Renungan Akhir Tahun 2020: Epidemi HIV/AIDS dan Pandemi Covid-19 di Indonesia

Edukasi64 Dilihat

Informasi tentang epidemi (HIV/AIDS) dan pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia yang berbalut moral mendorong stigma dan diskriminasi yang berujung penyebaran virus.

Epidemi HIV/AIDS dihadapkan dengan norma, moral dan agama sehingga menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda), sementara informasi pertama pandemi virus corona juga dikaitkan dengan perilaku yang dikategorikan sebagai maksiat yaitu dansa.

Ketika ada publikasi, 5 Juni 1981, ditemukan penyakit Pneumocystis pneumonia pada lima laki-laki gay di Los Angeles, AS, oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention – Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) AS mulai muncul tanggapan yang dibumbui dan dibalut dengan moral.

Kalangan ahli kemudian menyebut gejala penyakit itu sebagai AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu cacat sistem kekebalan tubuh dapatan). Penyebab AIDS kemudian diumumkan WHO yaitu HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada 1986 juga tentang tata cara tes.

1. Pemerintah Memakai Norma, Moral dan Agama

Tahun-tahun berikutnya beberapa negara mulai melaporkan kasus HIV/AIDS. Negara-negara lain mencari langkah untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS yang disebut epidemi (wabah penyakit yang menyebar di area geografis yang luas). Tapi, pemerintah Indonesia justru sibuk menangkis penjelasan kalangan ahli tentang kemungkinan HIV/AIDS masuk ke Indonesia.

Informasi tentang HIV/AIDS pun dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama.

Misalnya, mengartikan HIV/AIDS sebagai penyakit gay (homoseksual), penyakit bule, penyakit di pelacuran, dan lain-lain. Bahkah, pejabat-pejabat pun selalu mengatakan bahwa Indonesia adalah negara berbudaya dan beragama sehingga tidak bisa ‘ditembus’ HIV/AIDS.

Waktu berjalan terus kalangan pakar sudah memberikan indikasi bahwa ARC (AIDS related complex) yaitu penyakit yang terkait dengan (kondisi) AIDS sudah terdeteksi di Indonesia. Tapi, lagi-lagi pemerintah memakai norma, moral dan agama menyerang informasi tentang kemungkinan HIV/AIDS masuk ke Indonesia.

Pada tanggal 5 April 1987 seorang turis Belanda meninggal dunia di RS Sanglah, Denpasar, Bali, dengan indikasi penyakit terkait HIV/AIDS. Pemerintah pun semerta mengakui sudah ada HIV/AIDS di Indonesia. Celakanya, pengakuan ini justru menguatkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yaitu penyakit homoseksual, penyakit gay, penyakit orang asing dan penyakit bule.

Akibatnya, masyarakat lalai karena menganggap dirinya bukan homoseksual, bukan gay, bukan orang asing dan bukan bule, Pengaitan HIV/AIDS dengan homoseksual, gay dan pelacuran menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskrimiasi terhadap pengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS).

2. Tantang Pakar Asing

Padahal, tahun 1988, setahun setelah kematian bule itu, seorang laki-laki penduduk asli Indonesia meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS juga di RS Sanglah. Secara medis kematian pengidap HIV/AIDS terjadi antara 5 -15 tahun setelah tertular HIV sehingga penduduk asli tadi tertular HIV jauh-jauh hari sebelum turis Belanda meninggal di Bali. Tidak pula ada riwayat kontak antara turis Belanda itu dengan penduduk yang meninggal terkait HIV/AIDS itu.

Menelusuri Awal Kasus HIV/AIDS di Indonesia (Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Data terakhir yang dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 1987 sampai 30 September 2020 mencapai 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS. Kasus ini tersebar di 34 provinsi dengan lima teratas yaitu: Jawa Timur, Jakarta, Papua, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Ketika banyak negara mulai melaporkan kasus infeksi virus corona (Covid-19) sejak Januari 2020, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, lagi-lagi menyangkal kasus virus corona sudah ada di Indonesia. Bahkan, Menkes, waktu itu, Terawan Agus Putranto, menantang pakar Universitas Harvard untuk membuktikan bahwa hasil riset mereka yang memprediksi virus corona sudah masuk ke Indonesia.

Ketika itu, awal Februari 2020 ketika sudah banyak negara, termasuk Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina, sudah melaporkan kasus virus corona. Tim peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health, Amerika Serikat, ragu di Indonesia tidak ada kasus virus corona. Alasan yang disampaikan, antara lain mobilitas warga dan penerbangan internasional dari dan ke Indonesia.

Ketika pemerintah mengumumkan kasus pertama virus corona tanggal 2 Maret 2020 terbukti dua pasien tersebut tidak bisa didiagnosis di sebuah rumah sakit di Depok, Jawa Barat. Setelah beberapa hari dirawat dengan indikasi penyakit lain pasien dirujuk ke RS Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta Utara, baru diagnosis jelas sebagai infeksi virus corona.

3. Memupus Stigma dan Diskriminasi

Entah kebetulan atau karena apa kasus kematian terkait HIV/AIDS dan virus corona terjadi di Bali. Kematian terkait HIV/AIDS pada 5 April 1987, sedangkan kematian pertama terkait Covid-19 juga terjadi pada pasien Kode 25 yaitu seorang WNA perempuan umum 53 tahun tanggal 11 Maret 2020.

Baca juga: Kematian Pertama AIDS dan Covid-19 Terjadi di Bali

Publikasi kasus virus corona pertama disampaikan oleh pemerintah dengan cara yang vulgar yaitu memaparkan riwayat kontak pasien 01 dan 02 yang dikait-kaitkan dengan pesta dansa. Padahal, tidak bisa dibuktikan secara medis penularan virus corona terjadi pada kegiatan sedang melakukan dansa.

Baca juga: Stigma Covid-19 Kita Tidak Belajar dari Pengalaman 

Akibat pemaparan riwayat kontak yang vulgar itu muncul stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular virus corona. Soalnya, pesta dansa dianggap sebagai maksiat. Penyebaran virus corona sebagai pandemi pun terus terjadi yang sudah menyebar ke Nusantara.

Jumlah konfirmasi positif virus corona di Indonesia sampai tanggal 31 Desember 2020, pukul 11.30 WIB, sebanyak 735.124 dengan 21.944 kematian. Indonesia ada di peringkat ke-20 dunia dari 218 negara dan teritori serta 2 kapal pesiar mewah yang melaporkan kasus virus corona (worldometer).

Kondisinya kian runyam karen judul-judul berita di media massa dan media online serta hoaks di media sosial juga mengaitkan penularan virus corona dengan dansa.

Tenaga medis diusir dari rumah atau tempat kos mereka karena dianggap sebagai sumber penularan. Jenazah yang meninggal karena virus corona ditolak warga dimakamkan di pekuburan daerah mereka.

Memupus stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dan yang tertular virus corona, yang sembuh dan jenazah serta tenaga medis, jadi PeeR (pekerjaan rumah) bagi Menkes (baru) Budi Gunadi Sadikin (tagar.id, 31 Desember 2020). *

Tinggalkan Balasan