Stigma Covid-19 Kita Tidak Belajar dari Pengalaman

Edukasi181 Dilihat

Ternyata kita tidak belajar dari pengalaman tentang stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS yang juga dialami oleh pasien Covid-19.

Stigmatisasi (pemberian cap buruk atau negatif) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terkait dengan epidemi HIV/AIDS berawal dari pernyataan pejabat, pakar, tokoh masyarakat dan agamawan yang mengait-ngaitkan (cara) penularan HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama. Hal ini juga terjadi pada pandemi virus corona (Covid-19) bahkan di awal publikasi kasus pertama Covid-19 di Indonesia, 2 Maret 2020.

Simaklah pernyataan seorang pejabat tinggi ini. Dia mengatakan bahwa Pasien 01 tertular Covid-19, “ …. karena dia guru dansa. Dia berdansa dengan teman dekatnya (WN Jepang) ….”

  1. Mendewakan Berita yang Sensasional

Di awal epidemi HIV/AIDS di tahun 1980-an seorang pejabat tinggi mengatakan bahwa HIV/AIDS itu penyakit homoseksual (secara seksual tertarik dengan sejenis) sehingga kalau taat beragama dan tidak ikut-ikutan jadi homoseksual akan terhindar dari HIV/AIDS. Apa yang terjadi kemudian? Laporan Kemenkes menunjukkan 60% kasus HIV/AIDS terjadi melalui penularan heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis).

Pernyataan yang tidak didasari fakta medis itu jadi ‘santapan’ sebagian media yang mendewakan (berita) sensasi. Setiap pelatihan “Penulisan Berita AIDS yang Berempati” untuk wartawan di LP3Y Yogyakarta yang didukung Ford Foundation di tahun 1990-an ada saja wartawan yang mengatakan berita sensasional menaikkan oplah (tiras surat kabar atau majalah yang dicetak). Bang Hadi (Ashadi Siregar, Direktur LP3Y) bertanya: Apakah koran atau majalah yang mengumbar berita-berita yang sensasional yang menggaji wartawannya di atas upah yang layak?

Dari pernyataan ini masyarakat dengan literasi yang tidak mumpuni dan memakai pijakan moral dalam memahami sesuatu, maka pasien itu tertular karena melakukan perbuatan yang, maaf, amoral. Berdansa dengan yang bukan pasangan sah tentulah melawan aturan-aturan normatif.

Akibatnya, terjadi penyamarataan semua kasus corona yang dikaitkan dengan moral. Ini dulu juga terjadi pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS), padahal penularan HIV/AIDS tidak ada kaitannya secara langsung dengan moral, bahkan dengan agama. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam nikah dan di luar nikah jika salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual. Ini fakta medis.

Kembali ke Pasien 01. Dari pernyataan pejabat tinggi itu ada beberapa hal yang terkait dengan norma, moral dan agama: dansa dan teman dekat. Ini merupakan bahasa yang konotatif yang dengan mudah diinterpretasi sebagai hal yang negatif oleh orang-orang dengan literasi yang rendah dan pemahaman agama yang memakai kaca mata kuda.

  1. Kebencian Terhadap Warga Negara Asing

Padahal, penularan virus corona bukan karena melakukan dansa, tapi karena teman berdansa mengidap virus corona yang tidak disadari WN Jepang itu. Ada kemungkinan ketika masuk ke Indonesia suhu tubuhnya tidak tinggi ketika dicek di bandara. Tapi, ketika dia kembali ke Malaysia infeksi virus corona memaksanya berobat. Yang menguntungkan adalah WN Jepang itu menelepon Pasien 01 bahwa dia terdeteksi tertular virus corona. Yang ditelepon pun memeriksakan diri ke rumah sakit yang selanjutnya diketahui tertular virus corona.

Tapi, karena informasi yang gencar melalui sebagian media massa dan media online yang dibumbui dengan kekonyolan di media sosial dengan mengaitkan penularan virus corona dengan dansa, maka masyarakat pun memakai moral sebagai pijakan memaknai Covid-19.

Judul-judul berita ini menyuburkan mitos (anggapan sosial) yang bermuara pada stigmatisasi dan diskriminasi terhadap warga yang terinfeksi virus corona. Selain itu judul yang mengedepankan orang asing juga mendorong xenophobia (Foto: Dok/Tagar/Syaiful W. Harahap).

