“Bunda … Kenapa tidak ada lagi bintang di langit kota kita?”
Pertanyaan itu keluar dari mulut mungil lelaki kecil berusia 10 tahun. Lelaki bertubuh mungil itu sedang duduk di halaman rumah kakeknya bersama bundanya. Dengan meluruskan kedua kakinya, sepasang matanya berusaha keras untuk bisa menatap langit kota. Dia sama sekali tidak bisa menemukan yang dicarinya selama ini. Sepasang mata kosong itu hanya menemukan langit pekat sebagai jawabannya.
Sementara perempuan berusia empat puluh lima tahun yang duduk di sampingnya itu tidak segera menjawab. Perempuan berambut sebahu itu memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas hamparan rumput. Dia berusaha menyusun ingatan demi ingatan di kepalanya. Ada banyak hal yang dia simpan selama ini. Baginya saat ini adalah waktu yang tepat untuk berbagi. Anak semata wayangnya itu telah cukup besar untuk menerima penjelasan. Di halaman yang temaram oleh nyala lampu seadanya itu, dia mulai berbagi kisah.
“Bintang sayang. Ketahuilah, Nak. Dulu langit kota kita penuh dengan cahaya bintang,” kata perempuan itu memulai ceritanya.
Bintang yang akhirnya ikut merebahkan tubuhnya berkata, “Iya, Bunda. Bintang juga masih ingat kok dulu waktu masih kecil, Bunda sering mengajak Bintang melihat bintang di langit. Indah sekali, ya, Bunda?”
Dalam temaram malam, perempuan bernama Intan itu menganggukkan kepala. Setelahnya kehangatan hadir di pelupuk matanya. Setelah itu dia meraih tangan anaknya. Tatapan matanya menembus permukaan sepasang mata layu itu. Dari sepasang mata itu, dia menemukan kesedihan disembunyikan di dasarnya. Dia tahu penyebab kesedihan itu. Dalam keheningan, ingatannya mengembara pada sebuah cerita.
Kala itu Bintang menceritakan tentang kondisi teman-temannya. Tentang teman-teman luar biasanya, lelaki pemilik tahi lalat di pipi itu menceritakan tangisan salah seorang temannya. Dia juga menceritakan perihal penyebab tangisan itu. Pun kejadian setelahnya, bintang di langit kota hilang satu, kata temannya itu.
Saat itu, Intanlah yang berusaha meredakan tangisan itu. Namun demikian tidaklah mudah. Meskipun dia dan suaminya telah berjuang melaksanakan tugas dari pemimpin kota sebaik mungkin, mereka berdua gagal menyelamatkan anak itu. Tidak sepenuhnya gagal memang karena mereka berdua berhasil membuat pelaku dipenjara. Namun, kecemasan teman Bintang itu tidak pernah sirna.
“Bunda kenapa selalu menolong mereka? Apa Bunda mengenal mereka?”
Pertanyaan Bintang membuat ingatan Intan kembali ke malam ini. Dia berusaha tersenyum ke arah anaknya itu. Dengan gegas dia berusaha menghapus air matanya itu dan meredam isaknya.
“Untuk menolong sesama, kita tidak perlu mengenal orang itu lebih dulu, Nak,” kata Intan sambil tersenyum kemudian melanjutkan kata-katanya, “sudah, Bintang. Bunda tidak apa-apa, kok,” kata Intan mengelus rambut anak lelakinya itu.
Anak lelakinya itu meraba-raba sekitarnya kemudian memeluk tubuh bundanya dan berkata, “Bunda ingat sama ayah?”
Intan berusaha menahan sesak. Bukan itu yang dia rasakan. Kesedihannya lebih dari sekadar berpisah dengan pasangan hidupnya sementara waktu. Saat ini jarak memisahkan keduanya. Tersebab tugas palsu untuk sementara hanya mengeja rindu lewat suara tanpa bisa langsung bertatap muka. Kesedihan Intan lebih pada nasib anak-anak di kotanya. Mereka bersedih kehilangan bintang di langit kotanya. Bahkan banyak di antara mereka yang kehilangan bintang di binar matanya. Tidak terkecuali anaknya.
Binar-binar bintang di mata mereka itu sirna ditelan kebiadaban, hilang dibinasakan keserakahan. Bintang-bintang di langit kota itu telah pergi bersama luka yang mereka alami. Bintang-bintang di langit kota itu lenyap bersama derita yang mereka rasakan. Pukulan demi pukulan, ucapan demi ucapan, rayuan demi rayuan, dan pembedaan demi pembedaan. Mereka benar-benar kehilangan dunia mereka yang penuh bahagia.
“Lalu kenapa Bunda menangis?”
Pertanyaan Bintang kembali menggugurkan ingatan-ingatannya. Dulu dia berjuang bersama belahan jiwanya. Namun, kehendak pemimpin kota berkata lain. Mereka sengaja dipisahkan agar tidak ada lagi ancaman atas kedudukan. Dia tahu, suaminya menyimpan bintang-bintang yang jatuh dari langit kota itu.
