“Bapak ndak mungkin pulang, Buk!”
“Kamu tahu apa tentang bapakmu, Mirna?”
Mirna pun terdiam. Ia tahu sore ini ibunya tidak akan berubah pikiran seperti hari-hari sebelumnya. Perempuan berusia enam puluh tahun itu tidak akan peduli apa pun perkataannya jika menyangkut bapaknya. Pemilik tubuh kurus itu akan tetap melakukan rutinitas seperti biasa. Menyeduh secangkir kecil kopi hitam lalu meletakkannya di meja teras rumah. Rutinitas yang seingat Mirna sudah dilakukan ibunya selama di rumah, setiap kali ia pulang merantau dari negeri jiran. Dan selama itu pula, ibunya memiliki keyakinan kalau bapaknya akan pulang untuk menghabiskan kopi hitam buatannya.
“Buk! Sampai kapan Ibuk akan kayak gini terus? Sampai mati?!”
Setengah berteriak, Mirna berusaha menyadarkan ibunya. Usaha yang telah sering ia lakukan. Usaha yang selalu saja berkarib dengan kegagalan. Namun ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah menyerah.
“Sudahlah, Mirna. Mending sekarang kamu balik ke warung. Kasihan bapakmu sendirian,” kata ibu Mirna sambil duduk di kursi bambu sebelah kanan meja kecil setelah sebelumnya membetulkan letak kerudung cokelatnya.
Tanpa menanggapi perkataan ibunya, Mirna melangkah meninggalkan teras rumah. Ia tampak menapak paving block berbentuk persegi menuju gerbang. Setelah melalui gerbang, ia menuruni beberapa anak tangga untuk bisa mencapai jalan besar. Sesekali ia terlihat memasukkan kedua tangannya ke saku jaket jinnya untuk menghindari hawa dingin Sembalun yang perlahan mulai turun.
Setengah bergegas ia menapak jalan aspal. Sambil terus melangkah, ia mengambil selembar tisu di dalam saku jaket berwarna biru gerau. Tanpa memedulikan tisu yang ikut tercecer saat ditarik, ia mulai menghapus sudut matanya yang menghangat. Pemandangan setiap senja seperti itu mau tidak mau membuat hatinya serasa pecah. Namun ia selalu berusaha menyembunyikannya dari ibu dan bapaknya. Beruntung kabut tipis beranjak menyelimuti Sembalun. Setidaknya sembap di matanya tidak akan terlihat jelas oleh bapaknya.
“Tumben baru dateng, Mir?”
Seorang lelaki berambut hampir putih seluruhnya menyapa dari balik meja racik kopi saat Mirna memasuki pintu masuk warung. Lelaki itu hanya menggelengkan kepala demi melihat Mirna yang tanpa menjawab langsung duduk di belakang meja kasir.
Lelaki itu menghentikan kegiatannya mengelap cangkir yang baru kering setelah dicuci. Secara hati-hati, ia melangkah mendekati Mirna.
“Kamu kenapa?” tanya lelaki itu setelah duduk tepat di depan Mirna.
Mirna hanya menggeleng.
“Ibukmu?” tanya lelaki berjaket tebal yang akhirnya memilih bersandar di kursi kayu yang didudukinya.
Mirna mengangguk pelan sambil berkata lirih, “Iya, Pak. Mirna ndak habis pikir sama Ibuk.”
Desau angin malam Sembalun berembus menerpa tubuh mereka berdua. Terlihat tidak ada pengaruh terhadap keduanya. Bertahun-tahun hidup di lereng gunung Rinjani, bagi mereka angin malam sedingin apa pun di Sembalun bukanlah halangan untuk tetap melanjutkan aktivitas di malam hari.
“Sudahlah, Mir. Kamu kan sudah tahu seperti apa ibukmu. Kalau memang menghabiskan sore bersama secangkir kopi adalah cara dia bahagia, ya biarkan sajalah.” Lelaki yang masih tampak kuat di usia tuanya itu tampak mengelus lengan Mirna untuk menguatkannya.
Sementara Mirna justru memilih untuk menunduk dan bertanya lirih, “Bapak sendiri kapan pulang ke rumah?”
