Siapa yang Harus Menangani Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Gorontalo Utara?

KMAB37 Dilihat

KMAB22

Pemerintah, dalam hal ini dinas terkait, tidak bisa menghentikan penularan HIV/AIDS karena perilaku seksual berisiko warga ada di ranah privat

“Srikandi DPRD Kabupaten Gorontalo Utara, Ariaty Polapa, meminta agar dinas terkait menyeriusi penanganan kasus HIV/AIDS yang ada di daerah.” Ini lead pada berita “Tanggapi Kasus HIV/AIDS di Gorontalo Utara, Ariyati Polapa Minta Pemerintah Bertindak Serius” (newsnesia.id, 25/7-2022).

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Gorontalo Utara dari tahun 2010 sampai Maret 2022 dilaporkan 64 (hargo.co.id, 22/7-2022).

Yang perlu diingat adalah pemerintah tidak bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena risiko penularan, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, terjadi di ranah privasi (pribadi).

Yang bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, adalah masyarakat.

Coba simak tiga perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS ini, apakah pemerintah, baik pusat, kabupaten dan kota:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, di wilayah Gorontalo Utara, di luar Gorontalo Utara atau di luar negeri, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

Apakah Pemkab Gorontalo Utara bisa melakukan intervensi terhadap pelaku perilaku berisiko di atas?

Jelas tidak bisa. Maka, yang bisa menghentikan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS Nomo 1 hanya warga karena pemerintah tidak bisa melakukan intervensi. Kawin-cerai adalah ranah privat yang diakui hukum baik agama maupun negara.

Sedangkan hubungan seksual di luar nikah, seperti perselingkuhan atau perzinaan, juga di ranah privat dengan transaksi melalui ponsel yang terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat.

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di wilayah Gorontalo Utara, di luar Gorontalo Utara atau di luar negeri.

Sementara itu perilaku berisiko nomor 2 juga sekarang terjadi di ranah privat karena lokalisasi pelacuran sudah ditutup sejak reformasi. Lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel dengan eksekusi di sembarang waktu dan sembarang tempat yang tidak bisa diintervensi.

Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa dengan indikator jumlah kasus HIV/AIDS pada calon taruna militer yang terus turun. Thailand menjalanka program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil.

Namun, program tersebut jelas tidak bisa dijalankan di Indonesia karena praktek PSK tidak dilokalisir. Maka, insiden infeksi HIV baru melalui perilaku berisiko nomor 2 ini akan terus tejai di Gorontalo Utara khususnya dan di Indonesia umumnya.

(3). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom di wilayah Gorontalo Utara, di luar Gorontalo Utara atau di luar negeri.

Begitu juga dengan perilaku berisiko nomor 3 ini juga terjadi di ranah privat dengan memakai ponsel untuk transkasi.

Itu artinya pemintaan srikandi DPRD Kabupaten Gorontalo Utara, Ariaty Polapa, ini salah alamat karena kuncinya ada di masyarakat.

Dalam berita Ariaty mengatakan: …. kasus ini (maksudnya HIV/AIDS-pen.) cukup memprihatinkan karena dari potret yang ada, dari tahun ke tahun tidak akan ada pengurangan jumlah penderita, tetapi hanya akan ada peningkatan.

Ya, itu sudah pasti karena pemerintah tidak bisa melakukan intervensi terhadap tiga perilaku seksual berisiko di atas sehingga insiden infeksi HIV bar uterus terjadi. Warga, terutama laki-laki dewasa yang tertular HIV melalui perilaku seksual berisiko yang tidak terdeteksi akan jadi mata ratani penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Sebagai anggota DPRD, Ariaty bisa menggagas peraturan daerah (Perda) untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitanya dengan fenomena gunung es yaitu jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Soalnya, kalau warga yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang tertular HIV/AIDS sebelum masa AIDS (secara statistik masa AIDS terjai antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat antiretroviral/ARV sesuai resep dokter).

Langkah lain yang bisa dilakukan untuk menanggulangi HIV/AIDS adalah mewajibkan suami dari perempuan hamil untuk menjalani tes HIV. Ingat bukan perempuan hamil yang diwajibkan tes HIV, tapi suami dari perempuan atau istri yang hamil yang diwajibkan tes HIV. Hal ini untuk mencegah agar suami tidak menolak untuk tes HIV jika istrinya terdeteksi HIV-positif. Payung hukumnya bisa dengan Perda.

Namun, perlu diingat Perda untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat dan Perda tes HIV bagi suami perempuan hamil tidak boleh melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Ariaty juga mengatakan: “Dari pendidikan juga sedini mungkin sudah harus ada format-format edukasi yang mengarah pada pencegahan dari pada HIV/AIDS itu sendiri.”

Sosialiasi dan edukasi tentang HIV/AIDS sudah dilakukan sejak 35 tahun lalu di awal epidemi, tapi hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Tanpa lankah-langkah yang konkret, penyebaran HIV/AIDS di Gorontalo Utara akan terus tejadi ibarat ‘bom waktu’ yang kelak bermara pada ‘ledakan AIDS.’ * (Sumber: Kompasiana, 28/7-2022). *

Tinggalkan Balasan