Masjid di Atas Awan
“Saya yakin tidak ada yang semegah ini!”
Dengan nada yakin Baloq Anggeq mengucapkan itu. Melihat Baloq Anggeq yang begitu yakin membuat Lalu Sri Gede yang biasa dipanggil Kiai Gede tersenyum kecil. Perlahan beliau berjalan mendekat ke arah Baloq Anggeq. Di samping bangunan megah beratap kubah itu, Baloq Anggeq masih berdiri menatap takjub. Dia tidak menyadari Kiai Gede telah berdiri di sampingnya. Dia tersadar saat merasakan ada yang menyentuh lengannya.
Menyadari siapa yang telah menyentuh lengannya itu, Baloq Anggeq pun bergegas membungkukkan badan. Dengan penuh hormat dia pun menjura. Sosok alim ulama yang masih tersenyum itu berusaha membangunkan Baloq Anggeq yang masih membungkuk. Keduanya kini berdiri berhadapan. Sorot mata penuh keteduhan sosok itu membuat Baloq Anggeq menundukkan kepala. Dia merasa belum seberapa dibandingkan ulama yang menguasai ilmu agama dan ilmu kesaktian itu. Baloq Anggeq pun akhirnya memberanikan diri tenggelam dalam keteduhan kolam mata sosok ulama panutannya itu. Keduanya pun akhirnya bertukar senyum. Setelahnya sosok ulama yang tidak pernah lupa memakai sorban putih itu mengajak Baloq Anggeq melangkah menuju masjid.
Di bagian dalam masjid megah di wilayah Sayang-Sayang itu, mereka berdua pun menjalankan salat Jumat. Pada hari itu, mereka beribadah dengan jamaah yang hanya setengah bagian dalam masjid. Setelah selesai, keduanya terlihat mengobrol dengan hangat di sudut bagian dalam masjid.
“Anggeq … Kalau boleh saya tahu, kenapa kau begitu yakin tidak ada yang lebih megah dari masjid ini?” tanya Kiai Gede yang duduk bersila beralas tikar pandan.
Baloq Anggeq tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menundukkan kepala dalam-dalam. Dia sadar kalau pengalamannya masih kalah jauh dibandingkan gurunya ini. Dia hanya bisa berusaha memutar otak memikirkan jawaban yang paling tepat. Namun, semakin berusaha menemukan jawaban, dia merasa kosong yang ditemukan. Ingatan demi ingatan tentang masjid yang pernah dikunjunginya berkelindan menawarkan pesonanya. Menurutnya memang masjid inilah yang paling megah di antara masjid lainnya.
Menurut Baloq Anggeq kemegahan masjid ini terlihat dari saat pertama melihatnya. Struktur bangunan yang kokoh adalah kunci kemegahannya. Ditambah dengan pilar-pilar tinggi dan besar berwarna kuning dipadu dengan ornamen keemasan.
“Maaf jika saya salah, Kiai. Tapi ini menurut pendapat pribadi saya saja. Dibandingkan masjid lainnya, masjid di Sayang-Sayang ini paling megah,” jawab Baloq Anggeq sambil kembali menundukkan kepala.
Kiai Gede hanya tersenyum ke arah Baloq Anggeq lalu berkata, “Anggeq … Apa kau yakin?”
Sambil tetap menunduk, Baloq Anggeq menganggukkan kepala. Keyakinannya sulit untuk dipatahkan. Dalam hati dia bermunajat semoga anggukannya itu tidak diartikan salah oleh Kiai Gede. Dalam debar dia menunggu tanggapan dari kiai yang sudah sering mengunjungi masjid-masjd hampir di seluruh dunia. Tidak butuh waktu lama bagi Baloq Anggeq untuk menunggu tanggapan yang diharapkannya.
“Tenang saja, Anggeq. Saya tidak akan menyalahkan pendapatmu. Sah-sah saja,” kata Kiai Gede yang sesaat kemudian menarik napas dan melanjutkan kata-katanya, “bukankah masing-masing kita berhak untuk berpendapat?”
Ketenangan mulai dirasakan oleh Baloq Anggeq. Mendengar tanggapan Kiai Gede, Baloq Anggeq pun mulai berani mengangkat wajahnya. Setelah membetulkan posisi duduknya, dia pun mulai mengatur napas.
Dia lalu berkata, “Benar, Kiai. Terima kasih untuk tanggapannya. Kalau menurut Kiai sendiri bagaimana?”
Dari tempatnya duduk, Kiai Gede menatap dalam perigi yang ada di bola mata Baloq Anggeq. Keingintahuan jelas terpantul dari kedalamannya. Sinar mata Baloq Anggeq yang berkilat-kilat adalah gerbang untuk melihat kesungguhan itu. Dengan tenang, kiai yang bermukin di Baturiti Gunungsari itu mulai menjawab rasa penasaran Baloq Anggeq.
