Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Rasanya siapa pun yang mampir ke Yogya akan selalu berkunjung ke sini selain ke beberapa tempat wajib lainnya seperti Malioboro atau Tamansari. Belum puas rasanya ke Yogya kalau tidak ke Kraton.
Pagi itu, saya kebetulan mampir sambil dan duduk di bawah sebuah pohon di dekat bangsal Ponconiti. di Pelataran Kamandungan Utara. Saya tidak tahu nama pohon ini, tetapi mungkin juga pohon Keben karena Pelataran Kamandungan Utara ini juga terkanal dengan Pelataran Keben. Saya duduk di situ sejenak beristirahat karena telah berjalan cukup jauh dari Alun-Alun Selatan terus ke Balai Magangan di sebelah selatan Kraton dan kemudian mengitari bagian timur di sepanjang tembok Kraton di Jalan Ksatryan dan menuju pelataran ini mellalui Jalan Kemitbumen. Oh yah dua buah gapura atau pintu masuk ke pelataran ini disebut juga Regol atau Pintu Keben. Di sini kendaraan roda dua dan tiga juga harus dituntun persis seperti di Magangan.
Sambil beristirahat, saya mulai melihat banyak wisatawan baik domestik dan sesekali mancanegara membeli tiket dan kemudian masuk ke Kraton melalui Regol atau Gapura Srimanganti. Ada juga rombongan anak sekolah berseragam putih merah yang dipimpin beberapa orang guru. Sebelum masuk ke kraton, mereka berbaris dahulu di lapangan ini.
Saya ingat sudah sering masuk ke dalam kompleks Kraton, baik melalui pintu yang di dekat Alun-alun Utara maupun melalui pintu di sini. Kraton Yogyakarta yang didirikan pada 1755-1756 oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwono I. Sejenak lintasan sejarah itu muncul kembali dalam ingatan ketika Kerajaan Mataram dibagi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti dan kemudian pada 7 Oktober 1756, Sultan mulai pindah ke kraton ini dan tanggal itu pula yang kemudian dijadikan sebagai hari lahir Yogyakarta.
Kraton yang sudah berusia lebih 266 tahun ini telah menjadi saksi sejarah yang panjang. Baik zaman kejayaan maupun sejarah kelam seperti peristiwa pada 1812 ketika terjadi Geger Spehi yang menyebabkan Kraton ini dijarah isinya oleh pasukan Inggris dan Spoy serta mengakibatkan HBII harus turun takhta dan kemudian diasingkan ke Penang. Ah, begitu rumitnya sejarah ketika kekuasaan kadang membuat manusia menjadi buta.
Saya kemudian teringat terakhir masuk ke bagian inti keraton Yogya ini beberapa saat sebelum pandemi bersama kerabat yang kebetulan datang ke Yogya. Sementara pernah juga masuk ke sini bersama teman yang kebetulan orang asing. Ketika itu setelah membeli tiket, kami disambut oleh seorang ibu berusia hampir 60 tahunan yang kemudian memandu dengan bahasa Inggris.
Hal pertama yang dijelaskan adalah tentang hiasan mirip topeng yang dipajang di tembok menghadap ke luar. Topeng ini berbentuk wajah raksasa dengan wajah kuning emas, mata melotot dalam keadaan marah lidah merah terjulur dan gigi taring yang menyeramkan.
“Ini adalah Kalamakara yang berfungsi untuk menolak bala,” demikian penjelasan ibu pemandu tadi sambil meminta kami untuk belok kiri dan mengikutinya memasuki pelataran Srimanganti. Di bagian barat pelataran Srimanganti ini ada sebuah bangsal atau bangunan berbentuk joglo yang terbuka alias tanpa dinding dengan tiang-tiang berwarna hijau. Ini adalah bangsal Trajumas di sini disimpan banyak koleksi alat musik tradisional seperti gamelan. Di sini disimpan Gamelan bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo. Menurut cerita kedua gamelan ini biasanya akan ditabuh di Masjid Gede Kauman selama 7 hari dalam menyambut Skatenan yang diselenggarakan sekitar bulan Maulud. Gamelan ini dipindahkan dari Kraton ke Masjid Gedhe dalam prosesi yang disebut Miyos Gongso.