Lelaki itu melepaskan kopiah dan meletakkannya di atas meja kasir lalu berkata, “Bapak bukannya ndak mau pulang. Bapak hanya ndak ingin melukai hati Bapak sendiri dengan melihat ibukmu yang ndak pernah menganggap Bapak ada.”
“Atau jangan-jangan Bapak udah ndak cinta sama Ibuk lagi, ya?” Mirna berkata sambil mengangkat kepala lalu berusaha menyelami kedalaman mata bapaknya.
“Hush! Tahu apa kamu tentang cinta, Mir,” jawab lelaki itu sambil beranjak dari duduk dan melangkah menjauhi Mirna sambil melanjutkan perkataannya, “kalau ndak cinta mana mungkin Bapak bertahan sampai sekarang.”
Di kursinya, Mirna melepas kepergian bapaknya dengan berbagai tanda tanya. Sebenarnya ada apa dengan mereka? Apa yang mereka sembunyikan dariku?
Selepas kepergian bapaknya ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya menjerang air, Mirna memilih duduk di kursi bambu bagian teras. Di sana, ia melepaskan segala penat dalam pikirannya. Mata bulatnya yang tidak lagi sembap menarikan bola matanya ke sana kemari. Dengan saksama ia memperhatikan kehidupan di sepanjang jalan raya Sembalun. Berbagai macam model kehidupan terhampar di depannya. Beberapa turis melintas. Beberapa truk pengangkut sayur terlihat lalu lalang. Pun beberapa warga lokal yang tampak memadati jalanan saat senja mulai bergulir menuju peraduan.
Mirna baru berhenti ketika ada beberapa orang anak muda seusianya yang membawa tas ransel tampak memasuki warung, dengan senyuman. Mirna mengikuti mereka masuk. Belum sempat mempersilakan duduk, sudut mata Mirna menangkap bayangan seorang lelaki seumuran bapaknya lewat di depan warung. Ia pun melepaskan diri dari barisan itu. Otaknya memerintahkan kakinya untuk mengejar lelaki yang dituntun seekor anjing itu.
“Mampir ngopi dulu, Paman Sam!”
Anjing kecil milik lelaki yang disapa Paman Sam itu menyalak kecil demi melihat Mirna. Setiap hari pada waktu yang sama, sering bertemu membuat anjing kecil itu akrab dengan Mirna. Sementara tanpa ekspresi, Paman Sam berusaha menarik anjing kecilnya untuk pulang. Mirna hanya mendengus kecil. Ia tahu Paman Sam tidak akan merespons tawarannya. Sama seperti hari-hari sebelumnya.
Mirna pun menyerah lalu menuju kerumunan anak muda yang telah sibuk dengan laptop masing-masing di meja. Ia hendak mencatat pesanan. Di bawah benderang lampu warung, ia tampak semangat melakukan pekerjaannya saat libur kuliah. Kesibukannya menyajikan kopi terbaik Sembalun pada penikmat kopi membuatnya lupa dengan kejadian bersama Paman Sam.
*
“Diminum dulu kopinya, Pak.”
Seorang perempuan berkerudung hitam menyodorkan secangkir kecil kopi hitam ke arah lelaki yang duduk menggelongsor di kursi teras rumahnya.
Lelaki itu tampak beringsut sedikit dan meraih cangkir itu tanpa berkata apa pun. Ia menyesapnya sekali, kemudian setelahnya terdengar suara cangkir beradu dengan permukaan meja.
“Bagaimana, Pak? Enak?”
Lelaki itu tidak merespons pertanyaan istrinya. Ia dengan cepat menghabiskan kopi yang sudah mulai dingin itu. Setelahnya ia kembali terdiam. Menatap kosong ke arah luar gerbang rumah. Dengan sabar, istrinya membereskan cangkir kopi kecil yang sudah tandas itu.
Sementara di jalan depan rumah yang temaram oleh lampu jalan, seorang perempuan berkerudung cokelat tampak melintas cepat.
*
“Wuih! keren koleksi one Indonesia ini, ya?”
“Jelaslah! Giordano gitu!”
“Eh… Coba cek website-nya, dong! Pengin lihat koleksi lengkapnya.”
“Web-nya apa, deh?”
“we we we dot giordano dot com slash id.”
