Negara Brunei Darussalam merupakan sebuah negara kecil berbentuk Kesultanan Islam Melayu yang bahkan sejak 2014 lalu telah menerapkan Syariat Islam. Namun sebagaimana negeri-negri di kawasan Asia Tenggara, peran etnis Tionghoa di negara mini ini juga cukup penting, terutama dalam bidang bisnis , perdagangan dan perekonomian.
Pagi itu, dari hotel di kawasan jalan Tasek saya kembali berkelana dengan berjalan kaki menjelajah kawasan ‘Bandar’ atau pusat kota Bandar Seri Begawan yang juga sering disingkat BSB.
Dari sini kita menyebrang jalan dan kemudian melewati jalan utama yaitu Jalan Sultan Omar Ali Syaifuddin. Kali ini kita melewati bangunan yang selalu tertutup yaitu Lapau, yang merupakan parlemen atau Gedung DPR negara Brunei Darussalam. Di depannya ada sebuah gambar bertuliskan Adil, Laila dan Bahagia.
Saya terus berjalan dan kemudian melewati Kantor Pos Besar dan sampai di kawasan pertokoan dimana cukup banyak toko-toko yang menyandang nama-nama Tionghaa. Selain itu ada juga beberapa Restoran Cina yang non halal dimana diberi semacam peringatan bahwa orang muslim tidak diperkenankan makan di tempat ini.
Kalau kita berkunjung ke Yayasan Sultan Haji Hasanal Bolkiah, maka Departemen Store dan juga Super Market terbesar di Bandar juga bernama Hua Ho Departemen Store dimana kalau menjelang Tahun Baru Imlek, banyak hiasan bernuansa Cina seperti lampion merah dan naga menghiasi toko toko ini,
Bahkan di dekat Yayasan, tepatnya di Jalan Robert no 72, ada sebuah gedung berlantai 4 atau lima yang merupakan Markas Dewan Perniagaan Tionghua yang ditulis dalam Huruf Jawi, dengan terjemahan Bahasa Inggris Chinese Chamber of Commerce dan juga ada tulisan dalam aksana Hanzi. Di lantai 2 gedung ini juga ada sebuah tempat parktik dokter bernama Klinik Kuin Mee.
Saya terus berjalan menyusuri Tamu Kianggeh atau pasar tradisional yang paling terkenal di Bandara Seri Begawan dan tepat di ujung jalan terdapat sebuah kelenteng tua yang cukup unik.
Sekilas tidak terlalu besar dengan atap khas model Cina yang berwarna hijau. Sementara dinding kelenteng bewarna merah di bagian atas dan putih di bagian bawah. Ada beberapa jendela besar dan kecil berbentuk segi empat dan segi enam. Di samping itu ada juga sebuah pintu dari kayu berwarna merah yang berbetuk bulan. Sangat khas model bangunan Tiongkok.
Saya kemudian masuk ke halaman kelenteng. Tepat di depan gerbang utama ada sebuah hiolo atau tempat membakar dupa yang dihiasai sepasang naga berwarna kuning emas.
Seluruh tembok kelenteng berwarna merah dan hanya atap dan genteng yang berwarna hijau dengan hiasan lampion kertas berwarna merah. Di atas pintu utama ada tulisan dalam aksara mandarin yang juga dominan warna merah. Singkatnya warna merah menguasai kelenteng di Bandar Seri Begawan ini.
Siang itu, kelenteng tanpa sepi sehingga saya tidak jadi masuk dan hanya mengintip sejenak ke dalam. Tampak deretan patung-patung dewa yang kuning keemasan diiringi dengan asap hio yang semerbak. Baru kemudian seorang teman memberi tahu bahwa nama kelenteng ini adalah Teng Yun Temple yang berarti Kelenteng Awan Terbang.
Menurut cerita kelenteng yang ada sekarang ini sudah ada sejak tahun 1960 an sementara kelenteng Teng Yun yang asli di bangun di sekitar Jalan Sultan di dekat Sungai Brunei pada 1918.
Yang jelas etnis Tionghoa merupakan kelompok etnis terbanyak setelah etnis Melayu dan ada sekitar 15 % dari sekitar 400 ribu penduduk Brunei. Bahkan dalam kesempatan lain berkunjung ke Brunei Saya sempat melihat sebuah gapura yang dipersembahkan oleh masyarakat Tionghoa Brunei dalam rangka Ulang Tahun Sultan Bolkiah yang ke 69 pada tahun 2015.
Jadi istilah Tionghoa ternyata tidak hanya dipakai di Indonesia, melainkan juga di Brunei.
Bandar Seri Begawan, 2015