KMAB14
Kasus HIV/AIDS di Sumbar dilaporkan 6.669, tapi ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat
Oleh: Syaiful W. Harahap
“Salah satu penyakit mematikan, human immunodeficiency virus (HIV)/acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), terus mengintai masyarakat Sumbar.” Ini lead pada berita “4 Ribu Lebih ODHA Berseliwer di Sumbar! Awas HIV/AIDS Mengintai!!” (padek.jawapos.com, 15/7-2022).
Pernyataan pada lead dan judul berita di atas tidak akurat, karena:
Pertama, HIV, AIDS dan HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus, sedangkan AIDS adalah kondisi atau masa yang muncul secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat antiretroviral (ARV) sesuai resep dokter.
Kedua, HIV, AIDS dan HIV/AIDS bukan penyakit mematikan. Tidak ada kasus kematian karena HIV, AIDS dan HIV/AIDS.
Ketiga, kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS karena penyakit yang masuk di masa AIDS, seperti TB, diare dan lain-lain.
Judul dan lead berita ini mengarah ke sensasi yang bombastis tapi omong kosong karena tidak akurat.
Pernyataan ‘4 Ribu Lebih ODHA Berseliwer di Sumbar!’ juga tidak akurat karena jumlah kasus yang dilaporkan atau terdeteksi tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Selain itu warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV di fasilitas kesehatan (Faskes) yang ditunjuk pemerintah tidak akan menularkan HIV/AIDS ke orang lain. Hal ini terjadi karena ada konseling sebelum dan sesudah tes HIV.
Salah satu persyaratan tes HIV adalah kesediaan untuk memutus rantai penyebaran HIV/AIDS mulai dari diri sendiri jika hasil tes HIV reaktif (positif). Maka, warga yang terdeteksi HIVAIDS di Faskes pemerintah akan mengikuti anjuran dokter, misalnya meminum obat antiretroviral (ARV) dan tidak menularkan HIV/AIDS ke orang lain dengan cara-cara yang disampaikan melalui konseling sesudah tes HIV.
Yang jadi persoalan besar di Sumbar dan Indonesia adalah warga yang tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.
Pernyataan:’ …. terus mengintai masyarakat Sumbar’ tidak akurat karena HIV/AIDS bukan makhluk yang bisa keluar dari tubuh pengidap HIV/AIDS lalu masuk ke tubuh orang lain.
Yang mengintai itu adalah penularan HIV/AIDS karena perilaku seksual berisiko. Warga Sumbar yang berisiko tertular HIV/AIDS antara lain yang perilaku seksualnya berisikko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di wilayah Sumbar atau di luar Sumbar dan di luar negeri,
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di wilayah Sumbar atau di luar Sumbar dan di luar negeri, dan
(3). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom di wilayah Sumbar atau di luar Sumbar dan di luar negeri.
Nah, apakah Pemprov Sumatera Barat (Sumbar) bisa melakukan intervensi terhadap tiga perilaku berisiko di atas?
Kalau tidak bisa, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Warga yang tertular HIV/AIDS melalui tiga perilaku di atas akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Dalam berita disebut: Pasalnya, dari estimasi yang ada, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang terjaring baru setengahnya.
Jika dikaitkan dengan fenomena gunung es jumlah yang terdeteksi tidak bisa dipastikan setengah atau berapa.
Pemakaian kata ‘terjaraing’ tidak etis karena hal itu layak untuk binatang, sedangkan Odha adalah manusia. Yang etis adalah terdeteksi.
Laporan di situs siha.kemkes.go.id jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Sumbar 6.669 yang terdiri atas 4.261 HIV dan 2.408 AIDS.
Namun, perlu diingat angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat, karena erat kaitannya denga fenomena gunung es. (Sumber: Kompasiana, 20/7-2022). *