“Sebenarnya tidak semudah itu kau akan bisa mengetahui tanggapan saya. Anggeq … untuk mengetahuinya ada satu syarat yang harus kau penuhi. Apakah kau sanggup?” tanya Kiai Gede sambil menyandarkan tubuhnya yang meskipun telah uzur, tetapi tetap terlihat kuat itu.
Tanpa berpikir panjang Baloq Anggeq langsung menjawab, “Saya sanggup, Kiai!”
“Apa pun itu?” tanya Kiai Gede mempertegas jawaban Baloq Anggeq.
“Apa pun itu, seberat apa pun itu, saya pasti akan sanggup memenuhi syarat itu, Kiai,” jawab Baloq Anggeq yang menyimpan api semangat di dadanya.
Kiai Gede tersenyum melihatnya. Setelahnya, beliau beranjak dari duduknya. Baloq Anggeq yang berusaha membantunya berdiri ditepis tangannya. Beliau pun berkata, “Tidak perlu, Anggeq. Untuk sekadar berdiri sendiri aku masih sanggup.”
Baloq Anggeq tersipu. Dia merasa bersalah karena telah menganggap Kiai Gede lemah.
“Maafkan saya, Kiai. Saya terdorong dengan sendirinya melakukan itu. Sama sekali tidak ada niat untuk melakukannya,” kata Baloq Anggeq sambil merapikan jubahnya yang di beberapa bagian terlihat kusut saat duduk sebelumnya.
Seperti biasa, Kiai Gede hanya tersenyum. Setelahnya beliau berkata, “Tidak perlu dipikirkan itu, Anggeq. Yang penting kau sanggup memenuhi syarat itu.”
Keduanya pun akhirnya terlihat berjalan beriringan. Di halaman masjid, Baloq Anggeq memberanikan diri untuk memecah kesunyian antara mereka berdua pagi itu.
“Maaf, Kiai. Kalau boleh saya tahu, apa syarat yang harus saya penuhi?” tanya Baloq Anggeq setelah menghentikan langkahnya.
Tepat di depannya, Kiai Gede juga memutuskan tidak melanjutkan langkah. Beliau terlihat membalikkan badan lalu berkata, “Besok hari Jumat depan, saya tunggu kedatanganmu di pondok.”
Belum sempat menjawab, Baloq Anggeq terlebih dahulu dikejutkan dengan adanya pusaran angin kecil di depannya. Sesaat setelahnya, dia menatap kosong ke arah tempat berdiri Kiai Gede sebelumnya.
“Kiai, Kiai di mana?!” Baloq Anggeq berteriak.
Namun, panggilannya itu tidak mendapatkan jawaban. Baloq Anggeq memutar bola matanya ke sekitar area masjid. Pandangannya mencari-cari keberadaan guru mengajinya itu. Dia tidak bisa menemukannya. Menyadari itu, dia pun akhirnya memutuskan untuk melangkah pulang. Dalam hatinya tumbuh keyakinan, bahwa gurunya itu telah tiba di pondoknya.
Baloq Anggeq pun membawa kebahagiaan hatinya menuju rumah. Setiba di rumah, dia tidak bisa menghilangkan pertanyaan tentang syarat yang harus dipenuhinya itu. Dia semakin bertanya-tanya, kenapa hanya untuk sebuah tanggapan tentang kemegahan masjid saja harus menunggu besok hari Jumat.
Siang dan malam pun akhirnya berbagi tugas menemani hari seperti biasanya. Hingga akhirnya, tibalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Baloq Anggeq. Dan, pada hari Jumat itu, dia bangun lebih awal dari biasanya. Bergegas dia pergi ke masjid terdekat untuk menjalankan salat Subuh berjamaah. Setelahnya, tanpa membuang waktu dia segera menyiapkan diri untuk pergi ke pondok Kiai Gede. Tidak butuh waktu lama bagi Baloq Anggeq untuk tiba di pondok tempatnya menuntut ilmu agama itu.
Setibanya di sana, dia dipersilakan masuk setelah mengucapkan salam. Sambutan hangat Kiai Gede selepas Subuh itu adalah kebahagiaan tersendiri bagi Baloq Anggeq. Setelah bercakap sebentar tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh Baloq Anggeq, Kiai Gede pun memintanya untuk mempersiapkan diri. Mengawali harinya, dia diminta oleh Kiai Gede untuk mandi. Dengan senang hati dia pun bergegas menuju bagian belakang pondok.
Di sana Baloq Anggeq melihat ada sesuatu yang berbeda. Tempat mandi dari pancuran yang terbuat dari bambu telah berubah menjadi emas. Sepasang matanya terpaku pada pancuran itu. Tanpa disadarinya, dia berteriak kecil, “Wow luar biasa!”
