KIDUNG GUMI SASAK
Oleh: Sudomo, S.Pt.
“Saya tidak mau, Bu!”
Teriakan itu terdengar memecah keheningan malam di sebuah rumah. Seorang perempuan yang belum genap berusia enam belas tahun itu duduk bersimpuh memunggungi ibunya, orang tua satu-satunya. Tanpa memedulikan perkataan ibunya yang bernada paksa, dia terus mendendangkan kidung berbahasa Sasak. Aura magis pun menguar ke segala penjuru rumah yang dia tinggali bersama ibunya sejak ayahnya meninggal sepuluh tahun lalu. Mendadak hening menyeret keduanya ke dalam pusaran malam yang perlahan menenggelamkan perdebatan.
Perempuan belia itu, Baiq Larasati, kembali menekuni kata demi kata dalam sebuah buku tulis usang di hadapannya. Dengan teliti, perempuan yang baru duduk di bangku SMA itu mengeja kata demi kata sesuai irama.
Bait layang denda siq punduk ladik
Mun sembahyang denda siq mule wajib
(Ambil layang adik pakai punggung pisau
Kalau salat adik memanglah wajib)
Melestarikan kidung gumi Sasak adalah pilihan hatinya. Sebuah pilihan yang hampir tenggelam dalam lautan kehendak ibunya. Sebuah kehendak yang berkali-kali mengusik relung kalbunya. Bahkan hingga selarut ini.
“Bersama Pak Sanusi kamu bisa bahagia, Baiq,” kata ibunya sambil berlalu meninggalkan anak perempuan semata wayangnya sendirian.
Baiq Larasati tahu kalau Pak Sanusi adalah seorang pemilik grup musik tradisional Lombok, cilokaq. Dia pun tahu kalau berkat Pak Sanusi, ibunya bisa melanjutkan usaha pembuatan ingke. Bahkan dengan modal pinjaman darinya, ibunya juga bisa membesarkan usaha pembuatan piring dari lidi yang dirintisnya sejak lama. Selain itu, dia bahkan tahu kalau Pak Sanusi adalah teman lama ibunya sejak mereka masih kecil. Tak heran, jika ibunya meyakini duda beranak satu itu bisa menjadi pembuka jalan kebahagiaan dirinya.
Namun bagi Baiq, kebahagiaan tidaklah terletak pada kekayaan semata. Baginya kebahagiaan sejati adalah saat bisa berhasil mewujudkan mimpi. Dalam hati dia telah melukiskan mimpinya, menjadi penyanyi cilokaq dengan usahanya sendiri. Demi mewujudkannya, dia rela menghabiskan waktu untuk berlatih. Bahkan terkadang tidak peduli malam menghilang ditelan pagi.
Hingga suatu pagi ibunya mendapat kunjungan dari seseorang. Baiq mendengar keduanya berbincang hangat di beranda rumah. Semakin lama, perbincangan itu menjurus ke arah lebih serius. Setidaknya itu menurutnya.
“Bagaimana Baiq, Fatimah? Apakah dia bersedia menerima lamaran saya?”
“Saya masih butuh waktu untuk meyakinkan dia, Pak.”
“Tapi, Fatimah. Semakin cepat semakin baik bagi saya. Kamu kan tahu kalau saya sangat membutuhkan Baiq. Apa kamu pernah berpikir bagaimana kelanjutan hidup saya tanpa Baiq?”
Di ruang tengah Baiq menajamkan pendengarannya. Dia berusaha mencerna arah perbincangan. Namun tidak sedikit pun setitik cahaya di kegelapan labirin pikirannya. Dia pun memutuskan bertahan. Menurutnya masih banyak makna harus diurai dari perbincangan yang memenuhi sanggurdi telinganya.
“Saya tahu itu, Pak Sanusi. Tapi…”
“Tapi apa lagi, Fatimah?”
“Bagaimana dengan anak Bapak? Apakah dia juga setuju?”
“Hahaha… Kamu tidak usah memikirkan dia, Fatimah. Saya yakin, Lalu Rinjani pasti akan setuju dengan pilihan saya. Toh ini juga atas permintaannya. Apalagi mereka berdua itu adalah teman baik.”
“Iya, Pak. Saya tahu itu. Dulu Baiq dan Lalu sering tampil mewakili sekolah mereka. Tapi tolong beri saya waktu.”
“Fatimah… Asal kamu ingat. Tinggal beberapa hari lagi jatuh tempo untuk melunasi utangmu. Dan kamu juga harus ingat, kuncinya ada pada kesediaan Baiq.”
Deg!
Baiq merasa ada lembing yang menancap tepat di jantungnya. Dia memegang dada kirinya. Degupnya tidak beraturan. Dia sama sekali tidak menyangka ibunya akan menjadikannya sebagai jaminan utang. Tanpa berpikir panjang, dia pun menuju pintu belakang. Tujuannya hanya satu, rumah neneknya.
“Kamu kenapa, Baiq?” Seorang perempuan berusia senja bertanya sambil meredakan isak Baiq ke dalam pelukannya.
Baiq pun membalas pelukan neneknya dan menceritakan percakapan yang baru saja didengarnya. Dia masih terisak. Demi mendengar cerita itu, neneknya naik pitam. Dia berjanji menyelesaikan masalah lalu mengajak Baiq menemui ibunya.
Hingga tidak lama kemudian.
“Fatimah! Baiq itu masih sekolah! Belum waktunya menikah!”
Di beranda, Baiq melihat ibunya dan Pak Sanusi yang masih berbincang itu menoleh ke arah datangnya suara. Neneknya sedang menunjuk-nunjukkan jarinya. Ibunya pun bergegas bangun menyambut neneknya. Namun kedua tangannya ditepis saat berusaha mengajak perempuan bersarung cokelat motif bunga itu untuk duduk. Namun neneknya tetap bergeming di tempatnya berdiri. Hingga akhirnya ibunya pun mengalah.
“Bukan seperti itu, Bu. Pak Sanusi melamar Baiq bukan sebagai istrinya, tetapi penyanyi di grupnya. Saya hanya meminta Baiq menerima lamaran itu. Kebetulan dia sangat membutuhkan penyanyi. Dan saya tahu Baiq juga sangat ingin menjadi penyanyi cilokaq di sela-sela sekolahnya. Apa saya salah, Bu?”
Baiq mematung. Sementara neneknya masih berdiri tegak tepat di depannya berusaha memahami penjelasan ibunya. Hingga akhirnya dia dan neneknya pun hampir bersamaan mengangguk-anggukkan kepala tanda memahami. Demi menyadari kesalahpahamannya, Baiq pun menghambur ke pelukan ibunya dalam isak. Dia meminta maaf.
“Maafkan Ibu juga, Baiq. Kamu bukannya menjadi jaminan utang dengan menikah sama Pak Sanusi. Bukan itu. Tapi pembayaran utang Ibu dipotongkan dari honormu setiap kali tampil. Itu juga kalau kamu tidak keberatan.”
Dalam pelukan ibunya, Baiq yang telah sedikit reda isaknya menganggukkan kepala. Tidak terkecuali neneknya yang akhirnya juga ikut menenangkan gigil kegelisahannya. Sementara Pak Sanusi menjadi saksi bagi perempuan tiga generasi yang sedang menumpahkan sesak untuk harapan baru atas kidung Gumi Sasak.