dari pohon besar itu. Sia-sia. Akar-akar serabut panjangnya lebih dulu melilit kedua kakiku. Debum jerembab tubuhku tak terelakkan lagi. Wajahku berpindah posisi. Kali ini aroma debu lebih dulu meracuni indra penciumanku.
Setelahnya, ujung akar serabut panjang menari-nari di nadi leherku. Setiap gerakannya adalah jejak berupa titik-titik putih yang lengket. Aku tak berkutik dengan napas tersengal. Rasanya nyawa sudah di titik nadir pada tarikan napas terakhir. Hingga sedetik sebelum semua berakhir, warna putih rata menyapa ruang yang aku kenali sebagai lensa mata.
Dari samar berubah menjadi sosok lelaki kekar. Menunduk takzim ke arahku saat tatapanku berusaha menajamkan fokus dan mengubahnya menjadi tanda tanya dalam rasa tidak sabar, “Aku di mana?”
“Bapak di rumah sakit.”
Lelaki itu sungguhlah setia. Tanpa diminta sekalipun, dia tahu bagaimana cara melayani tuannya. Tak salah aku memercayakan keselamatanku dan segala urusan karir padanya.
“Tanggal berapa sekarang, Ray?”
Lelaki yang tubuhnya dibebat kain dengan bahan kaos berwarna abu-abu itu hanya melemparkan senyuman. Sebuah lengkung bibir melahirkan tanda tanya di kepala yang berkelindan. Hingga akhirnya menghilang dengan sendirinya di ujung sebuah jawaban. “Tanggal 18 Desember, Pak.”
Jawaban yang kuinginkan justru menambah ukuran kelopak. Aku terbelalak.
“Apa?! Jadi hampir dua hari aku tak sadarkan diri?”
Raymond menganggukkan kepala. Teringat dengan persiapan sebuah perhelatan, aku memaksakan diri untuk bangun dari posisi semula. Sementara Raymond berusaha menahanku untuk tidak melakukannya.
“Bapak istirahat saja dulu. Saya sudah mengurus semuanya.”
Aku pun menurut. Sekian lama dia melayaniku, ada keyakinan kata-katanya adalah hal yang benar-benar runut. Mendengar jawabannya, kekhawatiran bukan lagi hal yang membuatku takut.
“Masih seminggu lagi, Pak. Lokasi, pengisi acara, dan strategi promosi semua sudah siap. Tinggal menunggu pemulihan kesehatan Bapak.”
Tak kusanggah lagi kata-kata Raymond barusan. Kekhawatiran telah berubah menjadi tenang yang mengalir bersama cairan glukosa yang masuk lewat jarum suntik di pangkal lengan.
Dua hari berlalu. Penyambutan pulang telah disiapkan Raymond dalam perhelatan doa syukur bersama tetangga atas kesembuhanku sekaligus asa demi kelancaran peluncuran buku puisi kesepuluhku, lima hari lagi, tinggal menunggu waktu.
Hingga akhirnya, sehari sebelum peluncuran buku puisi. Aku menyiapkan diri dalam segala sisi. Tak terkecuali mental yang harus segera kembali kuisi.
“Ini, kan, bukan pertama kalinya, Pak. Ini adalah acara kesepuluh sejak saya ikut membantu Bapak. Jadi, kenapa Bapak harus merasa grogi dengan acara besok?” kata Raymond di sela-sela seruput kopi sore di teras belakang rumah.
“Bukan itu masalahnya, Ray.”
Aku meletakkan cangkir kopi kedua di meja kecil samping kananku. Bunyi cangkir dan meja beradu. Terdengar lebih keras dari suaraku.
“Lalu apa, Pak? Bukankah konsep acaranya sama? Hmm… Atau karena ini merupakan sebuah karya yang proses penulisannya paling lama, bahkan sampai hampir sepuluh tahun?”
Aku menggeleng saat Raymond memicingkan mata ke arahku. Tajam tatap matanya adalah sembilu bagi rongga dadaku. Ini memang pertama kalinya aku meragu. Tersebab hal-hal tak pasti membangunkan ketakutanku.
“Ray…”
Raymond menoleh ke arahku tanpa berkedip. Sementara aku berusaha mengumpulkan kekuatan yang hanya serupa kerlip. “Ada satu hal yang tidak kamu tahu…”
Dadaku sejenak mengembang. Setelahnya kembali mengempis saat udara keluar dari lubang di bawah penghubung bingkai kacamataku.
“Beberapa hari terakhir, ada kejadian yang menurutku tidak wajar… Aku bermimpi seolah-olah ada yang terus mengejar. Bukan manusia atau segala rupa lainnya yang bisa berpindah tempat. Bukan. Bukan itu. Ini hanya tentang akar.”
“Akar, Pak? Maksudnya?”
Bola mata Raymond membesar. Hampir terlihat utuh hingga ke dasar.
“Begini, Ray. Entah mengapa akhir-akhir ini aku sepertinya bermimpi. Mungkin juga halusinasi. Aku tidak tahu pasti. Setahuku ini bukanlah imajinasi,” kataku menyesap kopi pahit hingga tandas sebelum akhirnya melanjutkan kata-kata, “aku seperti dikejar-kejar sebatang pohon raksasa. Anehnya pohon itu memiliki akar serabut panjang yang bisa bergerak. Dan, kamu tahu, Ray? Tujuannya hanya satu, ke arah nadi leherku. Menjerat lalu melepasnya saat napas terakhirku hendak berakhir.”