Baloq Anggeq pun akhirnya selesai menjalankan ritual mandinya. Dia bergegas menemui Kiai Gede yang sedang melantunkan ayat-ayat suci di musala sederhana. Pria berusia sekitar tujuh puluhan tahun itu sontak menghentikan langkahnya. Sepasang telinganya menangkap kemerduan dan mengantarkannya ke otak untuk memahami makna. Selanjutnya dia membiarkannya mengalirkan rangsang suara itu dalam bentuk kesyahduan ke lubuk hatinya. Hatinya pun akhirnya mampu menggerakkan niatnya untuk melakukan hal yang sama.
Mereka berdua menghentikan lantunan itu saat terdengar suara ringkik kuda tidak jauh dari tempat mereka. Kitab pun akhirnya ditutup dengan doa-doa. Kiai Gede terlihat mengajak Baloq Anggeq menuju kandang kuda. Dalam perjalanan singkat itu, Kiai Gede mengutarakan tugas-tugas yang harus dijalankan oleh Baloq Anggeq.
“Anggeq … Tugas pertamamu tidak berat. Kau hanya bertugas mengeluarkan kuda saya dari kandang. Apakah kau sanggup?” tanya Kiai Gede di depan kandang.
Dengan senang hati, Baloq Anggeq menjawab, “Saya tentu sanggup, Kiai.”
Dia pun segera membuka pintu kandang dan memegang tali kekang. Sekali tarik, kuda itu pun mulai menggerakkan kakinya. Namun, bukan keluar kandang. Kuda itu justru menuju sudut kandang. Hal itu membuat Baloq Anggeq kebingungan. Dia pun meminta petunjuk pada Kiai Gede. Setelahnya dia pun berhasil mengeluarkan kuda dari kandang. Kiai Gede kemudian mengajaknya naik.
“Tugasmu selanjutnya adalah menemaniku salat Jumat. Apa kau sanggup, Anggeq?” tanya Kiai Gede sambil menarik kekang kuda secara perlahan.
Di atas kuda yang mulai melangkah itu, Baloq Anggep menyatakan kesanggupanya. Dia tidak punya pilihan lain selain menjalankan tugas itu.
“Sekarang tutup matamu!. Jangan pernah kaubuka sebelum kuperintahkan,” kata Kiai Gede yang kemudian menarik tali kekang dengan kencang.
Baloq Gede pun mengikuti perintah gurunya. Dia memejamkan kelopak matanya. Dia merasakan Kiai Gede menarik tali kekang dengan kencang. Sesaat setelahnya, dia tidak merasakan apa-apa. Tidak embusan angin ataupun detak jantungnya. Dia kembali sadar saat mendengar suara gurunya.
“Sekarang buka matamu!”
Baloq Anggeq pun segera membuka matanya. Gumpalan putih terbias jelas di kornea matanya. Retina matanya menangkap dan mengantarkan ke otak lalu menerjemahkannya sebagai awan.
“Kita di mana, Kiai?” tanya Baloq Anggeq saat kakinya menjejak di gumpalan putih itu.
Kiai Gede menunjuk ke arah tidak jauh dari tempat mereka berdiri, “Kita sedang di atas awan. Kaulihat puncak gunung itu?”
Baloq Anggeq menganggukkan kepala saat Kiai Gede berkata, “Itu adalah puncak gunung Rinjani, Anggeq.”
Ucapan syukur secara spontan terucap dari bibir Baloq Anggeq. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan pengalaman sehebat ini bersama gurunya.
“Nah, Anggeq. Sekarang ayo kita ke sana,” kata Kiai Gede menunjuk sebuah bangunan tidak jauh dari puncak Rinjani.
Baloq Anggeq yang masih merasa yang dialaminya adalah mimpi hanya bisa bertanya, “Bangunan apa itu, Kiai? Apakah itu masjid?”
“Benar, Anggeq. Itu adalah masjid di atas awan.”
Baloq Anggeq pun tersenyum penuh ketakjuban. Dalam hati dia menyimpan pertanyaan bagaimana mungkin ada masjid di atas awan? Belum sempat dia bertanya tentang hal itu, Kiai Gede telah lebih dulu menarik tangannya.
“Ayo, jamaah sudah banyak yang menunggu!”
Baloq Anggeq pun mengikuti langkah gurunya menuju masjid itu. Pandangan matanya tidak bisa lepas dari pemandangan di sekitarnya. Banyak kiai terlihat berbondong-bondong menuju masjid. Keduanya pun akhirnya tiba di halaman masjid yang sudah ramai. Pada saat salat Jumat, Kiai Gede bertindak sebagai imam. Pada saat itu, Baloq Anggeq yang merasa minder berkumpul dengan golongan kiai besar, memilih untuk menjadi makmum di saf paling belakang.
