“Tentang Ibu tak dapat diceritakan dengan kata-kata,
bahkan oleh air mata sekalipun”
Aku menyesal telah menjadi anak Ibuku. Perasaan ini muncul baru-baru ini setelah sekian lama aku hidup bersamanya. Tidak serta merta begitu saja, tetapi lewat permenungan yang lama. Sampai akhirnya, aku benar-benar berusaha memahami bahwa apa yang kukatakan ini benar adanya.
Kisah ini aku alami saat kelas II SMP. Waktu itu, sekolah libur kenaikan kelas selama sebulan penuh. Aku memanfaatkan liburan dengan ikut merantau bersama kakakku ke Surabaya. Di Surabaya aku mengunjungi kontrakan kakak perempuanku selama beberapa hari.
Liburan kulanjutkan dengan menyusul ibu yang merantau di Madura. Ibu menyambut dengan gembira. Malam pertama di Madura, aku tidur bersama ibu. Pelukan hangatnya adalah obat yang ampuh untuk setiap lelahku dalam perjalanan.
Rasa lelah yang tak terkira membuatku cepat tertidur pulas. Bahkan, aku sudah tidak ingat lagi pukul berapa jemari ibu berhenti mengusap-usap rambut di kepalaku. Selalu seperti itu sampai aku benar-benar tertidur.
Matahari pagi merekah. Kutemukan uang seribu rupiah di sampingku saat membuka mata.
“Mbok! Mbok!”
Aku berteriak mencari ibu ke belakang. Aku tengok dapur, ternyata sepi. Tidak ada siapa pun. Hanya ada alat tradisional untuk membuat jamu. Aku baru sadar, ternyata ibu sudah berangkat jualan jamu gendong keliling.
Aku bergegas mandi dan mengambil uang yang sengaja ditinggalkan ibu. Kugunakan uang itu untuk belanja jajan kesukaanku. Seharian aku bermain dengan keponakan yang kebetulan juga ikut.
Beberapa hari aku mengunjungi ibu di perantauan, aku menjadi tahu tentang pengorbanan ibu mencari nafkah untukku dan kedua kakakku. Meskipun usia sudah tidak muda lagi, tetapi ibu tetap semangat untuk bekerja.
Sepulang berjualan, aku bertanya pada ibu di depan rumah berukuran 5 x 7 meter berdinding bambu itu. Meskipun kecil, tetapi nyaman. Terlebih itu adalah rumah sendiri dan bukan kontrakan.
“Simbok enggak capek kerja kayak gini terus?”
“Ya mau gimana lagi, Le. Simbok kerja kayak gini kan demi kamu dan kakak-kakakmu juga,” jawabnya sambil memelukku.
Aku termenung mendengar jawaban ibu. Aku yang memang masih kecil belum paham tentang kerja keras orang tua. Beruntung darinya aku belajar tentang untuk tidak banyak meminta. Aku tumbuh menjadi seorang anak yang tidak pernah menuntut apa pun pada ibu, kecuali keperluan sekolah.
“Simbok hanya ingin bisa menguliahkan kamu dan Mas-Masmu,” Ibu melanjutkan perkataannya.
Aku hanya diam berusaha mencerna maksud kata-katanya.
“Biarlah Simbok yang bodoh, asal kamu dan Mas-Masmu enggak. Simbok ingin kamu jadi orang yang berhasil. Kamu mengerti kan, Le?”
Aku mengangguk. Sejak saat itu aku berikrar untuk bisa membahagiakan Ibu. Belajar bersungguh-sungguh untuk mewujudkan mimpi Ibu bagi keberhasilanku. Dan, berkat usaha dan doa Ibu, akhirnya aku dan kedua Masku bisa menjadi sarjana. Semua berkat kegigihan Ibu menjajakan jamu gendong keliling kampung di tanah perantauan, Madura.
Entah sudah berapa ribu kilometer dilaluinya hanya untuk kebahagiaan anak-anaknya. Sungguh pengorbanan yang tak ternilai harganya. Ketulusan pengorbanan yang aku tahu tidak akan pernah sia-sia. Dan, aku sebagai anak bungsunya akan menghargai pengorbanan itu dengan memberikannya kebahagiaan sesuai kemampuanku.
Kini, Ibu sudah bisa beristirahat dengan tenang di rumah. Aku yang menggantikannya sebagai perantauan setelah lulus kuliah. Demi mencari pekerjaan yang layak, aku pun rela membabat jarak yang membentang menjadi sebuah harapan. Kuputuskan untuk merantau ke Lombok. Bukan tempat yang dekat dengan kampung halaman di Solo memang, tapi hati yang senantiasa mendekatkannya.
“Jauh darimu, bukan berarti aku melupakanmu.
Ibu, selalu ada doa terkirim untuk bahagiamu”
Bertahun-tahun aku merantau, meskipun setiap tahun tetap pulang, tetapi aku belum bisa membahagiakan Ibu. Aku belum bisa memberikan apa pun padanya sebagai pengganti pengorbanannya selama ini untukku, selain doa tulus untuk kebahagaiaannya. Aku belum bisa membangunkan rumah yang layak untuknya, sehingga Ibu harus puas tetap tinggal di rumah lama.
Selain itu juga, aku belum bisa mengajari Ibu untuk membaca dan menulis. Padahal di tanah perantauan, entah sudah berapa anak bangsa yang telah kuajar untuk membaca dan menulis. Bahkan, aku belum bisa membahagiakannya dengan materi seperti saat dulu Ibu tak pernah terlambat mencukupi materi yang kubutuhkan.
Mengingat semua itu, aku menyesal menjadi anak Ibuku. Aku masih belum berhasil menjadi anak yang berbakti untuk seorang perempuan perkasa yang menjagaku dalam doa dan air mata. Jalanku masih jauh untuk memeluk hari tuanya dengan segala yang diinginkannya, selain lewat doa malamku.
“Ibu, aku pernah menjadi penyebab jatuhnya air matamu; kini, izinkan aku mengusapnya lewat doaku”
Aku bertekad akan mengubah penyesalanku menjadi sebuah keberhasilan untuk membalas pengorbanannya. Meskipun hampir tidak mungkin membalas setiap tetesan keringatnya, tetapi berhasil membuatnya tetap tersenyum di hari tuanya adalah salah satu keberhasilan yang ingin kuraih.
Semoga dengan doanya, penyesalanku ini akan berbuah manis pada akhirnya. Terima kasih Ibu untuk cinta dan pengorbanan yang tak membutuhkan balasan. Juga untuk setiap doa yang tidak pernah meminta untuk dikembalikan pada suatu masa. Untuk Ibu, setiap tetes air mataku rela kuberikan untuk mengganti hujan air mata saat membesarkanku. Terima kasih Ibu.
“Cinta seorang Ibu tidak akan pernah bertanya seberapa besar cintamu padanya”