4 | Kenyataan Harus Diungkapkan
“Kan sudah Bapak kasih tahu. Ndak ngerti-ngerti juga kamu ini, ya!”
Di sudut kamarnya yang sempit, Rudi Solong menekuk lututnya dan melipat tangannya sebagai bantal kepala. Dia tahu kalau melawan pun tidak akan ada gunanya. Terlebih kondisinya saat ini yang terpojok tanpa bisa melakukan apa-apa. Seolah tongkat Musa membelah hatinya. Bagian kanan lari ke arah bapaknya, sedangkan bagian kiri melesat menuju teman-temannya. Sementara dirinya adalah lautan yang tidak mampu menyatukan keduanya.
Suara teriakan kembali terdengar. Tubuh Rudi Solong semakin bergetar. Dia tahu kalau amarah bapaknya telah membungkam sifat sabar. Nada bicaranya terlihat jelas sedang gusar. Bapaknya tidak pernah tahu kalau sebenarnya Rudi Solong sudah tidak lagi tegar. Jiwanya telah habis tercabar. Hatinya luluh-lantak diempas ke perapian yang siap membakar. Gersang tertinggal dalam raga mungil yang telah lama jauh dari cahaya kasih yang berpendar.
Suara pintu kamar terdengar ditutup paksa. Dalam gigil anak lelaki yang hampir setahun tidak mengenal sosok ibunya itu tak putus berdoa. Munajat singkat adalah kekuatan tersembunyi yang senantiasa mampu mengobati gundah gulana.
Benar saja. Belum selesai Rudi Solong merapal doa, dia mendengar ada seseorang datang membuka pintu kamarnya. Seorang lelaki berdiri di tengah pintu. Dengan lembut dia berkata, “Bangunlah, Solong. Ndak papa. Bapakmu sudah ndak marah lagi.”
Lelaki itu melangkah mendekat dan meraih tangan Rudi Solong untuk membantunya berdiri. Dengan sedikit pelukan, Rudi Solong berhasil menenangkan diri. Tangis gugu itu sudah menghilang bersama kekhawatiran jika bapaknya akan kalap kemudian melakukan pemukulan seperti yang kerap terjadi. Dengan bantuan lelaki itu, Rudi Solong berhasil duduk di kasurnya yang tak rapi. Dia pun merebahkan diri.
“Terima kasih, Paman.”
Sementara lelaki yang dipanggil ‘paman’ oleh Rudi Solong itu pun akhirnya keluar kamar dan kembali menemui bapaknya. Rudi Solong tahu apa saja yang mereka bicarakan di ruang tamu rumahnya. Dia mencerna kata demi kata itu dalam degup jantung tak berirama.
*
“Kurang ajar sekali anak itu, Rajab! Masak berani-beraninya dia pukul Solong!”
“Sabar dulu, Kak Tuan. Pasti ada penyebabnya sampai terjadi perkelahian itu,” jawab Rajab sambil berusaha menenangkan bapak Rudi Solong.
Lelaki berperawakan tinggi besar itu pun terdiam. Dia menunggu Rajab memberikan kesempatan kepada lelaki penjaga masjid sekaligus aktivis LSM itu untuk melanjutkan kata-katanya sebelum benar-benar malam.
“Kak Tuan … Insiden ini setidaknya bisa menjadi pemicu dan alasan kuat bagi kita untuk mendesak kepala desa. Jika memang Kak Tuan mau, saya siap membantu,” kata Rajab sambil menyandarkan punggungnya di sofa yang warnanya mulai memudar itu.
Bapak Rudi Solong terlihat menarik napas. Sepertinya dia berusaha mencerna setiap kata yang disampaikan Rajab secara lugas.
Hingga akhirnya dia angkat bicara, “Apa kamu yakin rencana ini akan berhasil, Rajab?”
Rajab menganggukkan kepala pelan. Senyum terkembang dari sudut bibirnya yang penuh keculasan. Dia sepertinya hendak meneriakkan kemenangan saat itu juga untuk meluapkan kebahagiaan harapan.
“Kita harus bermain cantik, Kak Tuan. Kita juga harus meyakinkan warga agar mendukung rencana kita ini,” kata Rajab menambahkan penjelasan tentang apa yang seharusnya mereka lakukan.