Tepat di dekat bangsal Trajumas ini, diapit sepasang Meriam terdapat sebuah prasasti bertuliskan aksara Tionghoa dan terjemahannya dalam aksara Jawa. Konon prasasti ini merupakan persembahan masyarakat Tionghoa di Yogya atas penobatan Sultan Hamengku Bowono IX pada 1940 yang baru bisa diserahkan pada 1952. Sementara di dekatnya ada prasasti tambahan yang berupa terjemahan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris yang baru dibuat pada 2007.
Sementara di sebelah barat terdapat bangsal Srimanganti yang merupakan tempat diselenggarakan kegiatan budaya tradisional seperti wayang golek, wayang kulit, Wayang orang, gamelan. Uyon-oyon macapat dan juga tarian Jawa. Acara ini diadakan setiap pagi dari Selasa hingga minggu. Uyon-yo sendiri merupakan lagu gending-gending Jawa yang dibawakan oleh pesinden sementara macapat adalah pembacaan puisi dalam bahasa Jawa.
Di bagian selatan Pelataran Srimanganti ini, tepat di tengah ada lagi sebuah regol atau Gapura yang bernama Regol Donopratopo. Gapura atau pintu gerbang ini sangat megah dengan tiang besar gaya Eropa dan di bagian atas adea hiasan naga yang merupakan sengakalan memet yang. Sengakalan memet di bagian atas terdapat “tangan yang memegang wengkon (lingkaran) dan bola dunia dengan simbol keraton Yogyakarta”, hal itu dapat dibaca “jagad ing asta wiwara dhatulaya (narpati)” atau angka tahun Masehi 1921 yang merupakan tahun penobatan Sultan Hamengku Buwono VIII.
Selain tulisan aksara Jawa juga ada angka 1928. Ternyata angka 1928 ini merupakan tahun pemugaran Regol Donopratopo ini. Ternyata ada makna yang tersirat dalam kemegahan Regol Donopratopo ini, yaitu simbol bahwa raja harus dapat memberikan kebijaksanaan dalam setiap keputusannya.
Di sebelah kanan regol ini ada pos penjagaan prajurit dan juga sepasang arca raksasa Dwarapala. Arca sebelah kanan atau timur disebut Cingkorobolo yang melambangkan kebaikan, sedang sisi lainnya di sebelah barat disebut Boloupoto yang melambangkan kejahatan. Wah keren sekali penampilan Regol yang menghubungkan Pelataran Srimanganti dan Pelataran Kedhaton.
Sesampainya di pelataran Kedathon, kembali kami diperkenalkan dengan deretan bangsal dan bangunan yang lumayan banyak dan hanya beberapa yang besar dan penting yang saya ingat Namanya. Antara lain adalah Bangsal Kencana yang merupakan bangunan paling besar dan luas di pelataran ini. Bangsal ini digunakan untuk menyambut tamu agung dan melaksanakan upacara adat. Di depannya ada tratag yang merupakan tempat diadakan tarian untuk menyambut tamu.
Disebelah kanan Bangsal Kencana terdapat Gedhong Jene yang berwarna kuning. Gedung ini merupakan tempat kediaman Sultan dan keluarganya dan sudah digunakan sejak Sultan HB I sampai IX. Namun Sultan HB X sendiri tinggal di Kraton Kulon sehingga Gedung Kuning ini digunakan untuk menyambut tamu kenegaraan. Gedung Kuning ini tampak megah dari luar namun pengunjung tidak diperbolehkan masuk.
Kami terus berjalan di pelataran dalam Kedhaton ini dan melihat beberapa bangsal lagi, ada yang bentuknya segi delapan dan tampak sangat cantik dan ternyata bernama Bangsal Mandalasana. Bangsal ini sangat indah karena memiliki atap bersusun yang sekilas mirip masjid atau bahkan kelenteng. Sekilas, ada pengaruh Tiongkok pada bangsal ini. Selain itu tiangnya ada delapan dan dilengkapi pagar yang terbuat dari kayu dengan ornamen cantik serta dicat kombinasi warna hijau kuning biru dan pink yang serasi. Di bagian atasnya juga ada kaca patri dengan ornamen alat-alat musik. Ternyata di sini juga sering digelar pertunjukan musik. Bahkan bila menyambut tamu agung, dimainkan juga gamelan Kyai Guntur Laut peninggalan dari jaman Majapahit yang sudah berusia lebih 700 tahun. Tidak jauh dari bangsal ini, tepat di depan bangsal kencana ada dua buah bangsal kotak yang digunakan untuk tempat istirahat para enari. Satu untuk lelaki yang disebut bangsal kakung, dan satu untuk perempuan.