“Wuidih! Mantep koleksinya, nih! Yang mana yang kece, nih? Ini?”
“Bukan! Yang vintage denim short sleeve shirt ini aja. Keren deh kalau kamu yang pakai. Serius.”
Mirna hanya tersenyum kecil melihat sepasang anak muda yang sedang menekuni sebuah fashion web dengan berbekal wifi gratis di warungnya.
Ah! Mereka belum tahu aja kalau Giordano akan menghadirkan tema baru bulan depan yang ndak kalah keren.
Ia pun berlalu sambil masih tersenyum setelah menyadari mereka memiliki selera fashion yang sama. Setelah selesai mencuri dengar obrolan seru itu, Mirna menemui bapaknya di belakang.
“Pak…” Mirna menyandarkan bahunya di bagian pinggir pintu dapur menghadap bapaknya.
Bapak Mirna mematikan kompor gas tanpa mengangkat panci berisi rebusan air yang telah mendidih. Ia pun melangkah mendekati Mirna sambil bertanya, “Kenapa, Mir?”
Belum satu langkah Bapak Mirna melangkah mendekat, Mirna lebih dulu menjauh, “Ndak ada, Pak. Besok sudah.”
“Ya sudah. Kalau mau pulang, pulang sudah sana. Temenin ibukmu. Lagian sebentar lagi Bibik Sri juga dateng, kok.”
Benar saja. Belum sempat Bapak Mirna mengangkat panci, ia mendengar suara salam dari seorang yang sangat dikenalnya selama ini. Itu adalah suara adik sepupunya.
“Ada yang bisa dibantu, Kak Sam?” Perempuan berkerudung hitam itu telah berdiri di samping Sam saat menawarkan bantuan.
“Ndak usah, Sri. Sudah selesai juga ini. Oya, gimana keadaan suamimu?”
Sam mengajak Sri duduk di kursi panjang yang ada di dapur.
“Alhamdulillah sehat, Kak. Tapi ya gitu. Masih kayak dulu. Masih lupa dengan banyak hal. Dan… Masih belum bisa diajak komunikasi.” Sri menjawab panjang lebar sambil menghela napas panjang dan sesekali membetulkan letak posisi kerudung hitamnya.
“Namanya juga penderita alzheimer, Sri. Kamu yang kuat. Jangan menyerah. Mudah-mudahan suamimu cepet pulih, ya,” kata Sam sedikit tertahan.
“Iya, Kak. Oya, Kak Sifa sendiri kayaknya masih belum berubah juga.” Sri menimpali perkataan Sam dengan nada sedikit tertahan juga.
Keduanya pun menghela napas. Hampir bersamaan. Asap tebal terlihat masuk dari arah belakang. Di sana beberapa orang pekerja sedang menggoreng sangrai kopi pilihan terbaik Sembalun untuk kemudian diolah menjadi kopi bubuk dan dipasarkan.
“Sudahlah, Sri. Ndak perlu kita bahas hal itu lagi. Mending kita fokus sama bisnis kopi kita. Aku yakin ada kebahagiaan dalam setiap sesap kopi yang kita sajikan.” Sam bangkit berdiri lalu meraih termos kosong untuk diisi dengan air panas.
“Saya ke depan dulu, ya, Kak. Kasihan Mirna ndak ada temennya.”
Sam mengangguk pelan. Sementara Sri langsung menuju meja kasir. Kosong. Mirna tidak ada di tempat seharusnya. Sri pun mengedarkan pandangan ke segala penjuru bagian utama warung. Nihil. Tidak ada wajah Mirna berada dalam kerumunan pengunjung. Menyadari ketidakberadaan Mirna, Sri memutuskan menghubungi Sifa. Raut kelegaan tercetak jelas di wajahnya setelah selesai menutup telepon. Mirna sudah berada di rumah.
“Bapak lagi yang menghabiskan kopi, Buk?” tanya Mirna setibanya di rumah saat melihat ibunya sedang membereskan cangkir kecil yang telah kosong di meja teras.