Bapak Rudi Solong terlihat mengangguk-anggukkan kepala. Terbayang olehnya kemajuan manajemen artis yang dikelolanya.
“Jika ini berhasil, aku akan lebih mudah mengembangkan manajemenku, Rajab. Penyanyi kecimol yang berkualitas itu pasti akan mau aku rekrut untuk diorbitkan. Ha ha ha ….”
Rajab tersenyum puas mendengarnya. Secara pribadi dia tidak peduli dengan itu semua. Dia hanya peduli dengan akan lunasnya sebuah dendam lama pribadinya.
“Betul itu, Kak Tuan. Yang penting sekarang adalah bagaimana cara kita memengaruhi warga. Sejauh ini warga sepertinya masih belum tergerak untuk mendukung rencana kita ini.”
Setelahnya Rajab pun menambahkan kemungkinan-kemungkinan kendala yang akan dihadapi. Dia pun berjanji akan menyiapkan segala sesuatu demi kelancaran rencana mereka ini. Terutama terkait dengan bukti fisik berupa draf Peraturan Desa yang akan ditandatanRama.
“Aku percayakan sepenuhnya itu padamu, Rajab. Termasuk memengaruhi tetua majelis di masjid yang saya yakin akan mendukung kita,” kata bapak Rudi Solong.
Keduanya lantas melanjutkan perbincangan tentang langkah-langkah strategis yang akan mereka lakukan selanjutnya. Mereka membahas dari hal-hal sederhana hingga tentang beragam hal yang tak dipahami oleh anak seusia Rudi Solong dan teman seangkatannya. Di balik pintu kamarnya, Rudi Solong merasakan kepalanya berputar mengikuti pergerakan bola dunia saat berusaha mencerna kata demi kata. Tidak lama kemudian tangannya terpeleset ketika hendak berpegangan pada daun pintu bercat hijau muda. Tubuhnya terjerembab secara tiba-tiba. Rintihan terdengar lirih dari sudut bibirnya. Bapaknya dan Rajab terkejut menyadari ada yang sedang mencuri dengar pembicaraan mereka.
*
Kepala Rudi Solong terasa berdenyut ketika suara-suara itu kembali memenuhi rongganya. Di sepanjang labirin ingatan, kata demi kata beterbangan di dalamnya. Dia bahkan ingat wajah bapaknya yang dipenuhi kemarahan dan kebencian saat mengungkapkan keinginannya. Satu hal yang tidak dia pahami adalah ‘apakah benar perkelahiannya dengan Rama saat nyongkolan beberapa hari lalu adalah satu-satunya penyebabnya’. Dia menduga-duga bukan itu penyebab utamanya sebab kepada bapaknya dia telah bercerita panjang lebar tentang hubungan pertemanannya dengan Rama yang sudah tidak ada gesekan apa-apa.
“Kalau kamu mau, besok Paman belikan HP baru. Bagaimana?”
Ingatan Rudi Solong mendadak tertumbuk pada sederet kalimat yang dilontarkan seseorang yang dipanggilnya ‘paman’ itu. Penyesalan pun menembus batas ingatan hingga tanpa batas waktu. Saat ketika menyadari bahwa dia telah keliru. Waktu ketika dia mengetahui sebuah kebusukan dengan dirinya sebagai pemicu. Semakin keras memutar otak menemukan jalan keluar, kepala Rudi Solong semakin terasa ngilu. Syaraf-syaraf di kepalanya seperti tidak mau lagi saling bekerjasama saling bantu. Masing-masing asyik berkelindan dengan kekhawatiran, ketakutan, dan kekecewaan pada dirinya sendiri sejak kejadian itu berlalu. Dia mengakui kalau dirinya memang tidak pandai, tetapi tidak seharusnya mudah dibodohi dengan iming-iming telepon seluler baru. Menyadari tentang dirinya yang disulap menjadi umpan, Rudi Solong hanya bisa mengukir kesedihan lewat air mata haru. Baginya satu-satunya jalan adalah menemui Rama untuk menceritakan kebenaran yang tak lagi semu.
“Bapak … Maafkan saya,” batinnya sambil berusaha tegak berjalan menembus kegelapan.
***