Titik Balik: Cerita Rakyat Sasak (5)

Cerpen133 Dilihat

Syiar Lebai Sandar di Bandar

 

Debur ombak menghantam bibir pantai. Bergulung-gulung mengayun buih putih yang bergolak. Berkejaran seakan berlomba siapa yang lebih dulu tiba di pantai. Sebagian terseret di hamparan pasir yang landai. Sebagian lagi pecah saat menghantam batu karang.

Ombak kian menderu beradu dengan keramaian di pantai itu. Suara teriakan bersahutan ketika ada gelombang besar datang.

“Hati-hati!”

Teriakan peringatan membuat beberapa orang lelaki berbadan tegap mundur beberapa langkah.

“Awas jaga jarak! Jangan sampai tertabrak!”

Lelaki-lelaki tanpa penutup badan itu pun mengambil sikap siaga. Mereka berjaga mengamankan gelombang besar terakhir yang telah siap menghantam. Dan, benar saja tidak lama kemudian gelombang besar itu sirna. Bersamaan dengan itu, tidak jauh di depan mereka telah berdiri kokoh susunan kayu-kayu mengilat.

Mereka bergerak ketika mendengar aba-aba.

“Cepat tarik dan ikat kuat-kuat!”

Mereka pun melakukan tugasnya dengan cekatan. Setelah pantai kembali tenang, benda besar dengan bahan utama kayu itu merapat ke pantai. Sorak-sorai terdengar bergemuruh ketika perlahan-lahan kayu panjang terjulur dari bagian atasnya.

Ombak kecil membuat bentangan-bentangan kain putih tebal di bagian atas ikut bergoyang-goyang. Sesaat kemudian kain lebar dan panjang itu berubah menjadi gulungan. Setelahnya perahu layar itu benar-benar bersandar dengan sempurna.

Para penumpang sepertinya sudah tidak sabar untuk melepas penat. Mereka pun berusaha meniti papan panjang untuk bisa tiba di pantai. Sebagian besar penumpang terlihat membawa banyak barang untuk dijual. Sebagian lagi hanya membawa tas berisi kitab dan buku bacaan.

Di pantai yang riuh dengan perahu-perahu yang datang dan pergi itu, mereka yang baru tiba bergerak perlahan meninggalkan pelabuhan sederhana. Di simpang lima, langkah mereka terpecah. Di antara kerumunan itu, terlihat dua orang berpakaian putih-putih. Mereka berdua memutuskan untuk beristirahat di kampung dekat pelabuhan. Mereka berpisah dengan teman-temannya yang sebagian besar terus bergerak menuju arah utara. Mereka itu akan berdagang di pasar yang ada di sana.

“Kita istirahat dulu di sini, Dinda Lebai Sari,” kata lelaki bersorban putih sambil meletakkan tas besarnya.

Sementara lelaki berpakaian sama Di sampingnya itu menganggukkan kepala. Keduanya pun duduk dan bersandar Di pohon besar yang tumbuh di pinggir jalan tanah itu.

“Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Kanda?”

“Yang pasti kita akan berdagang. Menjual kitab dan juga perlengkapan salat di pasar terdekat,” jawab lelaki itu.

Lelaki berjenggot itu kemudian menegaskan kepada adiknya, “Kita tidak usah buru-buru, Dinda. Perjalanan laut berhari-hari dari tanah kelahiran kita rasanya sangat melelahkan.”

“Iya, Kanda,” jawab adiknya singkat.

Ditemani sepoi angin pantai, keduanya pun terlelap. Hingga siang menjelang keduanya terbangun oleh para pejalan yang lalu lalang. Salah seorang pejalan itu adalah penduduk kampung terdekat. Lelaki yang mengenakan kain penutup bagian bawah dan ikat kepala itu menghampiri keduanya. Dengan ramah dia pun duduk bersila di hadapan mereka berdua.

“Maaf, Kisanak. Kalian berdua ini siapa? Kenapa tidur di sini?”

Mendengar pertanyaan itu Lebai Sandar menjawab, “Saya Lebai Sandar dan dia adik Saya, Lebai Sari. Kami adalah pedagang dari pulau Sumatra. Kami hendak berdagang di pasar, tetapi istirahat karena kelelahan.”

Demi melihat penampilan keduanya yang santun, lelaki itu menawarkan tempat tinggal dengan sewa murah. Keduanya pun sepakat menerima tawaran itu.

