Setiap pulang kampung pasti pula harus ke tempat ini, kangen tentang ingatan ingatan yang tak bisa di lupakan, tentang cerita magis kisah momolo, kubah masjid di desa Rajawetan kerap di sebut Momolo, desain masjid dengan atap susun ala masjid di Kudus dan di lengkapi kubah di puncaknya.
Cerita seru adalah jangan pernah menunjuk jari ke arah momolo karena bisa menyebabkan jari telunjuk bengkak atau di istilah kami adalah bubuyuteun. Dahulu sekali, saat usia penulis masih kecil, tuah momolo atau kubah masjid seakan cerita legend, siapa mau deh jari bengkak gegara menunjuk ke arah kubah. Pengalaman kocak yang tak pernah terlupakan.
Properti masjid yang ikonik adalah tombak, setiap pelaksanaan Jum’atan tombak selalu di gunakan untuk mengiringi khatib naik mimbar, konon katanya untuk tombak adalah upaya berjaga jika satu ketika penjajah Belanda menyerang jamaah.
Meski Belanda sudah angkat kaki dari bumi nusantara namun kehadiran tombak tetap di lestarikan saat prosesi Jum’atan. Ada juga bedug yang hadir menyemarakan masjid, sebagai pertanda masuk nya waktu sholat di pukul lah bedug.
Keberadaan bedug di masjid relatif dipertahankan meski saat ini sound system telah digunakan, mungkin ini namanya kearifan lokal ala Nusantara. Bedug the best lah, apalagi saat lebaran tiba, dipukul bertalu talu dan suaranya khas banget.
Bedug di gunakan ketika sholat Jum’at akan di mulai, begitu pun fungsi bedug akan di gunakan sebagai penanda berakhirnya waktu puasa di bulan Ramadhan, beberapa tahun lalu ketika ada orang meninggal dunia, bedug pun di gunakan dengan bunyi irama tertentu sebagai pemberitahuan bahwa di Rajawetan ada yang meninggal dunia.
Saat ini masjid Nurul Huda mengalami renovasi besar besaran, tak ada lagi bangunan dengan gaya klasik atap susun dan juga momolo yang menjadi ciri khasnya, bangunan Nurul Huda era modern dengan bangunan tambahan lantai dua.
Namun apa pun bentuk dari masjid Nurul Huda tak akan bisa menghapus kenangan indah tentang masjid yang terletak di tengah tengah desa yang berdekatan dengan lapangan voli dan juga kantor kepala desa.
Era 80 an hingga 90 an, yang mengurus masjid di sebut pak Lebe, sebuah jabatan yang melekat hingga seumur hidup nan nantinya akan di gantikan jika yang bersangkutan meninggal dunia. Tapi kini peran DKM pun cukup memberi pengaruh besar dalam pengorganisasian masjid Nurul Huda.
Masih terkenang masa masa mengaji di masjid dengan nyala sinar lampu petromak karena listrik PLN belum masuk ke desa. Rasanya baru kemaren mengeja huruf hijayiah dengan metode tangwan, tangwin, tangwun, sesekali melakukan kebandelan di masjid saat sholat berjamaah.
Beribu episode kehidupan ternyata di mulai dari jejak jejak berada di masjid Nurul Hudab elajar mengaji berkelompok, belajar sholat berjamaah dan acap juga membuat pusing pengurus masjid karena bermain di masjid. Bila bandel mah mohon maaf khan masih anak anak, masjid Nurul Huda memang keren banget dah.
Semoga masjid Nurul Huda tetap eksis di desa Rajawetan, jika kelak bangunan hasil renovasi telah usai, kemegahan masjid bukan bangunan fisik semata namun bisa di gunakan untuk kegiatan keagamaan dan nantinya akan menghasilkan sumber daya manusia yang mumpuni agar tetap menjaga mulia nya agama Islam.
Oke deh itulah cerita Penulis tentang masjid Nurul Huda desa Rajawetan di mana itulah masjid yang pernah menjadi saksi bisu betapa pernah di satu ketika Penulis bandel juga tuh di masjid, tapi bagaimana pun rasa kangen ke masjid Nurul Huda tak akan pernah usai.
Tunggu cerita lain dari Penulis tentang penjelajahan masjid masjid lainnya, semoga cerita tentang masjid masjid yang ada di nusantara dan pernah di singgahi Penulis memberikan manfaat bagi para pembaca,Insha ALLAH.