Seri Santet #29 – “Kalau Sudah Main Laut, Taruhannya Nyawa, Pak.”

Sosbud170 Dilihat

Sudah dua puluh tahun lebih penulis menghadapi serangan berupa santet, tapi sampai hari ini tidak ada jawaban yang pasti mengapa saya dan anak-anak saya dijadikan tumbal atau wadal untuk pesugihan.  Yang terjadi adalah saya terus-menerus jadi sasaran santet.

Saya tidak pernah mengganggu atau mengusik mereka. Tidak punya utang. Tidak ada masalah apapun. Hanya saja, seperti dikatakan Bu Haji, di Pandeglang, Banten, salah satu dari beberapa orang yang membantu saya, “Bapak dipilih karena baik.” Di satu sisi memang kabar gembira, tapi di sisi lain justru jadi beban karena dijadikan pilihan sebagai tumbal. “Kalau Bapak tidak rajin salat malam dan puasa senin-kamis, mungkin Bapak kesini pakai kursi roda,” kata Bu Haji.

Derita fisik dan psikologis sudah tidak bisa dihitung baik karena sakit maupun kehancuran usaha karena jadi korban pamuragan (tanah kuburan yang dikirim ke tempat usaha untuk menghabisi harta atau nyawa atau dua-duanya). Maksud hati meminta doa dan dukungan, tapi dari 10 orang yang mendengar cerita saya 8 di antaranya justru mengejek, mencaci dan menghina: ada yang menyebut saya orang bodoh karena percaya pada tahayul, ada juga yang menyebut saya musyrik, ada pula yang menyebut saya tidak taat, dll.

Walaupun serangan bak mitraliur, alhamdulillah, saya dan anak saya lolos sebagai tumbal dengan imbalan kematian di pihak yang menjadikan saya dan anak-anak sebagi wadal. Ternyata kematian di pihak sana tidak menyurutkan upaya mereka menghabisi saya dan anak.

Serangan yang datang akhir-akhir ini bagaikan ‘senjata pamungkas’ karena yang diserang bagian-bagian vital di tubuh, terutama bagian kepala. Beberapa hari belakangan ini kepala saya sakit bukan alang kepalang. Kepala serasa diperas. Punggung gatal.

Saya coba mengontak Pak Ajie di Cilegon, Banten. “Benar, Pak, ada lagi kiriman.” Ini bunyi pesan singkat Pak Ajie. Kiriman yang dimaksud adalah benda di dalam tubuh yang dikirim secara gaib oleh dukun santet.

Karena tidak kuat lagi menahan nyeri di kepala saya pun menjumpai Pak Ajie (19/1-2018). Sambil ngobrol Pak Ajie ‘menerawang’ badan saya. Sambil mengernyitkan dahi Pak Ajie menyebutkan ada dua benda padat di kepala dan ada dua pula di punggung, “Seperti binatang hidup,” kata Pak Ajie.

Setelah meramu dedaunan sebagai alat, Pak Ajie pun menarik benda di punggung. “Wah, ini kaki kepiting,” ujar Pak Ajie sambil memperlihatkan benda yang baru dia tarik. Ternyata ada dua.

Menurut Pak Ajie, kalau sudah pakai laut begini (maksudnya menggunakan binatang dan tumbuhan laut yang dikirim) taruhannya nyawa.  Saya hanya pasrah dan memohon kepada-Nya agar terhindar dari perbuatan orang-orang musyrik.

Benda yang ditarik bagian dari kaki sejenis kepiting atau binatang laut lain. Terasa bau amis dan busuk.

Pak Ajie melanjutkan ‘pencarian’ benda di kepala. Benda-benda itu dikirim secara gaib setelah dijadikan secam jelly (proses ini dikenal sebagai dematerialisasi) agar bisa masuk ke tubuh. Di dalam tubuh jelly bekerja seperti benda asli yang menyebabkan kesakitan dan efek lain yang diharapkan oleh yang membayar dukun mengirim benda-benda tsb.

Benda-benda itu lolos dari rontgen. Ketika Jelly ditarik langsung berubah wujud seperti benda sebelum di jadikan jelly. Dari kepala Pak Ajie mengeluarkan dua buah paku kecil kira-kira 2 cm. Paku ini didorong terus akan menembus tengkorak kepala. Itulah yang membuat rasa nyeri di kepala.

Ini memang tidak masuk akal: mencari kekayaan (dikenal sebagai pesugihan) dengan cara bersekutu dengan makhluk halus yang dikenal luas sebagai tuyul, babi ngepet, nyupang dan buto ijo. Makhluk inilah yang ‘mencari’ uang yang kemudian diserahkan ke orang yang memelihara pesugihan.

Pesugihan jadi pilihan setengah orang untuk meninggikan derajat sosial yang juga tidak masuk akal mereka menempatkan diri sebagai ‘dewa kebaikan’ yang dengan mudah memberikan bantuan dalam berbagai. Tapi, tidak perlu berdecak kagum karena bantuan itu akan ‘ditarik’ kembali oleh makhluk yang mereka pelihara (Kompasiana, 21 Januari 2018). *

Komentar:

Efa Butar butar (21 Januari 2018) Amang, sudah bagaimana kabar? Antara percaya tidak percaya sih sebenarnya dengan hal seperti ini, tapi semoga Amang lekas sembuh yaa. Keluarga tetap diberi kesehatan dan dijauhkan dari pikiran-pikiran orang yang ingin menjahati.

Syaiful W. HARAHAP (21 Januari 2018) @Efa, terima kasih …. yg amang alami kan fakta. Memang, banyak yg tdk percaya. Silakan saja, tapi jangan mengejek orang percaya apalagi yg mengalami …. Salam ….

Tinggalkan Balasan