“Kenapa Bunda tidak mencarinya lalu meletakkan kembali bintang-bintang itu di langit kota?”
Kali ini Intan sejenak terdiam. Dia sadar dirinya tidak punya kuasa. Bintang-bintang itu telah dijaga oleh tiga orang paling perkasa di kota. Terlebih hanya orang-orang pilihan yang bisa membuat bintang-bintang kembali menjelma terang. Setidaknya begitu kata orang-orang pandai di kota. Dan, dia tahu sosok itu bukanlah ayah Bintang. Suaminya itu telah diasingkan oleh pimpinan kota setelah berhasil mengumpulkan bintang-bintang yang berserak. Pemimpin kota tidak menginginkan jika ternyata suaminya itu adalah orang pilihan. Padahal pemimpin kota sendiri pernah mencoba, tetapi kenyataannya bintang itu tetap enggan menyala. Dia hanya sedang berusaha, jika bukan dirinya, maka orang pilihan itu harus putra mahkota atau keluarga besarnya.
“Kenapa tidak Bunda saja yang mencobanya?”
Intan benar-benar terdiam. Dia belum menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan Bintang. Sebenarnya bukan Bintang saja yang bertanya seperti itu. Banyak penduduk kota yang sering menyarankannya untuk mencoba agar kota mereka kembali cemerlang. Namun, dia lebih memilih untuk menghabiskan waktu mengajari Bintang menemukan makna kehidupan di tempat pelarian. Dengan begitu setidaknya dia merasa telah mengganti kehilangan waktu bersama Bintang sekaligus menebus rasa bersalahnya selama ini. Rasa bersalah yang lahir dari sebuah kejadian yang tidak diinginkan. Kejadian setahun lalu yang membuat binar bintang lenyap dari mata Bintang.
“Apa Bunda tidak kasihan sama teman-teman Bintang di kota?”
Kali ini Intan tidak diam. Dia harus memberikan jawaban atas pertanyaan Bintang.
“Bintang anakku. Bunda tahu itu. Dalam hati, Bunda juga ingin mereka bahagia, termasuk kamu. Tapi apa kamu mau Bunda bernasib sama seperti ayahmu? Tidak, kan?”
Bintang memeluk erat tubuh bundanya. Keduanya larut dalam usaha meleburkan kesedihan. Begitu cara mereka mengelabui kerinduan pada lelaki yang mereka cintai di ‘pengasingan’, sendirian. Sedangkan mereka berdua harus berjuang keras menciptakan bahagia mereka sendiri di tempat persembunyian.
Malam pun mengantarkan mereka pada ujung lelap. Keduanya memejam hingga pagi hadir secara mengejutkan.
“Kalian berdua harus pergi dari rumah ini! Cepat!”
Intan yang masih setengah sadar berusaha mengumpulkan kesadarannya. Pagi masih terlalu buta untuk bisa menyadari apa yang sedang terjadi. Sambil memeluk Bintang, Intan menatap lekat pria renta yang berdiri di hadapannya.
“Cepat! Selamatkan dirimu dan anakmu!”
Menyadari ketegasan dalam suara serak sosok pria renta itu, Intan pun bertindak cepat. Dia bergegas mengemasi beberapa barang. Sementara Bintang yang tidak paham dengan apa yang harus dilakukan, berusaha mencari sumber suara.
“Ayo Kakek ikut kami juga!”
Kakek Bintang pun berusaha melonggarkan pelukan cucunya. Dia pun memberikan alasan agar cucunya bisa memahami kejadian. Bintang pun menganggukkan kepala kemudian berpamitan pada kakeknya dalam gandengan bundanya.
Kakek Bintang melepas kepergian keduanya dengan air mata. Mereka pun menghilang di keremangan setelah sebelumnya membuat perjanjian sebuah titik temu.
Selepas kepergian Intan dan Bintang, rumah Kakek Bintang mendadak riuh. Beberapa orang berseragam berdiri dengan angkuh. Di depan mereka berdiri pemimpin kota.
Tidak lama kemudian mereka pun membubarkan diri setelah yakin Intan dan Bintang benar-benar telah pergi. Rumah sederhana di pinggir kota itu pun kembali sunyi. Kakek Bintang segera melangkah meninggalkan rumah menuju titik temu. Di sana, Intan dan Bintang telah menunggu.
“Intan anakku. Kamu harus segera pulang,” kata Kakek Bintang sambil duduk di samping Bintang.
“Kenapa, Ayah?” Intan mencondongkan tubuhnya ke arah Kakek Bintang.
Kakek Bintang menarik napas lalu berkata, “Pemimpin kota membutuhkan bantuanmu.”
Di bawah pohon beringin itu, mereka bertiga menikmati harapan baru. Jika dia berhasil membantu pemimpin kota, ada harapan bisa lekas mempertemukan Bintang dengan ayahnya.
