Titik Balik: Jelajah Lombok (Bag. 6)

Cerpen62 Dilihat

6 | Rumahku Istanaku

 

Magrib hampir tiba ketika mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Namun, sepertinya waktu sedang tidak ingin diganggu. Dia terus bergerak dengan pasti mengikuti ketentuan yang seharusnya. Sebuah kepastian yang akhirnya mampu mengubah sebuah rencana.

“Berhubung sudah terlalu sore, kita langsung pulang saja, ya. Kapan-kapan saja kita jalan-jalan ke Senggiginya,” kata ayah Opin saat mereka meninggalkan area kota tua.

Semuanya sepakat termasuk Opin. Dia harus mengubur keinginan menikmati pantai dengan pasir putih itu. Pun deretan hotel dengan berbagai macam arsitektur yang memanjakan matanya. Namun, dia memahami bahwa tidak semua keinginan harus dituruti.

“Iya, Yah. Kita langsung pulang saja, ya. Opin juga mau menyelesaikan tugas sekolah,” jawab Opin sambil merebahkan kepalanya di pundak ibunya.

Raut bahagia terpancar dari wajah mereka semua. Kelelahan telah tertutup oleh kebahagiaan. Kebahagiaan yang akhirnya mengantarkan mereka ke sebuah istana bernama rumah.

Rumah bercat putih itu terlihat terang. Ayah Opin memang sengaja tidak mematikan lampu rumah saat ditinggal pergi kemarin. Dengan puas mereka pun memasuki rumah. Di ruang tamu mereka semua melepaskan lelah sejenak sebelum berangsur menuju musala rumah di bagian belakang.

Setelahnya keluarga kecil itu pun menikmati makan malam dengan menu lesehan yang dipesan melalui aplikasi secara daring. Satu per satu menu yang terhidang itu pun habis tidak tersisa. Pelecing kangkung tinggal piringnya saja. Tidak ketinggalan ayam taliwang yang hanya menyisakan tulang saja. Pun sop ikan yang menyisakan sedikit kuah.

Kebahagiaan pun membuncah memenuhi seluruh bagian rumah. Terlebih saat mereka semua berkumpul dan berbincang di beranda rumah.

“Opin … Bagaimana perjalananmu menjelajahi Lombok?” tanya ibu Opin.

Opin tersenyum kemudian menjawab, “Seru sekali, Bu. Rasanya Opin ingin mengulang lagi. He he he …,” jawab Opin sambil memeluk ibunya.

“Kamu dapat apa saja selama melakukan perjalanan?” Kali ini giliran ayahnya yang bertanya.

Opin pun menjawab, “Opin dapat banyak gambar, Yah.”

“Selain itu, apa lagi, Nak?” Nenek Opin tidak ketinggalan memberikan pertanyaan.

Opin kembali menjawab, “Opin jadi tahu kalau Lombok itu kaya dengan budaya  dan wisata.”

“Sudah? Itu saja?” Giliran Ibu Opin melemparkan pertanyaan.

Opin menganggukkan kepala. Namun saat itu, kakeknya langsung menyambar dengan kata-kata.

“Opin dapat tambahan pelajaran Matematika juga, dong. Ha ha ha…. Ayo mana bukunya. Katanya mau menyelesaikan tugas,” kata kakeknya.

Tawa pun seketika pecah. Setelah reda Opin pun pamit ke dalam mengambil buku tugasnya. Dengan bimbingan mereka semua akhirnya Opin bisa menyelesaikan tugas-tugasnya. Setelah itu dia pun menunjukkan hasil karyanya.

“Opin … Kalau kamu ingin jadi arsitek, kamu harus bisa Matematika juga. Jadi bukan sekadar menggambar saja,” kata ayah Opin.

“Bagaimanapun juga menggambar juga membutuhkan ketelitian dalam berhitung. Apalagi terkait ukuran,” tambah ibunya atas penjelasan ayahnya sebelumnya.

“Dengan begitu gambar yang kamu hasilkan akan lebih mudah untuk diwujudkan,” kata nenek sambil mengelus kepala cucunya.

Opin hanya menganggukkan kepala. Dalam hati dia membenarkan semua ucapan mereka bertiga.

“Jadi bagaimana, Nak. Kamu masih tidak suka dengan pelajaran Matematika juga?” tanya kakek.

Kali ini Opin menggelengkan kepala.  Dia pun akhirnya menanamkan niat untuk menyukai Matematika dan meningkatkan kemampuan menggambarnya. Dia ingin kelak bisa dikenal sebagai arsitek terbaik dari Pulau Seribu Masjid.

Tinggalkan Balasan