KMAB13
Libido di usia 15 – 49 tahun harus disalurkan melalui hubungan seksual, celakanya mereka tidak mendapat informasi yang akurat tentang cara mencegah penularan HIV/AIDS
Oleh: Syaiful W. Harahap
“Jumlah pengidap penyakit HIV/AIDS terus bertambah di Provinsi Gorontalo, di mana kelompok milenial yang berusia mulai 15 sampai 49 tahun mendominasi kasus tersebut. Tercatat ada 754 orang penderita HIV/AIDS pada 2001 sampai 2022 per Maret ini.” Ini lead berita “Miris, Kelompok Milenial Dominasi Kasus HIV/AIDS di Gorontalo” (kronologi.id, 17/7-2022).
Kasus HIV/AIDS pada usia 15 – 49 tahun adalah realistis. Maka, mengapa harus miris?
Kalau kasus HIV/AIDS terbanyak pada usia di bawah 15 tahun dan pada Lansia (lanjut usia) baru jadi persoalan besar karena tidak realistis.
Pertama, terjadi pada anak-anak. Kalau HIV/AIDS pada anak-anak itu tidak tertular dari ibu yang mengandung mereka, maka melalui perilaku seksual atau nonseksual berisiko. Ini jelas masalah besar.
Kedua, kalau kasus HIV/AIDS terbanyak pada Lansia juga jadi masalah besar karena kakek-kakak dan nenek-nenek ternyata melakukan perilaku seksual atau nonseksual berisiko. Ini jelas masalah besar.
Maka, kasus HIV/AIDS pada kalangan milenial adalah hal yang lumrah dan masuk akal sehat karena pada usia 15 – 49 tahun libido tinggi sehingga harus disalurkan melalui hubungan seksual. Dorongan atau hasrat seksual tidak bisa disubsitusi dan hanya bisa disalurkan melalui hubungan seksual atau ‘swalayan’ yaitu onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan.
Maka, kalau disebut milenial mendominasi kasus HIV/AIDS di Gorontalo itu hal yang realistis.
Yang jadi persoalan besar adalah: Mengapa mereka (bisa) tertular HIV/AIDS?
Nah, kalau saja wartawan yang menulis berita ini mencari data tentang faktor risiko (cara penularan) HIV/AIDS kepada milenial itu tentulah berita akan komprehensif.
Jika faktor risiko penularan HIV/AIDS terhadap kalangan milenial itu melalui hubungan seksual, maka itu artinya mereka tidak memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Hal itu terjadi karena sejak awal epidemi HIV/AIDS di akhir tahun 1980-an materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS kabur sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan hubungan seksual di luar nikah, pelacuran, perselingkuhan, dan homoseksual. Seperti yang disebut dalam berita ini: mencegah penularan HIV/AIDS dengan rumus ABCD, yakni:
– A (abstinace) adalah tidak berhubungan seks di luar nikah.
Ini jelas ngawur karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis (Lihat matriks).
Maka, materi KIE tentang HIV/AIDS harus berpijak pada fakta medis bukan mitos.
Disebutkan pula:
– C (condom), yaitu penggunaan kondom saat berhubungan seksual.
Pada hubungan seksual yang seperti apa seorang laki-laki harus memakai kondom agar terhindar dari penularan HIV/AIDS?
Tidak ada penjelasan.
Kondom dipakai oleh laki-laki jika melakukan perilaku seksual berisiko, perempuan juga bisa meminta laki-laki memakai kondom jika melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan
(3). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Celakanya, tidak ada mekanisme untuk memastikan laki-laki memakai kondom pada tiga perilaku seksual berisiko di atas. Maka, perlu ada intervensi seperti yang dilakukan Thailand yaitu menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat pelacuran dan rumah bordil.
Tapi, perlu diperhatikan program ‘wajib kondom 100 persen’ hanya bisa dijalankan jika praktek PSK dilokalisir. Itu artinya program ‘wajib kondom 100 persen’ tidak bisa dijalankan di Gorontalo khususnya dan di Indonesia umumnya.
Maka, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa akan terus terjadi di Gorontalo. Laki-laki yang tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 19/7-2022). *