Mereka bertiga pun menembus pagi menuju kota. Perjalanan pagi penuh harapan itu pun terasa singkat. Di pusat kota, mereka disambut dengan suka cita. Mereka pun dipersilakan memasuki ruangan. Di sana, dada Intan terasa sesak. Mendengar isak bundanya, Bintang pun ikut tersedu. Intan melihat sosok lelaki perkasa yang selama ini dia rindukan.
“Bintang!”
Demi mendengar suara ayahnya, Bintang pun melepaskan genggaman tangan bundanya. Setengah berlari, Bintang menuju arah panggilan namanya. Namun, dalam hitungan detik sebelum dia merengkuh tubuh ayahnya, Bintang terjerembab. Sesaat kemudian tubuh mungil itu menghilang. Intan pun berteriak histeris menyadari Bintang yang tiba-tiba hilang. Tidak lama kemudian, Intan pun kehilangan kesadaran. Dia tidak tahu saat beberapa orang berpakaian putih-putih membawa Bintang naik ambulans.
“Bintang!”
Intan berteriak setelah membuka matanya. Namun, sepasang tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan. Matanya melotot berusaha mencari keberadaan anaknya. Dia berhenti meronta ketika pemimpin kota datang menghampirinya.
“Bagaimana kabarmu hari ini, Intan?”
Intan memalingkan wajahnya.
“Aku tahu kamu perempuan tangguh. Takkan menyerah meski belahan jiwamu diasingkan sekalipun. Tapi apa kamu masih sanggup jika harus berpisah dengan anakmu?”
Intan menahan amarah di dadanya. Membayangkan wajah Bintang seolah ada yang pecah dalam dadanya. Air mata pun membasahi seprai putih di ruangan penyekapan itu.
“Aku mau kamu membantuku, Intan. Saat ini setiap malam kota sama sekali sudah tidak bercahaya. Semua bintang telah berjatuhan. Aku pun kena imbasnya. Penduduk kota tidak lagi memercayaiku. Apa kamu ada saran untukku?”
Intan masih membisu. Dia berusaha mengulur waktu. Dia tahu kalau pemimpin kota akan melakukan apa saja untuk membuatnya tidak lagi memiliki pilihan.
“Kamu tidak sayang sama Bintang anakmu?”
Air mata Intan menderas. Dia benar-benar tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala.
“Baiklah besok setelah sembuh kamu mulai masuk kerja lagi seperti sebelumnya. Kerjakan apa yang harus kamu kerjakan. Aku yang jadi jaminan keselamatan anak dan suamimu. Mereka akan kembali padamu saat semua bintang kembali berpendar di langit kota.”
Keesokan hari pun benar-benar tiba. Intan bekerja seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dengan cekatan dia meletakkan satu per satu bintang di mata anak-anak kota. Sesekali dia harus seharian di kantor polisi untuk bisa meletakkan bintang di mata anak yang dituduh mencuri. Di hari lain dia harus berjuang meletakkan bintang di mata seorang anak perempuan yang meronta dililit masa lalu buruk bersama ayah tirinya. Tidak jarang dia harus berlari kencang menyelamatkan seorang anak yang hendak jatuh di jurang kehancuran keluarga. Dia pun tak lelah berjuang membuat anak berkursi roda bisa berdiri sama tinggi dengan anak-anak lainnya. Bintang demi bintang pun akhirnya kembali ke tempat mereka semestinya. Binar di mata anak-anak kota akhirnya menjadikan langit kota perlahan kembali bercahaya.
Hingga suatu hari dia menyadari masih ada satu bintang paling terang tak bertuan. Dia menyimpannya dalam genggaman. Dia tahu di mana harus meletakkannya.
Hingga akhirnya hari sesuai perjanjian itu pun tiba. Malam itu di bawah pohon beringin taman kota, Intan berkumpul kembali bersama keluarganya. Bersama mereka ada dokter dan perawat yang membantu menangani Bintang setelah kecelakaan. Mereka bersama-sama menikmati pendar cahaya di langit kota.
“Bintang. Bukalah matamu, Nak!”
Bintang menuruti perintah bundanya. Sekali jentikan, binar bintang berpendar di mata Bintang. Seketika bintang paling terang pun kembali bersinar di langit kota.
“Wah! Ternyata benar kata Bunda kalau bintang di langit itu sangatlah indah. Hore!”
Bintang pun berlari keliling taman kota sambil memandang taburan bintang di langit kota. Kota pun kembali menjelaskan kota baru yang cemerlang. Pandangan binar bintang dengan sinar paling terang. Binar itu adalah miliknya.
“Terima kasih, Tuhan,” batinnya sambil berlari menuju teman-temannya yang sedang bermain benteng. Dia tahu bahwa kotanya cemerlang berkat binar bahagia di matanya dan juga teman-temannya.
***