Kulirik sekilas lelaki yatim piatu yang kukenal sejak sepuluh tahun lalu saat dia menjadi pemanduku melakukan riset di lereng gunung Rinjani itu. Dia menyimak dengan saksama.
“Bukan itu saja. Setelahnya, akar itu meninggalkan jejak berupa titik-titik putih yang lengket. Lihatlah, Ray!” Aku membuka sedikit kerah kaos berpotongan tinggi hingga batas leher dan kepala dan menunjukkannya pada lelaki yang setia menemani setelah kecelakaan membuatku kehilangan anak dan istri.
Raymond pun menyorongkan kepalanya dan meneliti titik-titik putih yang tersebar di bagian leherku. Sesekali telunjuknya menekan-nekan dan mengusap bagiannya. Dia hanya ingin membuktikan, bahwa titik-titik itu benar getah yang tidak bisa dihilangkan seperti yang pernah kuceritakan.
“Ini benar-benar getah pohon, Pak? Tapi dari mana itu berasal, Pak? Bukankah beberapa hari terakhir ini Bapak sibuk menandatangani naskah?”
Raymond mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan aku sendiri tidak pernah tahu tentang jawaban. Dia lalu kembali ke posisinya, bersandar di kursi kayu sambil sesekali menggelengkan kepala dan berbisik, “Aneh!”
Aku menggeleng dan memalingkan wajah dari lelaki berusia dua puluhan itu lalu mengelus-elus leherku. Saraf-saraf di telapak tanganku mengabarkan tentang permukaan yang tidak rata dan lengket. Setelahnya aku berusaha untuk mengembalikan detak jantung ke posisi yang seharusnya. Aku harus istirahat. Aku memercayakan urusan besok kepada Raymond.
Malam pun akhirnya tiba. Raymond masih menyiapkan barang-barang yang besok harus dibawa. Sementara aku memilih mengunci diri di kamar lalu berusaha memejam. Di ambang ketidaksadaranku, sukmaku terseret jauh hingga menembus pepohonan yang rapat. Hawa dingin nyaris membekukan peredaran darahku. Gelap di sekitarku, tetapi aku tahu di mana keberadaanku. Sebuah tempat tinggi dipenuhi pepohonan yang menyisakan sedikit batang bekas ditebang – lereng gunung Rinjani. Aku mengedarkan pandangan. Sekelilingku gersang. Tidak jauh di depanku, sebatang pohon besar kembali menggerak-gerakkan akar serabutnya. Aku tahu kejadian setelahnya karena ini bukan untuk pertama kalinya. Aku hanya diam menunggu apa kemauannya.
“Kembalikaannn!”
Teriakan terdengar memekakkan. Kejadian yang sama pun kembali terulang. Aku terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dan leher yang dengan titik-titik putih yang semakin rapat.
Aku menutup muka dengan kedua telapak tanganku. Kubangunkan Raymond, lalu malam itu juga mengajaknya pergi ke tempat yang sangat aku kenali, meskipun hanya dalam mimpi dan mungkin halusinasi.
Perjalanan selama enam jam kutempuh dari Mataram ke wilayah Rinjani. Sudah pukul dua dini hari. Kutitipkan mobil di rumah seorang kenalan. Aku mengutarakan maksudku, dan atas kebaikannya aku diberikan petunjuk tentang apa yang harus kulakukan serta barang-barang yang dibutuhkan untuk pendakian. Aku bergegas meminta Raymond membawanya, sama persis seperti dulu. Pun tempat yang kini harus aku tuju.
Empat jam pun berlalu. Letih bukan lagi alasan untuk mematahkan tujuan, bahkan menjadi penyambutku saat tiba di lokasi yang kutuju. Sama persis dengan yang tercetak dalam mimpiku. Bekas-bekas pohon ditebang membentuk serupa padang. Selanjutnya, di bawah semburat matahari pagi, aku memulai sebuah ritual dengan mencangkul.
Setelah perjalanan dan perjuangan panjang, pukul lima sore aku tiba kembali di rumah. Masih ada waktu untuk mempersiapkan diri hingga pukul tujuh malam. Di depan cermin kamar mandi aku meneliti leherku. Titik-titik putih itu telah lenyap. Nadi leher pun berdenyut normal. Kedua ujung bibirku membentuk lengkungan.
Akhirnya, tanpa terasa dua jam acara peluncuran dan bedah buku di sebuah toko buku di kota Mataram berlangsung lancar. Banyak hal yang kubagi lewat buku itu. Tentang nyanyian pohon dan juga bait-bait kebesaran gunung Rinjani.
Kursi pengunjung acara telah kosong. Tatapanku terpaku pada Raymond yang sedang memamerkan sebuah buku. Tunggu! Itu bukan buku puisi kesepuluhku, tetapi sebatang pohon yang perlahan tumbuh besar. Dalam hitungan detik aku memejam. Saat membuka mata, pohon yang kutanam semalam itu lenyap untuk menunaikan tugasnya menjaga keseimbangan lingkunan. Di hadapanku hanya tinggal Raymond yang masih memamerkan buku berjudul, “Detak Jantung Rinjani” yang ditulis oleh Lalu Getar Rinjani, namaku. Dalam senyuman, aku menjadi paham makna kejadian, satu batang sekali penerbitan.
***