Masih ada lagi beberapa bangunan yang tidak kalah cantik seperti Gedhong Purworetno yang berapad di sebelah utara tepat di belakang Regol Danuprapoto yang digunakan sebagai kantor Sultan HB X, dan juga sepasang gedung di bagian timur yang bernama Gedhong Gongso yang digunakan untuk menyimpan alat music dan gamelan kraton.
Di sebelah selatan Bangsal Kencana, juga terdapat Bangsal Manis yang digunakan untuk tempat jamuan makan menyambut tamu. Di sini ada sebuah pagar dengan sengkalan memet yang berbentuk naga warna keemasan. Ornamen tersebut dibaca Werdu Yaksa Naga Raja yang berarti tahun 1853 Jawa atau 1923 Masehi.
Bila kita terus ke selatan, ada lagi sebuah Regol, yaitu Regol Magangan yang sempat saya lihat tadi pagi dari Pelataran Magangan yang ada di sebelah selatan Pelataran Kedhaton ini. Namun bagian yang tidak kalah penting adalah bagian museum-museum di kraton yang terdapat di sebelah timur dari pelataran Kedaton ini. Untuk masuk ke sini kita melewati sebuah gapura yang megah dan sampai di sebuah taman yang indah dengan banyak kursi untuk bersantai. Gedung pertama yang kita temui adalah Gedhong Kaca atau Museum Hamengku Buwono ke IX yang sangat indah.
Di depan gedhong ini ada patung Sultan HB IX dan juga prasasti dengan sengkalan memet bergambar sepasang naga dan lambang kraton Yogya. Menurut ibu pemandu sengkalan memet ini dibaca seperti pada prasasti yaitu Kaheksi Nagaraja Manjing Kadhaton yang berarti Dewa Naga Memasuki Kraton dan menandai Tahun Masehi 1992, yaitu tahun diresmikannya museum ini. Di bawahnya masih ada kata Panca Sembah Dewa Naa yang sayangnya saya kurang tahu dan tidak sempat bertanya maknanya.
Sudah lumayan lelah kami melihat bagian dalam kraton dan museum-museumnya. Setelah sejenak beristirahat, sang pemandu mohon pamit dan kami melanjutkan sendiri perjalanan ke museum batik, museum kristal dan keramik serta sempat mengintip Kompleks Kesatriyan yang dulunya merupakan tempat tinggal putra raja yang belum berusia 12 tahun. Karena sultan tidak mempunyai putra tempat ini sekarang digunakan untuk menyimpan koleksi lukisan.
Di depan pintu gerbang Kompleks Kesatriyan ada sepasang beduk besar dan kentongannya yang konon sudah berusia lebih dari 200 tahun.
Sejenak lamunan saya berakhir ketika seseorang memanggil-manggil nama saya. Rupanya tetangga di sebelah rumah yang mau bertugas menjaga pesta perkawinan di Rotowijayan. Kami kemudian berjalan kaki menuju Rotowijayan dan sempat melihat sebuah monument berbentuk Jam. Di atas jam tersebut ada lambang Kraton Yogya dan dibawahnya pada prasasti tertulis dalam aksara Jawa, Indonesia, Tionghoa dan Inggris.
“Persembahan dari paguyuban para pegawai pemerintahan dan masyarakat Tionghoa yang bertempat tinggal di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat dalam rangka memperingati hari penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII tepat dua windu, pada hari Senin Wage, tanggal 29 bulan Jumadiawal Tahun Alip, 1867 atau 17 Agustus 1936.”
Tugu Jam ini bernama Ngejam Keben, ujar tetangga itu sambil terus mengajak saya menuju tempat pesta pernikahan salah seorang keponakan sultan. Saya akhirnya terus berjalan melewati Rotowijayan dan melanjutkan jalan-jalan menuju ke Alun-Alun Utara.