Di rumah sewa sederhana itu, keduanya melanjutkan istirahatnya setelah sesaat sebelumnya melaksanakan ritual ibadah salat dan mengaji. Sementara dari kejauhan, pemilik rumah memperhatikan diam-diam.

Sore menjelang ketika Lebai Sandar dan Lebai Sari berkeliling kampung. Mereka berhenti di sebatang pohon beringin. Di tempat itu aroma dupa menguar. Keharumannya begitu tajam menusuk hidung. Keduanya memperhatikan sekitar pohon itu. Sesajen berupa bunga berbagai macam warna terlihat menumpuk. Beberapa waktu lamanya mereka berdua terdiam. Hingga waktu magrib tiba menyadarkan mereka.

“Ayo kita pulang, Dinda. Hari sudah mulai gelap,” ajak Lebai Sandar pada Lebai Sari.

Lebai Sari menganggukkan kepala kemudian melangkah mengikuti kakaknya. Dengan sedikit bergegas keduanya menembus petang yang merambat malam.

Setiba di rumah mereka pun salat magrib berjamaah. Bacaan demi bacaan terlantun dengan sangat merdu. Tanpa mereka berdua sadari, sepasang mata mengintip dalam kegelapan. Lampu minyak di dalam rumah terlihat bergoyang tertiup angin dari celah-celah dinding bambu. Bayangan dua orang yang melakukan gerakan salat membuat sosok pengintip itu tertegun. Dia tersadar ketika gerakan tertib itu selesai.

“Masuklah, Kisanak!” kata Lebai Sandar setelah selesai berdoa.

Sosok pengintip itu tidak menjawab. Dia masih terpaku di tempatnya berdiri. Sosok itu bergerak ketika Lebai Sari menghampirinya.

“Ayo masuk. Kami akan memberitahu semua apa yang ingin Kisanak tahu,” kata Lebai Sari dengan lembut.

Sosok dalam kegelapan itu pun akhirnya masuk mengikuti langkah Lebai Sari. Di dalam rumah beratap ilalang itu, mereka bertiga duduk melingkar.

“Maafkan saya, Tuan. Saya sama sekali tidak bermaksud jahat,” kata sosok pengintip yang ternyata lelaki itu.

Lebai Sandar tersenyum kemudian berkata, “Tidak apa-apa, Kisanak. Kami tahu itu. Kami percaya Kisanak adalah orang baik setelah sebelumnya menawarkan menyewa rumah ini.”

“Oya, kalau boleh tahu apa yang ingin Kisanak tahu?” tanya Lebai Sari.

Lelaki berusia senja itu menggelengkan kepala. Setelahnya dia justru menundukkan kepala dalam-dalam. Kedua tangannya menekan lututnya kuat-kuat.

Melihat hal tersebut Lebai Sandar berusaha membuatnya lebih santai. Dia pun membatalkan niatnya untuk menginterogasi. Dia meminta tolong kepada Lebai Sari untuk menyiapkan ubi rebus dan kopi. Kebekuan sikap pun akhirnya cair. Lelaki senja itu akhirnya larut dalam tawa bersama. Dia telah masuk ke dalam cerita Lebai Sandar tentang daerah asalnya. Tidak terkecuali agama serta adat istiadatnya.

“Jadi di sana berbeda ya?” tanya lelaki itu dengan hati-hati.

Lebai Sandar tidak segera menjawab. Dia justru mempersilakan lelaki itu untuk menikmati sajian yang telah dihidangkan. Sementara Lebai Sari melantunkan ayat-ayat suci Al Quran dengan bantuan penerangan lampu minyak. Seketika kesyahduan melingkupi seluruh ruangan. Perlahan mengembara selanjutnya meresap hingga ke dalam hati dan jiwa. Demi mendengar ayat demi ayat itu, ketenangan merasuk ke dalam diri lelaki yang sedang menikmati secangkir kopi. Seketika dia pun menghentikan aktivitasnya. Dia berusaha menajamkan pendengarannya. Semakin dia berusaha menajamkan, getaran dalam hatinya terasa semakin hebat.

“Ajari saya, Kisanak,” katanya kemudian setelah Lebai Sari menyelesaikan bacaannya.