Ibadah salat Jumat pun akhirnya usai. Setelah bermunajat, Baloq Anggeq pun mencari keberadaan gurunya di tengah para kiai yang sedang membubarkan diri. Namun, karena merasa usahanya sia-sia karena berjubelnya kiai yang sedang keluar, dia pun memutuskan menunggu. Sampai kiai terakhir keluar, Kiai Gede tidak kunjung kelihatan.
“Aduh, Kiai ke mana, ya?” tanya Baloq Anggeq dalam hati sambil memindai setiap yang ada di sekitar masjid megah itu.
Menyadari yang dilakukannya seolah menjaring angin, Baloq Anggeq pun memutuskan untuk duduk di teras masjid. Dia mendadak berubah serupa layang-layang yang putus talinya. Pria sederhana itu hanya bisa meratapi nasibnya. Di saat asanya hampir saja benar-benar hilang, seseorang datang menghampirinya.
“Kiai siapa?” tanya orang itu sambil duduk di sebelah Baloq Anggeq.
Dengan lemah Baloq Anggeq menjawab, “Maaf, saya bukan kiai. Saya hanya orang biasa. Jangan panggil saya Kiai. Panggil saja Amaq Anggeq.”
Seseorang itu menyahut sambil membetulkan posisi duduknya, “Oya, saya penjaga masjid ini. Maaf kalau boleh tahu bagaimana ceritanya Anda bisa sampai di sini?”
Baloq Anggeq menarik napas panjang. Setelah itu dadanya terlihat mengembang lalu sesaat kemudian mengempis. Gerakan itu berulang dengan irama yang tidak teratur. Butuh waktu cukup lama baginya untuk menciptakan irama yang teratur. Setelah irama berhasil ditaklukkannya, dia pun memulai ceritanya.
Penjaga masjid itu hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa menyela sekalipun. Pria muda berbadan tinggi besar itu pun akhirnya membuka suara setelah Baloq Anggeq menyelesaikan ceritanya.
“Begini, Kiai. Eh … Maaf, Amaq Anggeq. Jadi, Kiai Gede akan kembali ke sini Jumat depan. Itu artinya, Amaq Anggeq harus menunggu seminggu lagi untuk bisa bertemu Kiai Gede.”
Baloq Anggeq pun menyahut, “Lalu saya harus bagaimana agar Jumat depan tidak ditinggalkan lagi oleh Kiai Gede?”
Penjaga masjid itu pun menjelaskan strateginya, “Jumat depan, berdirilah di saf paling depan tepat di belakang Kiai Gede yang menjadi imam.”
Setelah penjaga masjid itu menjelaskan rahasia terakhir, Baloq Anggeq menganggukkan kepala. Selama seminggu Baloq Anggeq pun tinggal dan membantu pekerjaan penjaga masjid. Tanpa terasa seminggu pun berlalu. Jumat mulia kembali menyapa. Rombongan kiai kembali memenuhi masjid sederhana itu. Sungguh berbeda jauh dengan masjid di kampungnya. Baloq Anggeq pun ikut menjadi jamaah dan mengambil posisi seperti yang dijelaskan penjaga masjid.
Salat Jumat pun akhirnya usai. Secepat kilat Baloq Anggeq menarik jubah Kiai Gede yang sedang bersiap pergi. Dia pun berhasil berpegangan erat pada bagian belakang jubah Kiai Gede dan ikut menghilang bersama Kiai Gede. Keduanya pun kembali tiba di pondok Kiai Gede. Setelah memasukkan kuda ke kandang, Baloq Anggeq diajak Kiai Gede menuju ruang tengah pondok. Di tempat itu, Kiai Gede meminta Baloq Anggeq untuk menjelaskan pembelajaran yang diperoleh dari kejadian itu.
“Jadi begini, Kiai. Dari kejadian di masjid atas awan, saya memperoleh pelajaran kemegahan masjid bukan terletak pada penampakan bangunannya, tetapi lebih pada jamaah yang memakmurkannya,” jawab Baloq Anggeq dengan yakin.
Mendengar jawaban itu, Kiai Gede tersenyum. Dia bangga akhirnya muridnya itu bisa menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan yang dilontarkannya.
Baloq Anggeq pun ikut tersenyum sambil berkata, “He he he. Dan masih ada pelajaran lainnya, Kiai. Jadi, sebagai makmum seharusnya berusaha berada di saf paling depan agar tidak ditinggalkan oleh kebaikan.”
Baloq Anggeq lantas tertawa mengingat kejadian yang menimpanya. Tidak terkecuali Kiai Gede. Keduanya larut dalam tawa bahagia. Sebuah potret guru dan murid yang cair dalam hubungan yang dekat dan hangat.
ooOoo