Pandemi Covid-19 Tenggelamkan Isu Epidemi HIV/AIDS Indonesia

Edukasi120 Dilihat

Sepanjang tahun 2020 yang juga merupakan tahun dengan pandemi Covid-19 terdeteksi 50.626 kasus HIV/AIDS baru.

Pandemi virus corona (Covid-19) benar-benar menenggelamkan berita seputar epidemi HIV/AIDS di Indonesia. Padahal, berdasarkan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 2 Februari 2021 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS per 31 Desember 2020 mencapai 549.291 yang terdiri atas 419.551 HIV dan 129.740 AIDS. Estimasi kematian 38.000. Angka-angka ini merupakan akumulasi jumlah kasus mulai tahun 1987 sampai 31 Desember 2020.

Sepanjang tahun 2020 yang juga merupakan tahun dengan pandemi Covid-19 terdeteksi 50.626 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 41.987 HIV dan 8.639 AIDS. Sedangkan jumlah bayi usia di bawah 18 bulan yang terdeteksi HIV/AIDS sebanyak 67. Lima daerah yang melaporkan kasus AIDS terbanyak adalah Papua (1.629), Jawa Tengah (1.387), Jawa Barat (836), Bali (830), dan Jawa Timur (495).

Sedangkan estimasi kasus HIV/AIDS diperkirakan sebanyak 640.000. Itu artinya ada 90.709 kasus HIV/AIDS di masyarakat yang tidak terdeteksi. Jumlah yang tidak terdeteksi ini (90.709) jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

  1. Fenomena Gunung Es pada Epidemi HIV/AIDS

Persoalan epidemi HIV/AIDS kian runyam jika dibandingkan dengan pandemi Covid-19 yaitu tidak ada vaksin untuk HIV/AIDS, sedangkan Covid-19 sudah ada vaksin. Selain itu gejala HIV/AIDS bisa sampai 15 tahun tidak muncul sehingga orang-orang yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS. Sedangkan gejala dan kesakitan infeksi Covid-19 sudah muncul dalam beberapa hari setelah tertular.

Berdasarkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di peringkat ke-1 nasional adalah Jawa Timur dengan jumlah 85.615, disusul DKI Jakarta 81.257, Papua 63.499, Jawa Barat 53.779, dan Jawa Tengah 51.964.

Yang perlu diperhatikan adalah jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Maka, daerah-daerah dengan jumlah kasus yang kecil atau sedikit harus waspada karena jumlah yang kecil itu bisa saja karena penjangkauan yang rencah dan fasilitas tes HIV yang tidak banyak.

Jumlah kasus HIV/AIDS yang terus melonjak di Jawa Timur jadi tanda tanya karena lokalisasi pelacuran Dolly dan puluhan lokasi pelacuran sudah ditutup. Hal yang sama juga terjadi di beberapa daerah. Kondisi ini realistis karena transaksi seks tidak bisa lagi diintervensi untuk meminta agar laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

  1. Program Penanggulangan HIV/AIDS Mengekor ke Thailand

Soalnya, lokasi dan lokalisasi pelacuran sekarang sudah pindah ke media sosial yang melibatkan PSK tidak langsung. Transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak terjangkau. PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dan lain-lain.

Ketika lokasi dan lokalisasi pelacuran ditutup di seluruh Indonesia, prostitusi online marak yang melibatkan berbagai kalangan mulai dari yang disebut-sebut artis, foto model, mahasiswi dan lain-lain. Karena transaksi seks pada prostitusi online tidak bisa dijangkau, maka kegiatan ini jadi salah satu pintu penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.

Estimasi infeksi baru HIV setiap tahun sebanyak 46.000 sehingga diperlukan langkah-langkah yang konkret untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.

Persoalan besar yang dihadapi Indonesia dalam menanggulangi epidemi HIV/AIDS adalah mitos, penolakan terhadap kondom, penyangkalan, dan penutupan lokasi dan lokalisasi pelacuran. Mitos terkait HIV/AIDS sudah dipupuk sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia, yaitu menyebut AIDS penyakit bule, AIDS penyakit homoseksual, dan lain-lain.

Penolakan terhadap kondom, alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, terjadi karena sosialisasi HIV/AIDS yang tidak komprehensif. Materi komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) menonjolkan kondom di saat masyarakat belum sepenuhnya memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Ketika Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ di awal tahun 1990-an, Indonesia pun ‘mencangkok’ program tersebut. Celakanya, program ‘wajib kondom 100 persen’ di Thailand adalah langkah terakhir dari lima program skala nasional yang dijalankan simultan dengan dukungan media massa.

Itu artinya Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand. Langkah pertama Thailand adalah menyebarluaskan informasi HIV/AIDS dengan materi KIE yang komprehensif yang didukung oleh media massa. Kondisi ini membuat warga Thailand memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

  1. Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia Bagaikan ‘Bom Waktu’

Sedangkan di Indonesia sebagian besar media massa justru menyebarkan informasi HIV/AIDS yang tidak akurat sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Berita HIV/AIDS pun banyak yang dibalut dengan norma dan moral sehingga menghilangkan fakta medis.

Misalnya, mengaitkan zina, selingkuh, seks pranikah, seks di luar nikah, pelacuran, dan homoseksual dengan penularan HIV/AIDS. Padahal, berdasarkan fakta medis penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, selingkuh, seks pranikah, seks di luar nikah, pelacuran, dan homoseksual) tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu ada keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).

Beberapa media online bulan November 2020 mengutip pernyataan Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, yang mengatakan bahwa minum minuman keras sebagai pintu masuk HIV/AIDS. Pernyataan ini menyesatkan karena tidak ada kaitan antara minum minuman keras atau minuman yang mengandung alkohol dengan infeksi atau penularan HIV/AIDS.

Untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS diperlukan langkah-langkah yang konkret, tapi sejauh ini tidak ada langkah konkret yang dijalankan pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, dan pemerintah di daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota.

Padahal, banyak daerah dan Kemenkes yang sesumbar tahun 2030 Indonesia bebas HIV/AIDS. Tanpa program yang konkret adalah hal yang mustahil Indonesia bebas HIV/AIDS tahun 2030.

Soalnya, penanggulangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia hanya mengandalkan peraturan daerah (Perda) yang justru mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand. Sudah 143 Perda AIDS yang diterbitkan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia tapi hasilnya nol besar. Ini terjadi karena pasal-pasal di Perda-perda itu hanya normatif yang tidak menukik ke akar persoalan.

Tanpa langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK, maka penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terus terjadi sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan’ AIDS (tagar.id, 29 Maret 2021). *

Tinggalkan Balasan