Lelaki Penghuni Makam Baturiti
“Jangan turunkan titah itu, Baginda!”
Sang Permaisuri terus merengek. Ia berusaha membujuk suaminya. Raja Anak Agung Gede Ngurah, untuk membatalkan rencananya.
“Tapi kenapa, Dinda?”
Raja Anak Agung Gede Ngurah menunduk. Ia menatap penuh tanda tanya ke arah istrinya, Denda Nawangsasih, yang sedang bersimpuh sambil memegang kaki sebelah kanannya. Sementara Denda Nawangsasih terus berusaha melunakkan hati suaminya. Sesekali ia terdengar terisak. Ia tahu dengan tangisan, hati sang Raja akan luluh.
Namun kali ini sangat berbeda. Raja sepertinya tetap teguh dengan pendiriannya. Ia kembali menegakkan kepala dan berusaha terus melangkah tanpa memedulikan istrinya yang berusaha menghalangi langkahnya.
“Dinda… kalau Dinda tidak mau mengatakan alasannya, saya tidak akan berubah pikiran. Paham?!”
Permaisuri yang setengah terseret langkah sang Raja masih juga tak menghentikan tangisannya. Ia justru semakin meronta sambil menguatkan pegangannya di kaki sang Raja. Hingga akhirnya saat sang Raja sampai di depan pintu kayu berukir warna emas tanpa pintu, ia menghentikan langkahnya. Dengan pelan ia pun menundukkan tubuhnya. Kedua tangannya berusaha memegang pundak permaisuri untuk membantunya berdiri. Ia kembali mengalah dengan keinginan istrinya.
“Dinda…,” kata sang Raja dengan nada rendah untuk menenangkan istrinya sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya, “tolong ceritakan dengan jujur agar semuanya bisa jelas dan saya tidak salah mengambil keputusan.”
Permasisuri yang telah berdiri di hadapan sang Raja hanya bisa menunduk. Ia mulai merangkai kata saat jemari sang Raja menyentuh dan mengangkat sedikit dagunya.
“Begini, Baginda. Firasat Hamba mengatakan kalau lelaki tua tersebut tidak bersalah. Ia orang baik. Sangat baik. Ia hanya difitnah. Hamba justru yakin kalau ia adalah orang besar dan bukan orang sembarangan. Dan, lagi ia juga sudah tua. Tanpa dihukum pun, ia hanya tinggal menunggu waktu dipanggil oleh pemilik kehidupan.”
Sambil melepaskan jemari tangannya dari dagu permaisuri, sang Raja menatap di kedalaman mata permaisurinya. Ia menemukan kejujuran. Dan, selama ini firasat permaisurinya itu memang tidak pernah salah.
Akhirnya, sang Raja membatalkan hukuman gantung dan mengganti bentuk hukuman yang lebih ringan. Sang Raja pun memerintahkan prajuritnya untuk membuang lelaki tua tersebut ke wilayah yang jauh dari kerajaan. Dan, sesaat setelah prajurit itu meninggalkan lelaki tua tersebut, hujan deras mendadak turun. Lelaki tua tersebut tidak berusaha untuk mencari tempat berteduh. Ia terus berjalan menyusuri sungai yang perlahan-lahan permukaan airnya naik.
Di salah satu sisi sungai, ia pun memutuskan beristirahat. Pandangan matanya kosong ke arah riak air sungai yang bergulung-gulung berwarna kecokelatan dan keruh. Di seberangnya, ia melihat sebuah kebun yang tampak subur ditumbuhi pohon pisang. Dalam sekejap, ia pun tiba di tempat yang dituju. Tanpa disadarinya, ada seseorang yang memerhatikannya. Ia adalah Kakek Minang. Ia hanya bisa membuka mulut lebar-lebar melihat apa yang dilakukan lelaki tua tersebut sejak tiba di seberang sungai. Dan akhirnya, ia pun tidak tahan untuk mengobati rasa penasarannya.
“Maaf, Kek. Kakek siapa?”
Lelaki tua yang baru saja sampai di seberang sungai tersebut tak menjawab. Ia terus melangkah meninggalkan tepi sungai menuju kebun pisang. Kakek Minang berusaha mengikuti langkahnya di tengah hujan yang masih mengguyur wilayah yang sepi tersebut. Merasa tak diacuhkan, ia berusaha menjajari lelaki tua tersebut.