Lebai Sari pun menyahut cepat, “Dengan senang hati, Kisanak. Sebisa saya akan mengajari Kisanak.”

Ketiganya pun tenggelam dalam perbincangan hingga larut. Banyak hal yang mereka bagi. Salah satunya adalah tentang rencana Lebai Sandar untuk mendirikan sebuah masjid di kampung itu. Lelaki yang secara resmi menjadi pengikutnya itu pun memberikan saran. Saran utamanya adalah memanfaatkan tanah yang dimilikinya tidak jauh dari rumahnya tersebut.

“Wah terima kasih, Kisanak. Segera setelah banyak yang mau bergabung kita akan mendirikan masjid untuk salat berjamaah,” kata Lebai Sandar.

Dan, akhirnya pertemuan malam itu menjadi awal perjuangan bagi Lebai Sandar dan adiknya untuk menyebarluaskan agama Islam di tanah Lombok. Lebai Sandar dan Lebai Sari selain berdagang juga melakukan pendekatan-pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat. Namun, tidak semudah yang mereka bayangkan. Sebagian besar masyarakat di kampung itu masih memilih berpegang teguh pada keyakinannya. Tantangan ini membuat Lebai Sandar dan Lebai Sari memutar otak. Mereka berdua pun memutuskan untuk mengubah pendekatan.

“Maaf, Kisanak. Saya hanya tidak ingin melupakan bahwa arwah nenek moyang kami selalu membantu kami,” kata salah seorang penduduk suatu hari.

Mendengar hal itu Lebai Sandar pun menganggukkan kepala. Hingga akhirnya dia pun menemukan cara. Dia dan Lebai Sari memutuskan untuk menggunakan cara yang lebih halus, yaitu membuat mereka tertarik untuk mempelajari agama Islam. Salah satunya adalah dengan mendirikan masjid.

“Jadi bagaimana, Kisanak? Apakah penawaran tanah untuk membangun masjid dulu itu masih berlaku?” tanya Lebai Sandar setelah selesai mengajar lelaki itu mengaji.

Dengan semangat lelaki itu menjawab, “Tentu saja, Kiai! Kapan mau mulai membangun?”

“Secepatnya, Kisanak. Semakin cepat akan lebih baik bagi kita dalam beribadah. Bukan begitu, Kanda?” kata Lebai Sari menanggapi.

Lebai Sandar pun menanggapi, “Benar, Dinda. Jika kita sudah punya masjid, insyaallah semua akan lebih mudah.”

Hingga waktu yang disepakati pun tiba. Lebai Sandar dan Lebai Sari dibantu beberapa orang pengikutnya mulai membangun masjid. Mereka tidak peduli dengan tatapan sinis beberapa penduduk yang tinggal di sana. Mereka juga tidak acuh dengan perkataan beberapa pejabat kampung yang enggan bergabung dengan mereka.

“Apa mau dibangun sama mereka itu, ya?”

Seorang penduduk terdengar melemparkan pertanyaan dengan nada mencemooh. Penduduk lainnya menyahut.

“Iya. Mungkin mau bangun candi. Atau … bikin makam?”

Beberapa orang penduduk pun melemparkan kata-kata yang tidak beda jauh maknanya.

“Ha ha ha … Aneh-aneh saja pendatang itu!”

Cemoohan dan hinaan tidak mengurungkan niat Lebai Sandar dan yang lainnya. Mereka terus berusaha menyelesaikan apa yang telah dimulai. Dengan semangat gotong royong, masjid megah berdinding tanah dan beratapkan alang-alang. Bangunan mulia itu pun akhirnya berhasil dibangun juga.

Untuk memudahkan upaya penyebarluasan agama Islam, Lebai Sandar dan Lebai Sari bergerilya. Dia terus melakukan dialog secara sembunyi-sembunyi untuk menambah pengikut. Sesekali Lebai Sandar juga melakukan tausyiah di hadapan para jamaahnya. Semakin lama jamaah Lebai Sandar pun bertambah. Hampir semua penduduk di kampung itu memeluk agama Islam. Meskipun tidak semua menjalankan syariatnya dengan sungguh-sungguh. Hal ini membuat Lebai Sandar dan Lebai Sari semakin berusaha kuat untuk memberikan penyadaran kepada penduduk sekitarnya. Hingga akhirnya jamaah itu pun semakin kuat dan solid. Salat wajib sudah mulai rutin dijalankan di masjid. Ritual demi ritual pun perlahan mulai ditinggalkan. Kepercayaan terhadap roh penghuni pohon beringin juga telah terkikis. Jamaah Lebai Sandar pun menjelma kekuatan.

