Cerpen: Kematian Ayah

Cerpen0 Dilihat

“Kalian bisa pulang sekarang?” Tanyaku via telepon kepada ketiga anakku. Mereka tidak tinggal serumah bersama kami. Masing-masing telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri.

Si sulung sudah lama merantau di negeri orang. Anak tengah terdiam di pulau seberang. Sementara bungsu, hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Entah, kami tidak pernah diberitahu di mana posisi tepatnya si bungsu tinggal.

Aku menemani ayah di rumah bersejarah ini. Tak seberapa besar, tetapi cukup luas untuk ukuran rumah di kampung halaman. Di sini, kami berjuang melawan kemiskinan, hingga sekarang bisa menyekolahkan mereka bertiga. Di rumah ini banyak kenangan. Saksi hidup jalinan kisah cinta kami.

Kami menghabiskan masa tua di sini. Ayah menyibukkan diri merawat burung dan bercocok tanam di pekarangan rumah. Dia suka sekali menanam bunga mawar.

Sementara aku, menjahit pesanan baju tetangga, yang semakin hari kurasa semakin banyak saja. Aku tidak pernah sengaja bekerja menjadi penjahit pakaian. Saat itu, ketika kulihat baju Bu Budi, tetanggaku, robek parah, kutawarkanlah bantuan memperbaiki sekaligus mempercantik baju itu. Respon Bu Budi saat melihat hasilnya puas sekali. Mungkin, dialah yang menyebarluaskan berita itu ke telinga warga lain.

“Maaf Bu, Andi belum bisa pulang. Masih ada proyek yang harus selesai minggu ini” Jawab si sulung. Dia sangat sibuk dengan usahanya. Di luar negeri, dia kaya sekali. Bekerja di perusahaan konstruksi, dia sering memenangkan lelang proyek pembangunan. Selain itu, dia investasi saham di mana-mana. Sebulan sekali dia mengirim uang kepada kami. Lumayan untuk makan sehari-hari.

“Maaf Bu, Susi ada kerjaan. Tidak bisa pulang minggu ini” Kata si bungsu. Aku sebetulnya bingung kerjaannya apa. Dia tidak cerita, hanya memberi kabar bahwa keadaannya baik-baik saja. Uang satu juta yang dikirimnya akhir bulan, meyakinkanku bahwa pekerjaannya bukan biasa-biasa saja. Buktinya, sebanyak itu mampu dia kirim. Tetapi, aku tetap masih penasaran.

“Uhukk-uhukk” Batuk ayah semakin kencang. Ayah kembali mengeluh. Dia elus-elus dadanya berulang kali. Sesekali, dahinya mengerenyit, tanda kesakitan. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuh.
“Kita periksa ke dokter aja ya Yah?”
“Tidak perlu Bu. Gimana anak-anak? Bisa pulang?” Dia terus bertanya di tengah usahanya menahan sakit.

Ayah pernah divonis sakit jantung oleh dokter. Ketika itu, dia merasakan sulit bernapas dan nyeri di dada. Tepat setelah mengetahui kabar, Dodi si anak tengah, tertangkap tangan oleh polisi sebagai pengedar sabu. Dodi pun dihukum tiga tahun penjara.

“Andi belum bisa pulang Yah. Dodi belum dapat izin mengunjungi orangtua. Susi, sama dengan Andi” Kataku perlahan. Aku tidak berharap jawabanku mengecewakannya.

Ayah menarik napas dalam-dalam. Dari wajahnya, dia seperti ingin menumpahkan keluh kesah. Suatu kali, dia pernah berkata, betapa menyesal punya anak-anak seperti mereka.

“Dodi itu ngikut siapa ya Bu? Bisa-bisanya dia mempermalukan keluarga kita dengan berjualan sabu. Ayah malu sama tetangga. Di acara keluarga, ayah tidak berani datang. Pasti mereka tanya bagaimana kabarnya”

“Susi apalagi. Anak macam apa dia. Ditanya kerja apa, gag pernah jawab. Ayah tidak butuh uang kirimannya. Ayah juga tidak tahu itu halal apa tidak. Kita ini dianggap apa sebetulnya sama dia!”

