Guru Kampung Go Internasional

Humaniora0 Dilihat

Guru Kampung Go Internasional

Oleh: Jaka Afriana, M.Pd.

 

Jaka kecil ketika melihat pesawat terbang pasti akan berteriak, “tunggu… ikut… mau naik pesawat terbang”. Rasanya hal yang mustahil anak kampung akan naik pesawat terbang, jauh dari bayangan. Melihat pesawat terbang saja hanya lewat televisi maupun gambar. Namun didalam hati suatu saat saya akan naik yang namanya pesawat terbang. Tidak ada yang tidak mungkin ketika kita mau berusaha dan berdoa. Singkat cerita, Jaka yang tamatan STM telah melanjutkan pendidikan menjadi guru fisika di Universitas Tanjungpura Pontianak dan menjadi guru di SMP Negeri 6 Sambas yang terletak di daerah afirmasi alias kampung. Banyak guru yang mengaku dari kampung, kampung yang dimaksud adalah tempat tugas diujung perbatasan kecamatan dengan kondisi jalan rusak belum tersentuh aspal.

Sejak bertugas di kampung, tidak pernah dipanggil pelatihan maupun diikutsertakan dalam lomba.  Berangkat dari sini, saya mencari cara agar bisa ikut pelatihan atau kompetisi dari jalur online. Tahun 2011 berhasil menjuarai Lomba Karya Ilmiah Guru tingkat Provinsi. Lanjut 2013 terpanggil Lomba Kreativitas dan Inovasi  Guru IPA oleh PPPPTK IPA Bandung, nah disini saya pertama sekali naik pesawat terbang. Terbukti dari sebuah mimpi dari kecil yang menjadi nyata. Hingga di tahun 2014 saya mendapatkan beasiswa S2 dari P2TK Dikdas Kemdikbud. Setelah tamat kuliah di UPI Bandung, guru kampung mendapatkan predikat Guru SMP Berprestasi Nasional di 2018.

Pertengahan Januari 2019, guru kampung di SMS oleh Ibu Isti Sariada dari Kemdikbud. Beliau memberitahukan bahwa saya susah sekali di telpon. Sehingga beliau memberitahu lewat SMS bahwa saya terpilih mengikuti Program Pelatihan Guru keluar Negeri. Begitu saya baca SMS, seketika saya telpon balik. Dan alhamdulillah… nikmat mana lagi yang engkau dustakan. Saya masih merasa mimpi akan berangkat ke China tepatnya ke Provinsi Jiangsu. Alhamdulillah… paspor saya sudah disiapkan sejak bulan Desember lalu saat liburan ke Kuching-Malaysia (±5 jam perjalanan darat dari Sambas). Secara tak sengaja seperti sudah ada tanda-tanda paspor akan digunakan lagi entah kemana dalam waktu dekat.

Selama di Xuzhou, kami menginap di dormitory kampus China University of Mining and Technology (CUMT). Sungguh canggih sistem perkuliahan disana. Pembelajaran siswa SD, SMP dan SMA juga tak kalah canggih, benar-benar memanfaatkan teknologi terkini. Karakter sangat diutamakan dalam proses pembelajaran ditambah disiplin ketat. Wajar anak-anak di China sejak kecil sudah diajar berkompetisi. Peringkat 10 besar setiap lulusan akan berpengaruh terhadap pilihan sekolah lanjutan dan perguruan tinggi hingga pekerjaan nantinya. Anak-anak patuh terhadap orang tua dan laoshi (guru) sangat di hormati. Setiap sekolah punya ciri khas khusus, membuat anak-anak patuh dan taat karena kebudayaan menjadi pemersatu mereka.

Tiga minggu berada di negeri panda tak perlu khawatir masalah makanan, di kampus telah tersedia halal foods. CUMT salah satu kampus level internasional yang menyediakan beasiswa bagi mahasiswa luar negeri. Banyak mahasiswa muslim dan nonmuslim dari luar China yang mendapatkan kesempatan menimba ilmu. Hal aneh bagi saya ketika saya ke minimarket sekitar kampus ingin membeli gula. Saya tanyakan kepada mahasiswi disamping saya dengan Bahasa inggris seadanya, “excuse me, do you know sugar? where is?”. Sangat mengejutkan sekali, mereka tidak mengerti Bahasa Inggris. Padahal dinegaraku, anak SD saja sudah belajar itu. Kejadian seperti ini juga kami alami saat berbelanja dimana saja, penjual tidak memahami Bahasa Inggris. Komunikasi hampir semua mengunakan Bahasa Mandarin, tawar menawar harga pakai isyarat jari atau lebih manjur pakai HP ditranlaste Bahasa Mandarin baru bisa bertransaksi. Begitulah negara China cinta akan Bahasa mereka, orang lain harus belajar Bahasa mereka bukan malah sebaliknya. Sungguh kearifan lokal yang selalu dijunjung tinggi dan kemandirian suatu bangsa.

Bagi saya Indonesia pun tak kalah hebatnya, sama-sama punya sekolah hebat dan canggih seperti China. Punya daerah wisata yang tak kalah menarik di level dunia. Kebudayaan juga masih dijunjung tinggi, ditempat saya masih ada peninggalan kerajaan sambas. Keraton Sambas dan keturunan raja sambas masih terpelihara. Itu juga menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya guru kampung.

Setiba pulang ke kampung, saya terus membakar semangat para guru di daerah.  Guru-guru kita tak kalah hebatnya dari negara China, tanpa teknologi canggih pun guru Indonesia mampu mengajarkan pembelajaran STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) di kelas. Guru kampung seperti saya tak mau kalah, STEM sudah saya ajarkan di kelas. Saya tulis buku berjudul “STEM: sebuah pengantar” di sela-sela waktu 21 hari di Xuzhou. Buah manis guru kampung yang pantang menyerah dan terus belajar. Semua berawal dari mimpi yang pelan-pelan berubah jadi nyata. Jangan takut untuk bermimpi, bermimpilah selagi bisa, berbuat lebih melalui tindakan dan berdoa semoga alam semesta mendukung mengubahnya jadi nyata. Amin