“Alhamdulillah akhirnya kita bisa sama-sama berkumpul dan berjuang di jalan Allah,” kata Lebai Sandar dalam suatu kesempatan.

Jamaah pun menyambut dengan takbir, “Allahu Akbar!”

Riuh terdengar di segala penjuru masjid. Kebersamaan dalam ibadah itu akhirnya membuat mereka merasa senasib sepenanggungan. Mereka tetap beribadah dan rutin membersihkan masjid maupun kampung secara bergotong-royong. Kondisi seperti itu membuat raja yang berkuasa menjadi khawatir. Raja yang berkuasa pun berusaha menghentikan penyebaran agama Islam di wilayahnya.

“Dinda, sepertinya kita harus beristirahat sejenak. Gerak-gerik kita sepertinya tidak aman,” kata Lebai Sandar selepas salat Isya berjamaah di masjid.

Lebai Sari menganggukkan kepala pelan kemudian berkata, “Iya, Kanda. Jika boleh meminta izin, izinkan saya mengembara sendiri ke wilayah lain.”

Lebai Sandar mengerutkan kening mendengar pernyataan adiknya itu. Dia tidak menyangka kalau adiknya memiliki keputusan seperti itu.

“Tapi Dinda akan mengembara ke mana?”

Lebai Sari tidak segera menjawab. Dia terlihat bepikir ulang tentang niatnya.

“Saya hanya ingin agama yang kita sebarkan bisa semakin luas. Berhubung di sini sudah tidak aman, saya sepertinya akan bergerak ke arah selatan. Menurut informasi di bagian sana masih cukup aman,” kata Lebai Sari panjang lebar.

Lebai Sandar pun akhirnya tidak bisa memaksa adiknya tetap tinggal bersamanya.

“Dinda … Jika ini memang demi keamanan dan kelangsungan syiar kita, saya izinkan Dinda untuk melanjutkan pengembaraan. Kelak jika Dinda telah menemukan tempat baru, Dinda tahu ke mana harus mencari Kanda,” kata Lebai Sandar.

Keesokan harinya, Lebai Sari pun pamit kepada kakaknya.

“Jangan lupa mengirim kabar,” kata Lebai Sandar saat Lebai Sari melepaskan genggaman tangannya.

Sosok itu pun perlahan berjalan menjauh hingga akhirnya punggung yang setia menemani Lebai Sandar berjuang itu benar-benar menghilang.

Sepeninggal adiknya Lebai Sandar banyak melakukan dialog dan tausyaih secara terbatas. Hal ini menyangkut keamanan dirinya dan juga jamaahnya. Meskipun demikian pengikut setianya tidak kenal lelah menuntut ilmu. Hal ini membuat penyebaran agama Islam di sekitar wilayah pelabuhan Ampenan semakin mudah. Di sela-sela pengajian, Lebai Sandar masih melakukan perdagangan di pasar sebelah utara kampung. Pasar tradisional itu terus berkembang pesat. Lebai Sandar juga tak segan melakukan syiar kepada pelanggannya di pasar. Syiar itu terus dilakukannya hingga dia menikah dengan perempuan dari Sumbawa dan akhirnya meninggal dunia.

Meskipun telah meninggal dunia, tetapi perjuangan Lebai Sandar dalam melakukan syiar di wilayah bandar tetap dilanjutkan oleh pengikut setianya. Hal ini terlihat dari peninggalan yang masih terawat di dalam masjid yang terletak di Lingkungan Dayan Pekan itu. Jejak peninggalan berupa manuskrip Al Quran, tongkat, perlengkapan makan minum, dan mimbar terawat rapi. Benda-benda itu sekaligus sebagai motivasi melanjutkan syiar Lebai Sandar di wilayah kecamatan Ampenan. Di masjid yang diberi nama sesuai nama pendirinya, Lebai Sandar, itu sudah mengalami beberapa kali renovasi itu diselenggarakan pengajian-pengajian yang bersifat rutin. Rutinitas yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan secara konsisten dan kontinyu akan memberikan hasil sesuai harapan.

Tinggalkan Balasan