Titik Balik: Ekspresi Emosi Anak Laki-Laki

Cerpen71 Dilihat

“Anak laki-laki, kok, menangis?”

Kalimat tersebut seringkali kita dengar. Sebagai ayah, saya bahkan seringkali mengatakan hal tersebut kepada anak laki-laki saya yang belum genap berusia empat tahun. Kalimat tersebut sepertinya telah menjadi kalimat wajib yang terlontar saat berusaha meredakan tangisannya. Anehnya tidak ada satu pun anggota keluarga yang menyanggah. Saya dan mereka masih menganggap bahwa hal tersebut merupakan hal biasa. Tumbuh dan besar di lingkungan yang masih kental budaya patriarki menanamkan di benak saya tentang anak laki-laki itu harus kuat dan tidak boleh menangis.

Pada awalnya saya berpandangan bahwa pada dasarnya pengasuhan anak bisa dipelajari seiring berjalannya waktu. Semakin besar anak akan semakin terasah. Namun, ternyata tidak sepenuhnya benar. Sosok seorang ayah harus mempelajari pengasuhan sejak anak dilahirkan. Sebagai seorang guru pembelajar saya masih membutuhkan banyak pengetahuan pengasuhan anak. Saya meyakini hal ini tentu akan berguna bagi saya pribadi sebagai seorang ayah maupun sebagai guru di sekolah. Berawal dari keinginan untuk terus belajar, saya menemukan sumber belajar yang sangat membantu saya. Salah satunya adalah seri webinar yang diselenggarakan oleh cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id.  Seri webinar Antikekerasan Berbasis Gender merupakan sumber belajar bagi saya untuk menjadi sosok yang lebih baik bagi anak dan siswa saya.

Salah satunya adalah mempelajari ekspresi emosi anak laki-laki. Melalui siaran yang ada di kanal youtube, saya menyimak materi yang memang saya butuhkan. Salah satu materi yang membekas adalah terkait ekspresi emosi anak laki-laki. Dari materi tersebut saya mengetahui bahwa dalam masyarakat yang bersifat patriarki, anak rentan mengalami kekerasan berbasis gender. Adanya ketimpangan gender adalah salah satu bentuk nyata yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah adanya anggapan anak laki-laki harus kuat dan tidak boleh menangis. Suatu hal yang dianggap biasa yang akan memberikan dampak luar biasa pada anak.  Tanpa disadari hal ini akan menyebabkan anak laki-laki kurang berkembang emosinya. Seperti kita ketahui pada dasarnya setiap kita termasuk anak memiliki emosi, terlepas dari gendernya. Jadi, tidak adil jika anak tidak diberikan ruang untuk mengekspresikan emosi agar kelak tumbuh menjadi pribadi yang mampu mengelola emosi.

Materi tersebut menyadarkan saya bahwa kekerasan berbasis gender bisa saja terjadi di sekitar kita. Bahkan tanpa disadari saya pernah menjadi salah satu pelakunya. Bukan saja saya, tetapi juga mungkin ayah-ayah muda di luar sana. Pada akhirnya saya bisa mulai membiarkan anak saya belajar mengelola emosi lewat tangisan hingga reda. Tidak lupa selepasnya saya memberikan pelukan sebagai upaya penguatan. Berkomunikasi tentang apa yang dirasakannya merupakan jurus ampuh menjadikannya sosok yang lebih terbuka. Sosok yang tidak lagi ragu dan takut menyampaikan isi hati dan perasaannya tanpa adanya tekanan dan paksaan. Sebuah upaya yang membebaskannya dari tindak kekerasan.

Bagaimanapun juga kekerasan akan menyebabkan terampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai tingkat usianya.  Dari belajar saya akhirnya paham bahwa kekerasan berbasis gender harus dihentikan, mulai dari diri kita sendiri dan mulai sekarang juga. Jika bukan kita, siapa lagi? Jika tidak sekarang, kapan lagi?

Ayah muda … siapkah kita sama-sama belajar dan belajar bersama-sama menjadi sosok ayah yang cerdas dan berkarakter? Jika siap, ayo bersama lawan kekerasan berbasis gender!

Tinggalkan Balasan