“Siapa Kakek sebenarnya? Kenapa kehujanan baju Kakek tidak basah? Dan… tadi itu. Tadi itu Kakek bisa berjalan menyeberang di atas permukaan sungai yang sedang banjir. Kakek siapa sebenarnya?”
Berulangkali Kakek Minang mengulang pertanyaan yang sama. Lelaki tua tersebut tetap pada pendiriannya. Ia sama sekali tak membuka suara. Namun setelah berpuluh-puluh kali, lelaki tua tersebut luluh juga akhirnya. Di dekat kebun pisang, ia menghentikan langkahnya. Selanjutnya ia menatap Kakek Minang. Sesaat setelahnya, Kakek Minang merasakan kehangatan yang luar biasa dari pancaran sinar mata lelaki tua tersebut.
“Maaf, Kek. Saya akan memberitahukan jati diri saya hanya jika Kakek bersedia berjanji untuk tidak bercerita kepada siapa pun bahwa saya masih hidup. Kakek bersedia?”
Kakek Minang mengangguk cepat. Rasa penasarannya sudah benar-benar di ujung kepala.
“Baiklah. Saya sebenarnya adalah …”
Lelaki tua tersebut tidak melanjutkan kata-katanya. Sampai akhirnya ia yakin bahwa Kakek Minang adalah seseorang yang bisa memegang rahasia. Ia pun akhirnya menyelesaikan kata-katanya, “Saya sebenarnya adalah Sayyid Ahmad dari Baghdad.”
Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, Kakek Minang tak kunjung menutup mulutnya. Bahkan hingga sosok lelaki tua tersebut turun dari tangga kebun dan menghilang.
“Kakek! Kakek di mana?”
Suara teriakan Kakek Minang hilang begitu saja ditelan suara guntur yang bersahutan. Ia tak memedulikan itu. Ia terus berteriak mencari sosok yang telah menghilang. Saat kilat menyambar-nyambar di kejauhan, Kakek Minang telah berada di kebun pisang. Setengah berlari, ia berusaha menemukan sosok yang mengaku Sayyid Ahmad dari Baghdad tersebut.
Hingga akhirnya, hujan pun mengkihlaskan matahari untuk menggantikannya. Kakek Minang tampak kelelahan di sebuah sudut kebun pisang. Ia hampir kehabisan napas. Yang dicari tak kunjung ditemukannya. Ia pun akhirnya menyerah dan melangkah pulang ke rumah.
Tanpa sepengetahuan Kakek Minang, di kejauhan sesosok lelaki tua tengah melepas kepergian dirinya dari balik sebatang pohon pisang. Sebuah senyuman penuh keteduhan jelas terlihat di wajahnya. Perlahan ia pun beranjak mengambil arah berlawanan dengan Kakek Minang.
Beberapa waktu kemudian, di salah satu bagian kebun tersebut berdiri sebuah pondok sederhana. Awalnya tak terlihat aktivitas apa-apa, selain seorang lelaki tua yang sedang membuat layang-layang dari bagian dalam batang pohon pisang. Beberapa layang-layang yang sudah jadi tampak berderet rapi sebagai hiasan dinding. Beberapa di antaranya yang setengah jadi terlihat teronggok di salah satu sudut ruangan beserta bahan-bahan yang digunakannya. Hanya seperti itu saja aktivitas sehari-hari yang dilakukan olehnya. Hingga akhirnya semua berubah. Hampir setiap malam, dari pondok terdengar sayup suara orang membaca ayat suci Al Quran dengan sangat merdu.
Berawal dari cerita Kakek Minang tentang seseorang yang memiliki kesaktian tinggi ditambah kejadian tersebut, akhirnya membuat penasaran banyak masyarakat. Khususnya adalah warga desa Mambalan. Bahkan beberapa di antaranya akhirnya berniat untuk bersilaturahmi dengan pemilik pondok tersebut.