Baca juga: Covid-19 Dorong Xenophobia dengan Kebencian Rasial

Berita nomor 1 sd. 5 kondisi dan penyebab penularan dikaitkan dengan WN asing. Ini mendorong kebencian terhadap warga asing. Pemerintah Jepang melalui Duta Besar Jepang di Indonesia memprotes pengaitan warga Jepang dengan penularan Covid-19 karena ada kabar WN Jepang di Indonesia mendapatkan perlakuan yang mengarah ke diskriminasi.

Sedangkan berita nomor 6 sd. 8 mengaitkan penularan Covid-19 dengan dansa dan valentine. Seperti diketahui valentine adalah terminologi yang sangat ditentang banyak kalangan di Indonesia. Akibatnya, orang akan menyumpahi “Itulah akibatnya melakukan maksiat!” Padahal, tidak ada kaitan langsung antara valentine dan penularan Covid-19.

  1. Penyebutan Hasil Tes Reaktif dan Nonreaktif

Di berita nomor 9 sd. 22 judul berita dengan tegas mengait-ngaitkan penularan Covid-19 dengan dansa. Di mata orang-orang dengan pemahaman ‘kaca mata kuda’ dansa adalah tari cara Barat yang dilakukan oleh pasangan pria-wanita dengan berpegangan tangan atau berpelukan yang diiringi musik (KBBI).

Publikasi identitas Odha pun mendorong stigma dan diskriminasi. Hal ini juga terjadi pada pandemi Covid-19. Rumah Pasien 01 dipasang garis polisi dan jadi objek media serta warga. Ini membuat penghuni rumah tidak nyaman. Untung saja tidak terjadi amuk massa.

Baca juga: Dampak Buruk Jika Identitas Pasien Covid-19 Dibuka

Lagi-lagi kita tidak belajar dari stigma dan diskriminasi yang dialami Odha karena penyebutan hasil tes. Semula semua tes HIV disebut positif dan negatif. Padahal hasil tes HIV dengan reagen ELISA atau rapid test ada positif palsu (hasil tes reaktif tapi tidak ada virus atau HIV di dalam darah) dan negatif palsu (hasil tes non-reaktif padahal ada virus di dalam darah). Pedoman dari UNAIDS, badan PBB yang khusus menangani HIV/AIDS, setiap tes HIV apapun hasilnya harus dilakukan lagi dengan tes konfirmasi. Ada tes PCR ada juga dengan ELISA tiga kali dengan reagen dan teknik yang berbeda.

Baca juga: Hasil Rapid Test Covid-19 Reaktif dan Nonreaktif

Penolakan warga terhadap jenazah dengan Covid-19 sudah beberapa kali terjadi. Ini terjadi karena mengaitkan penularan corona dengan norma dan juga tentang hasil tes Covid-19. Jenazah di Sulawesi Selatan, misalnya, meninggal di masa PDP (Pasien Dalam Pengawasan) dengan hasil tes pertama negatif.

Petugas kepolisian setempat berpatroli di jalan untuk mengendalikan pergerakan warga di Ronda, Spanyol, mengingat virus corona (Covid-19) menyebar pada 15 Maret 2020 (Foto: timesofisrael.com/JORGE GUERRERO/AFP).

Begitu juga dengan penolakan warga terhadap penetapan tempat penanganan Covid-19. Ada indikasi penolakan dipicu oleh provokator, tapi ini terjadi karena literasi warga yang rendah terhadap fakta medis Covid-19. Apalagi dengan memakai balutan agama sangat mudah menggerakkan warga dengan literasi rendah. Pemerintah, terutama pemerintah provinsi, kabupaten dan kota harus melawan hoaks dan menyebarluaskan informasi akurat tentang virus corona dengan bahasa baku agar mudah dipahami warga.

Kalau saja hasil tes Covid-19 dari awal disebut non-reaktif (negatif) dan reaktif (positif) stigma terhadap mereka tidak sebesar yang terjadi dengan menyebut pasien positif Covid-19. Tapi, semua sudah terlanjur: epidemi HIV/AIDS tempatkan Indonesia sebagai negara keempat di dunia setelah India, China dan Rusia dengan kecepatan pertambahan infeksi baru, dan kasus baru infeksi Covid-19 yang terus bertambah (tagar.id, 6 April 2020). *

Tinggalkan Balasan

1 komentar