“Andi juga. Walaupun sukses di negeri orang, ayah sama sekali tidak bangga bu. Mau dia kaya sekalipun, tetapi kalau jarang berkunjung ke rumah, buat apa? Uang bisa dicari kapanpun. Tetapi, kehadiran lebih penting bagi Ayah”

Ayah jengkel. Sepengalaman dia membesarkan anak-anak, dia merasa sudah mengajarkan bagaimana cara menghormati dan membalas budi orangtua. Dia sudah memberikan yang terbaik bagi mereka. Bahkan, dia habis-habisan rela tidak beli apa-apa baginya dari penghasilan setiap bulan, yang penting kebutuhan makan dan sekolah anak tercukupi.

“Sudah Yah, jangan terus-terusan dipikir. Nanti ayah sakit lagi. Suatu saat mereka pasti pulang kok” Kataku sedikit menghibur hatinya. “Ayah istirahat saja ya” Segera kubersihkan tempat tidurnya, kunyalakan AC, dan kusiapkan mantel terbaik yang kujahit khusus untuknya.

“Tapii….” Ayah masih bertanya-tanya.

Suatu hari, kami kedatangan Pak Pos. Aku heran, tumben ada yang mengirim surat. Di era serba praktis sekarang, masih ada yang mengirim surat. Anakku bertiga kutanya, apakah mereka yang mengirim. Tidak ada yang menjawab iya.

Ayah menerima surat itu. Nama pengirim di sampul surat yang berwarna coklat itu sama sekali tidak dikenal. Sahabat bukan, keluarga bukan. Karena penasaran, ayah membukanya. Dibacanya surat itu.

Yth. Bapaknya Susi
…Tolong Bapak ajari anak itu. Ajari moral dan akhlak. Jangan suka merebut suami orang. Saya dan suami saya selalu bertengkar karena anak bangsat itu.
Dia terus menggoda suami saya, sampai-sampai tidak pulang ke rumah. Tolong Bapak urus anak itu. Kasih dia pelajaran. Kerja yang benar, jangan morotin suami orang!
Kalau tidak Bapak urus, saya akan lapor polisi. Dia kutuntut sebagai perebut suami orang. Penghancur rumah tangga orang. Ingat itu. Seminggu saya tunggu!…

Seketika dada ayah terasa sangat nyeri. Dia berteriak memanggilku dari dapur.
“Ibu, ke sini cepat”
Napasnya tersengal-sengal. Keringat dingin kembali bercucuran. Dia seketika duduk lunglai di kursi tamu.
“Ayah kenapa?” Aku gelisah. Tangannya masih menggenggam surat itu. Kuraih dan segera kubaca. Aku terkesiap. Sementara ayah sudah pingsan.

“Kalian bisa pulang sekarang? Cepat. Kalian harus pulang. Ayah di rumah sakit. Ibu tunggu!”
Aku kembali menghubungi ketiga anakku. Kali ini dengan bernada marah. Aku meminta sungguh-sungguh mereka segera pulang. Seperti ada firasat, hidup ayah tidak lama lagi. Di kamar ICU itu, dia belum sadarkan diri sejak semalam berbaring lemah.

Hari kedua, ayah terbangun. Raut mukanya sangat pucat. Suaranya kecil, sayup-sayup terdengar. Selain minta makan, berkali-kali dia bertanya. “Mereka sudah datang?”

Andi mengatakan akan pulang. Dodi sudah dapat izin dari kepala penjara, karena alasan orangtua di rumah sakit. Sementara Susi, bilang besok sampai.

Tepat hari keempat, mereka lengkap tiba. Di pemakaman ayah. Ayah tidak tertolong lagi. Dokter angkat tangan. Selain jantung, ternyata kanker paru-paru yang baru diketahui saat itu memperparah keadaan.

Andi, Dodi, dan Susi saling berpelukan, menegarkan diri dari kesedihan. Helai demi helai tisu berjatuhan di sekitar pusara ayah.

Pipiku sama sekali tidak basah. Air mataku sudah habis. Empat hari merawat ayah di kamar, aku tidak hentinya berdoa bercucur tangis kepada yang Kuasa. Memohon belas kasihan, kesembuhan, dan pengampunan baginya.

Di tengah kepiluan, kudekati mereka. “Kalian tahu, ayah mati karena apa?” Kutanya mereka satu per satu. Kupandangi bola mata anakku itu, yang masih sayu dan belum kering benar. Suasana kehilangan sangat terasa di depan batu nisan ayah.

“Bukannya sakit jantung, Bu?” Jawab Andi perlahan.
“Bukan”
“Ayah mati karena kalian!”

Jakarta
13 Desember 2020

Tinggalkan Balasan