Terdorong rasa penasaran, beberapa warga terdekat mengunjungi pondok tersebut. Mereka tidak melihat adanya aktivitas. Hanya samar bayangan yang tercipta dari bias sumber cahaya yang seadanya. Di bola mata mereka hanya ada bayangan seorang lelaki tua sedang membaca kitab dengan khusyuk di pondoknya. Mereka pun memberanikan diri untuk bertamu dan menyampaikan niatnya. Awalnya ia menolak dengan halus. Namun akhirnya kesungguhan merekalah yang membuatnya luluh. Ia benar-benar memahami bahwa tanpa menularkan kepada yang lain, ilmu yang dimilikinya hanyalah sebuah kesia-siaan.
“Saya bukanlah siapa-siapa. Hanya dititipi ilmu oleh Allah SWT untuk disebarkan kepada yang benar-benar mau belajar.”
“Saya siap belajar sungguh-sungguh,” Terdengar suara seseorang yang terlihat paling muda di antara mereka.
“Saya juga siap untuk belajar agama Islam dengan sebaik-baiknya.” Kali ini giliran seseorang lainnya yang berada di bagian paling belakang.
Suara kesanggupan untuk belajar sungguh-sungguh terdengar di pondok tersebut. Hal tersebut membuat wajah lelaki tua tersebut berbinar. Kebahagiaan tumbuh bersama harapan-harapan bahwa keputusan sang Raja untuk tidak menggantungnya adalah keputusan yang tepat. Sepasang bibirnya kembali menciptakan senyuman. Beliau pun akhirnya beringsut menggeser duduknya dan meletakkan kitab yang selesai dibacanya di bagian terbawah rak kayu sederhana di salah sudut ruangan pondok miliknya.
Sejenak kemudian beliau menggeser duduknya mendekat beberapa masyarakat yang berniat untuk belajar. Beliau pun akhirnya mengajar mereka mulai dari hal-hal sederhana. Ketekunan mereka belajar hingga larut malam dalam kondisi remang-remang dan penerangan seadanya membuat lelaki tua tersebut semakin bersemangat untuk menularkan ilmu.
Berkat informasi dari mulut ke mulut perihal tingginya ilmu agama yang dimiliki, masyarakat pun berbondong-bondong ingin menjadi murid dan pengikutnya. Dengan tangan terbuka sosok yang akhirnya disebut sebagai ulama tersebut menerima siapa saja yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama.
Salah satunya adalah Raden Wayah Mu’min. Awalnya ia tak memedulikan keramaian orang-orang yang berkumpul di pondok sang Ulama yang setiap hari dilewatinya saat hendak pergi ke pasar. Ia berlalu begitu saja. Sama sekali tidak ada keinginan untuk sekadar berhenti sejenak dan menanyakan keriuhan yang terjadi. Ia terus melangkah di sepanjang jalan samping pondok tersebut. Satu-satunya yang ada dalam pikirannya adalah harapan semoga sirih yang dijualnya di pasar bisa laku dan habis.
Namun pada suatu hari ia tidak bisa menolak keinginan cucunya yang bernama Raden Muhammad Rais untuk ikut ke pasar. Ia pun menggendong cucunya yang masih kecil tersebut menuju pasar. Awalnya sepanjang perjalanan tidak ada sesuatu yang menghambat langkahnya. Hingga akhirnya tibalah ia tepat di samping pondok sang Ulama. Di salah satu bagian tepi jalan setapak, tubuhnya mematung. Selanjutnya ia berusaha menajamkan pendengarannya. Terdengar olehnya suara merdu beberapa orang yang sedang mengaji.
Ia pun menoleh ke arah cucunya di gendongan belakang. Keduanya beradu tatap dan senyuman tipis. Seperti didorong oleh kekuatan sangat besar, kakinya mendadak bergerak cepat ke arah pintu masuk pondok. Saat berada tepat di depannya, berkali-kali ia mengucap syukur.
Ini akan menjadi pembuka jalan kehidupan terbaik bagi cucu saya. Ia membatin sambil mengucapkan salam dan melangkah memasuki pondok. Ia pun diterima sang Ulama dengan ramah dan ditanya perihal keperluan kedatangannya.
“Maaf, Ulama. Saya mohon kiranya berkenan mendoakan cucu saya ini. Agar kelak ia menjadi seseorang yang pandai mengaji dan bisa menunaikan ibadah haji di Mekah.”