Ibunya tidak menjawab. Ia memilih masuk ke dalam rumah. Mirna hanya menatap kosong ke arah ibunya. Ia tahu kalau ibunya tidak akan menjawab pertanyaannya. Namun ia sama sekali tidak ada keinginan untuk memaksa ibunya menjawab. Ia mematung di depan pintu. Cukup lama ia seperti itu. Berbagai pertanyaan tanpa jawaban sedikit demi sedikit menggerogoti kesabarannya. Aku harus bertindak.
*
“Pak… Kenapa Paman Sam ndak pernah mau mampir ngopi di sini?”
Sam menarik napas lalu berkata, “Dia selalu seperti itu sejak ditinggal istri pertamanya ke Malaysia, Mir. Bapak juga ndak tahu. Padahal dulu waktu Bapak masih bekerja di tempatnya, ia selalu menyempatkan diri mampir ke sini. Bahkan kadang-kadang ke rumah setiap sore untuk ngopi.”
Mirna menyimak setiap kalimat yang terlontar dari bibir Sam.
“Setelah hampir sepuluh tahun tanpa kabar dari istri pertamanya, Paman Sam pun menikahi bibikmu, Sri. Setahun setelahnya, Paman Sam ndak ingat kalau sebelumnya pernah menikah. Yang ia tahu, Bibik Sri adalah istrinya satu-satunya. Sejak saat itulah Bapak yang dipercaya Bibik Sri mengelola usaha kopi bubuk karena keterbatasan Paman Sam.”
Sam terdiam cukup lama. Hal ini mendorong Mirna untuk menuntaskan rasa penasarannya, “Padahal Bibik Sri itu istri keduanya Paman Sam, ya, Pak?”
“Iya, Mir. Sama seperti Bapak.”
“Maksud Bapak?”
“Memangnya ibukmu ndak pernah cerita?”
“Memang apa hubungannya sama Ibuk, Pak?”
“Sudahlah, Mir. Ndak usah dibahas lagi. Udah malem. Mendingan kamu pulang. Kasihan ibukmu sendirian di rumah.”
*
Ingatan panjang tentang obrolan dengan bapaknya membuat Mirna sedikit demi sedikit menemukan benang merah. Ia pun akhirnya menyusun sebuah rencana.
Seperti hari-hari sebelumnya, sore ini Mirna pergi ke warung kopi bapaknya. Di sana ia melihat bapaknya sedang memasukkan beberapa bungkus kopi yang telah dibuat oleh beberapa orang tetangga sebagai pekerjanya. Mirna pun ikut membantu hingga semua kopi dalam kemasan plastik itu selesai dimasukkan ke dalam kardus.
“Saya ikut ke Mataram, ya, Pak.” Mirna berkata setelah keduanya beristirahat di kursi kasir.
Sam sedikit mengedikkan bahunya, “Kan liburmu masih lama. Memang ada yang harus diurus di kampus?”
Mirna tidak segera menjawab pertanyaan bapaknya. Ia hanya menggelengkan kepala.
“Lalu?” tanya Sam sambil menggeser duduknya mendekati Mirna.
“Saya ndak mau di rumah lagi, Pak. Saya pengin buka usaha di Mataram sambil kuliah. Kayak saran Bapak dulu itu.”
“Kamu yakin mau ninggalin Bapak sama Ibuk?” Sam menatap ke arah mobil bak terbuka yang siap berangkat.
Mirna menganggukkan kepala. Pelan. Sepelan butiran hangat yang mendadak mengalir di sudut matanya. Tak terkecuali Sam. Ia masih membutuhkan Mirna untuk membantunya menjalankan usaha. Namun ia tidak kuasa membendung keinginan Mirna yang sudah bulat. Mendadak kekhawatiran menyelinap di rongga dadanya. Nyeri.
“Rasanya saya ndak akan sanggup bertahan di sini, Pak. Semuanya terlalu rumit bagi saya. Sikap Ibuk yang memilih menekuni secangkir kopi ketimbang ngurus keluarga. Sikap Bapak juga yang keras kepala ndak ada keinginan menyadarkan Ibuk. Saya pusing sama semua ini, Pak. Satu-satunya jalan, saya harus keluar dari lingkaran kebingungan ini.”
