Quo Vadis (Penanganan) Pariwisata di Indonesia

Wisata36 Dilihat

“Wisman Ramai-ramai Tinggalkan Lombok.” Ini judul berita di “Deutsche Welle” (dw.com/id, 8/8-2018) dengan ilustrasi foto antrean wisatawan mancanegara (Wisman) di bandara.

Disebutkan dalam berita: Wisatawan asing bergegas ingin meninggalkan Lombok usai gempa bumi kedua dalam sepekan yang menewaskan setidaknya 105 orang. Mereka diberangkatkan ke Bali dengan menggunakan kapal laut dan pesawat udara.

Jika dikaitkan dengan harapan Presiden Jokowi untuk mendatangkan 20 juta Wisman ke Indonesia tahun depan (2019), kejadian di Lombok itu merupakan antiklimaks dari upaya untuk mendatangkan Wisman ke Indonesia

Baca juga: Menggapai 20 Juta Wisman yang Ditargetkan Jokowi

Kejadian itu benar-benar tidak masuk akal. Wong gempa sudah tidak ada. Apa yang ditakutkan Wisman itu? Apa yang membuat mereka hengkang dari Lombok (baca: Indonesia)?

Apakah tidak ada upaya-upaya persuasif untuk memberikan rasa aman kepada warga dan Wisman?

Secara naluri warga dan Wisman sudah memahami risiko tinggal dan berwisata ke pulau-pulau kecil, al. cuaca buruk dan tsunami. Tapi, langkah yang ditempuh instansi terkait yang mengevakuasi Wisman dan warga dari tiga pulau Gili justru tidak arif (Baca juga: Nasib Warga dan Wisatawan di Pulau-pulau Kecil Ketika Tsunami). Disebutkan bahwa lebih dari 4.600 Wisman dievakuasi dari tiga pulau gili yaitu Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan.

Kerumunan warga dan Wisman di salah satu pulau gili menunggu diangkut ke darat (Pulau Lombok), NTB, setelah ada rumor tsunami (Sumber: dw.dom)

“Ada banyak yang ingin kembali ke Lombok (maksudnya dari pulau-pulau gili=pen.) karena munculnya rumor palsu seperti Tsunami,” kata Muhammad Faozal, Kepala Dinas Pariwisata NTB. “Kami bisa membantu wisatawan kembali ke bandara, tapi kami tentunya tidak bisa memberikan tiket gratis,” imbuhnya sembari menambahkan Dinas Pariwisata menyediakan akomodasi, makanan dan transportasi gratis untuk turis yang terdampar (dw.com, 8/8-2018).

Seperti yang dikatakan oleh Wisman asal Inggris ketika mereka berlari ke bukit di salah satu pulau gili yang dia dengar adalah teriakan warga yang mengatakan ‘tsunami akan datang’. Ini terjadi karena tidak ada informasi yang resmi dari instansi terkait (ABC News, 6/8-2018).

Evakuasi itu mengesankan akan ada lagi gempa susulan yang besar dengan potensi tsunami. Warga dan Wisman berkumpul di pantai menunggu diangkut ke darat (Pulau Lombok). Kalau ada gempa dengan potensi tsunami tentulah evakuasi itu justru berbahaya karena akan dihantam gelombang besar yang ditimbulkan tsunami.

Kalau di tiga pulau gili itu ada tempat yang diperkirakan tidak tersentuh lidah gelombang tsunami, tentulah lebih aman di tempat itu. Jika dibandingkan dengan risiko naik kapal laut ke darat kalau memang evakuasi itu dilakukan karena ada kekhawatiran akan terjadi lagi tsunami susulan.

Padahal, tidak ada yang bisa memperkirakan kapan akan terjadi gempa (lagi). Sedangkan gempa susulan setelah gempa utama magnitudonya akan terus berkurang sehingga jelas tidak akan menimbulkan tsunami.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sendiri beberapa jam setelah gempa sudah mencabut peringatan tsunami sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan di tiga pulau gili itu. Langkah yang arif adalah menangkan warga dan Wisman tetap di pulau dengan menyiapkan armada jika ada peringatan dari BMKG tentang gempa yang berpotensi tsunami.

Antrean Wisman yang akan keluar dari Pulau Lombok, NTB (Sumber: dw.com)

Kalau saja dilakukan langkah-langkah yang bisa menahan (sebagian) Wisman tentulah pariwisata nasional tidak tercoreng. Kepulangan Wisman dari Lombok merupakan publikasi buruk bagi pariwisata nasional di mata wisatawan dunia.

Apalagi bertolak dari fakta pengalaman seorang Wisman asal Inggris di salah satu pulau gili yang mengatakan tidak ada informasi resmi yang sampai kepada warga dan Wisman. Kalua di tiga pulau gili itu ada sensor sebagai peringatan dini tsunami tentulah warga dan Wisman paham apa yang (akan) terjadi.

Pulau-pulau kecil, yang disebut-sebut sebagai ‘surga’ oleh wisatawan, tidak hanya di utara Pulau Lombok. Nun di Papua, Papua Barat, NTB, NTT, Bali, Aceh, Sumbar, Sumut, dll. banyak pulau kecil  yang dijadikan pemukiman dan tempat wisata.

Jika langkah yang dipilih adalah mengevakuasi warga dan wisatawan setiap kali ada gempa dengan potensi tsunami bukan langkah yang pas karena tidak ada jaminan evakuasi akan tetap bisa dilakukan dengan aman

Maka, perbaikan sarana dan prasarana (infrastruktur) terkait dengan risiko akibat cuaca buruk dan tsunami merupakan bagi dari upaya menjaga keselamatan warga dan wisatawan. Dengan sarana dan prasarana itu promosi pariwisata pulau-pulau kecil di Nusantara akan berdampak positif dalam mendatangkan Wisman berduyun-duyun ke Indonesia (Kompasiana, 8 Agustus 2018).*

Komentar:

Herman Wijaya (8 Agustus 2018) Dalam urusan pariwisata kita perlu banyak belajar dengan negara lain

Syaiful W. HARAHAP (8 Agustus 2018) @Herman, …. terima kasih …. sebenarnya krn instansi dan institusi terkait pariwisata tdk mau memutar otak saja karena semua sudah berjalan ibarat autopilot …..

Tinggalkan Balasan

1 komentar