Seri Santet #28 – Bisul Bukan Sembarang Bisul

Sosbud399 Dilihat

Semula saya tidak curiga ketika ada bisul di paha kanan belakang. Dengan berbekal salep yang dibeli di apotek dua pekan kemudian bisul pecah, tapi meninggalkan bekas hitam lebam dengan diameter kira-kira 10 centimeter.

Bersamaan dengan itu muncul benjolan-benjolan kecil di sekitar bekas bisul pertama. Saya obati lagi. Hilang. Tapi, bisul kemudian muncul di tempat lain yaitu di betis kanan belakang dan belikat kanan. Bekas bisul pertama di paha kanan belakang belum hilang. Bisul pertama muncul awal Desember 2016.

Sama dengan bisul pertama, bisul di belikat juga hitam lebam dan dikelilingi oleh bisul-bisul kecil. Sudah seperti galaksi yang mengelilingi Matahari.

“Untunglah Bapak orang yang tidak mudah putus asa,” kata Bu Haji Emun, yang sudah belasan tahun membantu saya menghadapi serangan santet yang bertubi-tubi. Hari itu (11/5-2017) saya memutuskan ke rumah Bu Haji di Kabupaten Pandeglang, Banten. Soalnya, bisul-bisul itu, terutama yang di belikat gatal bukan main. Gatal segatal-gatalnya.

Biasanya gatal datang setelah pukul 00.00 dan menjelang subuh. Digaruk dengan kuku nyeri. Digaruk dengan handuk kecil panas. Untuk mengatasinya saya oles dengan alkohol. Ampun …. perihnya bukan main. Sangat perih.

Bu Haji benar karena hanya kesabaran yang bisa membuat saya tidak putus asa biar pun serangan terus-menerus. Pada mulanya santet yang ditujukan ke saya adalah bagian dari santet ke putri saya yang dijadikan tumbal (wadal) untuk pesugihan. Yang memelihara pesugihan harus memberikan 17 nyawa. Putri saya nomor 9 dan saya nomor 10.

Syukurlah. Korban berbalik karena yang jadi ‘tumbal’ justru yang memelihara pesugihan dan saudaranya. Nah, rupanya ada di keluarga mereka yang tidak menerima ‘bencana’ itu dan balik menyerang saya. Belakangan diketahui ternyata orang itu pun pemuja setan juga dengan memelihara makhluk jelmaan monyet untuk mencari kekayaan yang disebut nyupang.

Yang nyantet sekarang ibarat mendayung perahu, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Selain melampiaskan kekesalannya juga sekaligus menjadikan saya sebagai tumbal. Ini yang berat karena orang itu juga kolaborasi dengan dukun santet untuk menyerang saya.

Banyak komentar yang saya terima kalau saya ceritakan hal yang saya alami. Dari 10 yang mendengar cerita saya 8 akan mengejek, mencaci, mencibir, dst. Maka, belakangan saya tidak mau lagi bercerita. Satu hal yang mungkin menghibur saya adalah bahwa yang dijadikan tumbal justru orang pilihan dari berbagai aspek. Tapi, saya tetap menjalankan ibadah, terutama yang sunat, walaupun itu salah satu pertimbangan memilih saya dan putri saya jadi tumbal.

Berkat serial tulisan di Kompasiana sudah belasan yang meminta bantuan saya untuk membawa mereka ke Bu Haji Emun. Cuma, ada juga yang pura-pura mau berobat ternyata mau menguji ilmunya. Ini konyol karena Bu Haji tahu persis apa maksud orang-orang yang datang.

Yang mau menguji ilmu itu seorang laki-laki usia 30-an yang memberikan alamat lengkap di Kota Bandung, Jawa Barat. Dia minta bantuan saya karena pacarnya dilarikan orang dan ‘disimpan’ di ‘orang pintar’ di Banten.

Untulah Bu Haji Emun dan Pak Ajie di Cilegon, Banten (ini juga yang membantu saya sejak awal saya mengetahui disantet). Bertahun-tahun sebelum saya ke Banten rupanya penyakit yang saya derita bukan medis belaka, tapi karena santet dengan simptom medis. Misalnya, sakit kepala, leher tegang, dll. Obat-obatan medis sama sekali tidak mengatasinya sehingga saya mencari cara lain tapi tetap dengan cara-cara yang masuk akal.

“Nah, ini dia,” kata Bu Haji Emun sambil menunjukkan benda-benda yang dapat di sekitar bisul. Ada gabah dan pecahan beling. Bukan hanya itu. Di mata bisul utama yang di belikat kanan Bu Haji menarik seekor serangga lebih besar sedikit dari lalat.

Bangun pagi hitam lebam di paham kanan belakang dan benjolan-benjolan lain hilang. Hanya ‘satelit’ bisul di belikat kanan yang masih bercokol, tapi tidak gatal lagi (Kompasiana, 12 Mei 2017). *

Tinggalkan Balasan