Seri Santet #27 – Dedemit Dikirim ke Rumah Ambil Benda yang Bersentuhan dengan Badan

Sosbud57 Dilihat

Agar tidak ada barang atau peralatan yang tinggal ketika meninggalkan rumah saya membuat daftar, semacam checklist, di meja kerja. Setiap hendak keluar rumah daftar itu saya baca dan tandai agar semua keperluan sudah ada di kantong dan tas.

Pertengahan bulan ini (April 2016) saya pergi meninggalkan rumah selama tiga hari. Ketika kembali ternyata daftar yang biasa saya tandai tidak ada lagi di meja.

Semula saya pikir jatuh. Tapi, setelah dicari di bawah meja dan di sekitar meja kerja kertas itu tidak ditemukan. Kalau kertas itu jatuh karena diacak-acak tikus, mengapa benda-benda di sekitarnya, seperti pulpen dan pensil, tidak jatuh?

Pertanyaan demi pertanyaan terus menggelayut di pikiran, tapi tetap saja kertas itu tidak ditemukan. Penyebab kertas itu hilang pun tidak bisa dipikirkan.

Kehilangan benda-benda yang melekat dengan badan saya sudah sering terjadi. Kaos kaki (hanya sebelah) kiri, sapu tangan, CD (celana dalam) dan kemeja dulu sebelum berpisah dengan ‘orang rumah’ sering terjadi. Benda-benda itu hilang dari keranjang tempat cucian kotor.

Bahkan, maaf, rambut kemaluan pun ‘hilang’. Ini diketahui ketika bungkusan benda santet diambil dari dalam tanah di rumah dan di kantor. Dalam bungkusan itu ada berbagai macam benda tumpul, benda tajam dan benda cair termasuk bagian-bagian pakaian yang hilang dan itu tadi, maaf, rambut kemaluan.

Karena penasaran kok kertas ukuran A4 hilang dari meja kerja saya kabari ke Pak Ajie di Banten, ini salah satu dari beberapa orang yang membantu saya menghadapi ‘peperangan’ dengan belasan dukun santet.

“Ya, ada dedemit yang masuk. Pak, coba cek CD-nya,” kata Pak Ajie melalui telepon.

Celaka. Rupanya, mereka mengulangi ‘perang’ lagi karena selama ini usaha mereka selalu gagal. Dari belasan dukun yang dipakai ‘komplotan’ yang memakai pesugihan (mencari kekayaan dengan memakai makhluk halus, seperti tuyul, babi ngepet, nyupang dan buto ijo) sekarang tinggal ‘sepasang lagi’. Mereka hidup dalam ikatan ‘kumpul kebo’.

Yang agak berat yang perempuan itu semula belajar ‘ilmu putih’, tapi belakangan berbalik arah jadi dukun santet dengan ‘ilmu hitam’. Yang laki-laki adalah keluarga pemakai pesugihan yang sudah meninggal yang membekali dirinya dengan ‘nyupang’ yaitu pesugihan yang memelihara makhluk sejenis kera atau monyet untuk mencari kekayaan dengan mencuri harta orang lain.

Tapi, sejak dibantu oleh orang-orang yang bisa melawan ‘ilmu hitam’ saya selalu merendam kemeja, CD, sapu tangan, kaos kaki dan celana jika akan dicuci. Ini dimaksudkan agar di benda-benda itu tidak ada lagi tertinggal bekas keringat dan bau badan. Keringat dan bau badan menjadi ‘penunjuk jalan’ bagi makhluk halus yang ‘dikirim’ oleh dukun santet dengan memakai mantra dan ramuan-ramuan serta sesajen.

Memang, beberapa hari sebelum saya tinggalkan rumah ada cacing merah merayap di dinding (keramik). Tentu saja tidak masuk akal cacing bisa merayap di dinding keramik. Cacing itu dibunuh dengan garam atau dibakar. Ini salah satu ‘antena radar’ bagi dukun yang akan mengirimkan santet.

Kertas berisi catatan itu jadi penting karena setiap hari selalu bersentuhan dengan tangan saya. Itu artinya ada yang bisa dijadikan dukun sebagai ‘kompas’ bagi makhluk halus yang akan dikirim membawa ‘penyakit’ ke rumah atau badan saya.

Sebagian orang menganggap santet dan teluh adalah khayalan. Ya, boleh-boleh saja. Tapi, mohonlah tidak mengejek. Cukup bersyukur ke YMK karena tidak percaya kepada santet. Tapi, fakta menunjukkan ada orang yang selama ini sesumbar tidak percaya ketika kena santet baru kelabakan. Selain itu ada juga yang mati-matian menolak dukun, eh, rupanya langganan dukun untuk berbagai keperluan, seperti kekayaan, kecantikan, kedudukan, dll.

Celakanya, banyak orang kena santet jadi korban ‘dukun’ dengan meminta uang, disebut mahar. Padahal, kalau orang yang benar-benar membantu, seperti Pak Ajie dan Bu Haji Emun, dua-duanya di Banten, yang membantu saya sejak tahun 2001, sama sekali tidak meminta mahar kecuali dibutuhkan alat bantu, seperti minyak yang diimpor dari Turki karena kayu sumber minyak itu hanya ada di sana. Kayu disuling untuk mendapatkan minyak yang sangat disukai makhluk-makhluk yang dijadikan dukun santet sebagai ‘kurir’.

Saya adalah korban pesugihan yang bersama putri saya dijadikan tumbal atau wadal bagi kelangsungan pesugihan. Yang memelihara pesugihan itu harus menyediakan 17 tumbal sudah 8 yang dikorbankan mulai dari adik, menantu, anak, dll. Dalam ‘daftar’ tumbal putri saya nomor 9 saya nomor 10.

Tapi, berkat izin YMK dengan bantuan Bu Haji Emun dan Pak Ajie yang jadi ‘tumbal’ justru yang pelihara pesugihan itu dan saudaranya. Nah, inilah yang menjadi latar belakang serangan santet ke saya sekarang, sebagai bagian dari balas dendam dan mempertahankan pesugihannya yang memakai ‘nyupang’ (Kompasiana, 22 April 2016). *

Komentar:

agung nugroho (22 April 2016) Wah serem juga ya.

Tinggalkan Balasan