Sam tak menyahut perkataan panjang Mirna. Ia paham maksud Mirna yang sebenarnya. Tanpa Mirna bercerita pun, ia tahu dari gelagatnya beberapa hari belakangan. Ia pun tahu tentang pergolakan batin Mirna tentang kelanjutan hubungannya dengan Sifa, ibu Mirna. Hingga ia pun tidak mencegah Mirna. Ia yakin itu memang yang terbaik untuk Mirna.
“Bapak paham, Mir. Tapi apa iya harus dengan cara meninggalkan kami yang sudah semakin tua?” Sam tidak kuasa lagi membendung bah yang mendadak hadir di sudut mata.
“Maafin saya, Pak,” kata Mirna menggenggam tangan Sam yang mulai sedikit berlipat-lipat sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya, “mungkin kepergian saya bisa menyadarkan Bapak sama Ibuk bahwa ego ndak baik dipertahankan dalam pertaruhan kelangsungan sebuah hubungan.”
Sam menunduk. Ia baru menyadari kalau Mirna telah tumbuh menjadi gadis dewasa. Seseorang yang telah bisa memahami apa yang terjadi di sekitarnya.
“Kapan kamu jadi berangkat?” Sam pun membuka suara untuk sekadar menguatkan diri.
Mirna terdiam. Tangannya sibuk memainkan sebungkus kopi bubuk yang dititipkan bapaknya untuk ibunya. Ia membolak-balikkan bungkusan tersebut. Dengan saksama ia membaca tulisan warna kuning yang tercetak di bagian depan. Di sana tertulis Kopi Asli Sembalun ‘Samsudin’. Nama bapaknya.
Setidaknya itu yang diketahuinya dari akta kelahirannya. Entah Samsudin mana yang bapaknya sebenarnya. Mirna tidak ambil pusing. Ia pasrah. Siapa pun bapaknya, ia hanya ingin ibunya tidak lagi terjebak oleh ingatan dalam secangkir kopi hitam masa lalu.
Sayangnya hingga sebulan setelah kepergian Mirna, Sam dan Sifa masih hidup terpisah. Sam masih belum bisa menerima konsekuensi menikahi perempuan yang belum bisa melupakan masa lalunya. Sementara Sifa masih belum beranjak dari kebiasaannya menyeduhkan secangkir kecil kopi hitam lalu mengantarkannya setiap petang pada suaminya. Seseorang yang telah ditinggalkannya hampir sepuluh tahun ke Malaysia saat Mirna baru tiga bulan dilahirkan. Seseorang yang saat ini tidak pernah bisa mengingat lagi apa pun tentang masa lalunya termasuk pernikahan dengannya. Seseorang yang akhirnya menikahi adik suami keduanya. Seseorang yang ia abadikan dalam secangkir kopi hitam. Samsudin.
Hingga setahun kemudian sejak kepergian Mirna…
Paman Sam. Lelaki penderita alzheimer itu masih tidak ingat pernah menikah sebelumnya dan punya satu anak perempuan. Ia masih sering jalan-jalan dituntun anjing kecilnya tanpa pernah sekalipun singgah di warung Sam untuk sekadar mengecek kemajuan usaha kopi bubuknya.
Bibik Sri. Perempuan berhati malaikat itu masih aktif membantu mengelola usaha kopi bubuk milik suaminya yang kini dikelola oleh Sam. Ia pun tetap merawat dan melayani semua kebutuhan suaminya dengan sisa-sisa ketabahan yang dimilikinya.
Mirna. Gadis yang menjelma menjadi sosok pantang menyerah itu masih melanjutkan kuliah. Ia memutuskan membuka cabang warung kopi ‘Samsudin’ di Mataram dan outlet fashion favoritnya, Giordano, dengan modal pinjaman tanpa bunga dari bapaknya.
Sam. Lelaki keras kepala yang tidak mau terluka egonya oleh ingatan masa lalu istrinya masih memilih tetap tinggal di warung. Ia semakin berusaha keras mengelola warung dan meneruskan usaha kopi bubuk yang dipercayakan padanya.
Sementara itu…
Sifa. Perempuan tua yang terjebak di dua masa itu masih tetap duduk di teras rumahnya yang semakin menua. Ia selalu berharap ingatan suami pertamanya tentang dirinya akan pulih melalui secangkir kopi ‘Samsudin’ yang setiap petang ia antarkan.