Titik Balik: Lelaki yang Menikahi Pohon Jati

Cerpen77 Dilihat

“Tebang! Tebang! Tebang!”

Terdengar suara bersahutan. Memekakkan telinga. Massa masih berkerumun di belakang sebuah rumah berdinding bambu di pinggir kampung. Rumah tersebut adalah milik Pak Saleh. Seorang renta yang hidup sebatang kara. Dulu ia pernah bercerita pada saya kalau istrinya meninggal dunia sewaktu dirinya masih kaya raya. Tanahnya yang luas tersebar di mana-mana. Hingga akhirnya kegemarannya berjudi mengubah segalanya. Ia tak lagi punya apa-apa selain sepetak tanah di pinggir kampung yang di halamannya ditumbuhi sebatang pohon jati tua. Jauh lebih tua dari usianya, katanya.

Sebagai seorang penyendiri, Pak Saleh memang tak punya banyak teman, kecuali saya. Sayalah teman setianya. Tak pernah bosan mendengar ceritanya. Saya selalu percaya meskipun terkadang ceritanya terdengar tidak masuk akal.

“Kecantikan istri saya mengalahkan bidadari surga,” katanya suatu ketika.

Tentu saja saya tak menanggapi ocehannya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kecantikan bidadari surga. Ya… kecuali dia memang pernah ke surga sebelumnya. Namun rasanya mustahil. Sejak pertama mengenalnya, saya tahu kalau Pak Saleh belum pernah mengunjungi surga. Meskipun usianya sudah lebih dari sembilan puluh tahun, tapi ia masih sosok yang luar biasa. Rambut putih yang memenuhi kepalanya tak lantas memakan habis ingatan-ingatannya. Pun keriput wajah dan seluruh tubuhnya. Sama sekali tidak mampu mengikis kekuatannya untuk membersihkan daun-daun jati kering yang berserakan di halaman belakang rumahnya.

Ia selalu saja merawatnya. Saya tahu sejak lama masyarakat menginginkan pohon jati tersebut ditebang. Namun semakin kuat keinginan warga, semakin ia bersikukuh dengan pendiriannya.

“Pak… Ini demi warga kampung kita,” kata Pak Kepala Kampung suatu ketika.

“Demi warga kampung apanya?” Pak Saleh melotot ke arah Kepala Kampung yang berusaha sabar menghadapinya.

“Kalau pohon jati ini ditebang, investor bisa segera membangun supermarket di sini.”

“Hahaha… Supermarket? Untuk apa? Bukankah sudah ada pasar kampung?”

“Pak… Kalau ada supermarket di kampung kita, akan bisa menarik investor-investor bidang lainnya. Secara tidak langsung akan bisa meningkatkan taraf hidup warga.”

“Omong kosong! Lalu bagaimana nasib warga yang jualan di pasar? Mereka mau makan apa? Batu?! Dasar warga kampung buta sama duit yang tidak seberapa. Bodoh!”

Begitu ia pernah bercerita tentang pendekatan dari kepala kampung yang berujung debat kusir dengannya. Saya heran mendengar ceritanya. Bagaimana ia bisa lebih memikirkan nasib warga kampung daripada dirinya sendiri. Ia makan seadanya. Penghasilan tambahannya hanya dari menjual daun jati kepada pedagang tempe yang sudah dikenalnya.

Hingga saya tahu kalau itu adalah alasan utama ia menolak pohon jatinya ditebang. Pohon jati miliknya adalah sumber penghidupannya. Hanya saja saya masih belum yakin. Bukankah ia masih bisa hidup dari sayuran yang banyak ditanamnya? Ah! Entahlah.

“Saya tidak yakin sampai kapan kuat mengurusmu sendirian,” katanya saat menghampiri saya ketika mau pergi ke pasar, “makanya saya tak mengizinkan pohon jati di sudut halaman belakang ditebang. Pohon jati itu kuat. Bahkan lebih kuat dari saya sendiri.”

Benar saja. Sampai sore hari ini merambat malam, pohon jati tersebut masih kokoh berdiri. Tak ada satu alat pun yang bisa menebangnya secara paksa. Tak terkecuali teriakan-teriakan warga pun tak mampu menggugurkan daun-daunnya. Pohon jati itu tetap kokoh berdiri. Berbanding terbalik keadaannya dengan Pak Saleh. Ia terduduk lesu sendirian bersandar pagar pohon jarak tak jauh dari pohon tersebut.

“Kalian takkan pernah bisa menebangnya! Pohon jati itu kuat! Sekuat cintaku padanya!” teriaknya tiba-tiba dengan sangat lantang.

Semua warga terkejut dibuatnya. Sesaat saja. Sejenak kemudian, sebagian mereka berbisik. Banyak juga yang tertawa dengan kerasnya.

“Dasar orang tua gila!”

Demikian teriakan beberapa warga.

Pak Saleh tak memedulikan itu semua. Ia terus meracau dengan suara lantang.

“Asal kalian tahu! Pohon jati itu istri sahku!”

Tawa terdengar kian membahana. Suara cemoohan berbaur dengan desau angin yang seakan tak berkesudahan. Batang pohon jati tersebut meliuk. Daun-daunnya menari dengan gerak tak beraturan. Saya hanya bisa tercengang dan menggumam, “Maaf, Pak. Kali ini saya benar-benar tidak bisa percaya lagi padamu. Saya tahu kau tak pernah menikah. Kau hanya mengaku-ngaku saja setelah kau menemukan mayat perempuan incaran yang tak pernah bisa kaumiliki terbujur kaku di bawahnya. Enam puluh tahun yang lalu.”

Sesaat setelahnya, angin pun berhenti. Warga membubarkan diri. Pak Saleh memeluk batang pohon jati – tubuhku.

 

***

Tinggalkan Balasan