Cerpen: Maaf, Tak Ada Lagi Cinta di Antara Kita

Cerpen59 Dilihat

Awalnya, hubungan kita baik-baik saja. Cinta yang dibangun bermodalkan kepercayaan, kesetiaan, dan perjanjian, kuharap bisa berlangsung lebih lama hingga ke pelaminan. Kemudian langgeng sampai kematian.

Kau masih saja rutin mengingatkanku untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Tepat di mana waktu aku harus makan. Iya, kau tahu aku mengidap maag, di mana satu-satunya jalan terbaik mengobati hanya dengan makan teratur.

Setiap jam makan, kau selalu mengirim foto terbaikmu, dengan baju yang kusuka, lewat Whatsapp. Tak lupa, kau berikan kata-kata yang selalu menggoda dan menggairahkan nafsu makanku.

“Selamat makan, Sayang. I love u”.

Aku suka. Sangat suka. Tapi tidak lagi, semenjak kudengar kabar dari kedua orang itu. Dua sahabat dekatku.

***

“Yang, coba deh lihat itu” Kata Susi kepada pacarnya, sembari tangan meraih pipinya dan membelokkan ke arah yang dimaksudkan.

“Ada apa sih Yang, lagi enak nih.” Andi terpaksa mengikuti arah tangannya dengan kunyahan makanan yang tertinggal banyak di mulutnya.

“Hoeeekk” Andi muntah. Dia terkejut. Mulutnya menolak kelezatan pizza ber-topping daging itu.

“Itu beneran Nora?” Andi berbisik di telinga Susi. Siang hari itu, dengan tak sengaja mereka melihat Nora duduk bersebelahan dengan seorang lelaki paruh baya. Duduk tidak seperti rekan kerja ataupun saudara. Kesan mereka.

Susi mengedipkan mata beberapa kali. Seakan menolak untuk percaya. Matanya tertuju pada tangan Nora yang memeluk erat pinggang lelaki itu, sembari disandarkannya kepala di bahunya.

“Iya, itu Nora. Tapi, itu siapa?” Susi bertanya. Seribu tanya muncul di benaknya, tentang siapa lelaki itu. “Sepertinya, itu…, ah, aku tak mau berspekulasi. Kita awasi saja dari sini.” Susi berusaha membuang kecurigaan. Masih ada sedikit prasangka baik di hati, percaya bahwa itu bukan siapa-siapa.

Andi sontak menggapai telepon genggamnya, dan mengabadikan momen itu. Momen yang sahabat dekatnya pernah bilang bahwa sangat dibenci bila terjadi dalam percintaan.

Tak berapa lama, Nora dan lelaki itu meninggalkan kafe. Seperti detektif profesional yang dibayar, Susi dan Andi mengikuti. Perjalanan mereka terdeteksi mengarah ke hotel berbintang di kawasan bilangan mewah di ibukota ini. Mobil mereka terlihat memasukinya.

“Kau pikir ngapain ya mereka berdua di hotel ini? Budi harus tahu masalah ini.”  Susi dan Andi sepakat memberitahu Budi. Mereka tidak ingin sahabatnya terluka. Lagi. Tepat di malam itu juga, kabar detektif tersampaikan lengkap di tangan Budi, bersama foto sebagai barang bukti.

***

Keesokan harinya…

“Totalnya 250.000 Mbak, semuanya.” Kata kasir toserba kepada Nora. Terletak di bawah apartemen tinggalnya, Nora sering berbelanja di situ.

“Ini Mbak” Nora menyodorkan kartu kredit.

Srek… srekk… srekkk… Terdengar kasir menggesek kartu beberapa kali. “Maaf Mbak, kartu kreditnya tidak bisa digunakan.”

“Yang benar, Mbak?” Nora mengambil kartu debit dan menyodorkan kembali. “Coba pakai ini, Mbak”

Srek… srekk… srekkk… “Ini juga tidak bisa digunakan, Mbak”. Nora terlihat kebingungan. Diambil telepon genggam, dimintanya adiknya turun ke bawah. “Siska, sini sebentar. Kakak butuh bantuan. Kakak pinjam uangmu dulu ya, ini ada belanjaan yang harus dibayar.”

Karena keheranan kedua kartunya mati, Nora segera menelepon Budi dan mengajak ketemuan.

***

“Mas, kartuku kok gag bisa lagi Mas? Ada masalah ya?”

Aku menarik nafas dalam-dalam. Wajahmu tanpa dosa merengek-rengek meminta uang di depanku. Sungguh, kau pintar sekali bermain peran ketika itu. “Kau tak pantas memakai kartuku” Kataku bernada tinggi.

“Kenapa Mas, ada masalah denganku?”

Kulemparkan foto ke depan mukamu. Iya, mengenai tepat wajahmu. “Coba kau jelaskan ini siapa?”

Kau terdiam. Tanganmu kulihat bergetar. Keringat dingin mulai bercucuran. “Iniii……” Kau tak bisa menjelaskan.

“Kau selingkuh ya?” Tanyaku. Aku menatap tajam matamu. Aku ingin mengadilimu.

“Mas dapat ini dari mana?” Kau berusaha membantah.

“Dari Andi dan Susi. Mereka memergokimu. Aku tak pernah sekalipun menyuruh mereka membuntutimu. Tapi sepertinya, Tuhan kasihan padaku. Dia tidak ingin aku memberi hati kepada orang yang tidak bisa menjaga hati.”

“Maaa,,a,a,a,a,a,fff Mas, maaf. Aku janji tak mengulangi lagi.” Kau bersujud di depanku.

“Kau pikir cinta ada untuk dipermainkan? Mulai besok, bereskan barangmu. Aku sudah meminta petugas apartemen untuk mengusirmu dari sana. Maaf, takada lagi cinta di antara kita.”

Jakarta,

18 Oktober 2020

Catatan: Telah tayang pula di Kompasiana.com

Tinggalkan Balasan