Demi melihat kesungguhan permohonan dari Raden Wayah Mu’min, sang Ulama pun serta merta mengabulkannya. Beliau segera mendaraskan doa-doa suci kepada Sang Maha Pencipta. Setelahnya Raden Wayah Mu’min pun pamit undur diri setelah mengucapkan terima kasih. Sebelumnya ia telah berjanji kepada sang Ulama untuk kembali lagi esok hari. Ia hanya tidak ingin doa yang telah dimunajatkan oleh sang Ulama sia-sia. Ia akan berusaha untuk memberikan pengertian kepada cucunya agar mau belajar ilmu agama.
Beruntung cucunya menerima masukan darinya. Cucunya sama sekali tidak keberatan dan justru dengan senang hati untuk belajar di pondok sang Ulama. Niat baik dan usaha cucunya pun bukanlah hal yang percuma. Ia bersyukur bahwa cucunya mau belajar dengan tekun. Sebuah ketekunan yang akhirnya membuahkan hasil baik bagi kebaikan hidup.
Dan benar saja. Beberapa tahun kemudian Raden Muhammad Rais pun mulai belajar membaca Al Quran dan membaca kitab-kitab agama. Di bawah didikan yang telaten dari sang Ulama, ia tumbuh menjadi pribadi yang baik dan menguasai ilmu agama dalam waktu yang singkat. Berkat asuhan sang Ulama juga, ia tumbuh menjadi sosok yang sabar dan penyayang.
Namun pada akhirnya salah satu kepastian dariNya tak bisa dielakkan oleh siapa pun. Termasuk seseorang yang berilmu tinggi sekalipun. Tak terkecuali sang Ulama. Waktu demi waktu pun terus berganti secara pasti. Siang dan malam bergantian bertukar peran sebagai akibat perputaran bumi pada porosnya. Bumi semakin menua. Pun sang Ulama yang tak pernah lelah mengajarkan ilmu agama. Beliau menjadi seseorang yang renta. Dan di usia yang memang sudah waktu seharusnya, pemilik kehidupannya menuliskan sebuah takdir yang tak bisa ditolaknya – kematian.
Kepergian sang Ulama yang sangat disegani pun akhirnya meninggalkan duka. Bukan saja murid dan pengikutnya, tetapi juga tokoh agama dan masyarakat. Semua ingin memberikan yang terbaik kepada beliau di akhir hayatnya. Hal yang nyata adalah timbulnya keinginan-keinginan terkait pemakaman beliau. Masyarakat dari berbagai desa menginginkan beliau dimakamkan di wilayahnya.
“Tidak bisa! Beliau harus dimakamkan di Sayang-Sayang. Saat dibawa kemari, prajurit yang dibawanya melewati wilayah kami.”
“Tidak bisa! Sayang-Sayang hanya dilewati. Beliau lebih pantas dimakamkan di Ranjok. Banyak warga Ranjok yang belajar pada beliau.”
“Enak saja! Pokoknya beliau harus dimakamkan di Kekeri. Setuju?!”
Seketika terdengar bunyi bersahut-sahutan. Tidak ada yang mau mengalah. Mereka merasa bahwa wilayah mereka adalah yang paling pantas untuk peristirahatan terakhir sang Ulama. Beda pendapat pun berlanjut. Mereka tidak bisa menahan diri.
Keadaan tersebut membuat kepala desa Mambalan, Cempa, merasa harus segera mengambil jalan tengah demi kedamaian kehidupan warga masyarakatnya. Dengan tegas, ia pun menyatakan bahwa sang Ulama adalah Batur ite yang berarti ‘orang sini’. Pernyataan tegas tersebut membuat warga masyarakat dari berbagai wilayah tersebut menjadi paham bahwa di mana pun sang Ulama dimakamkan, beliau tetaplah orang sini. Mereka akhirnya sepakat untuk memakamkan di tempat tinggal beliau dan menganggapnya sebagai baturite. Sehingga akhirnya, sampai saat ini lokasi pemakaman dikenal sebagai Baturiti. Sedangkan sang lelaki tua penghuni makam tersebut sampai sekarang dikenal sebagai Lalu Gede (besar) karena beliau ternyata adalah seorang ulama besar.
oOo