“Mau pesan apa, Mbak?”
“Kopi hitam, Pak. Jangan manis-manis ya, atau tambahkan airnya agak banyak jika kopi sachet,” jelasku.
Sambil menunggu pesanan kopiku tiba? Aku memerhatikan kedai ini dan panorama indah yang membentang.
Ini salah satu serpihan surga. Hawa yang sejuk dengan panorama di sekitarku yang menawan.
Perjalanan itu selalu memiliki cerita. Bukan sekadar panorama indah, seperti perjalanan suatu ketika. Aku menemui berbagai hal yang menarik, ya setidaknya berkesan bagiku.
Kami merapat di sini. Di sebuah masjid yang nampak sepi dan terpisah dari bangunan lainnya. Mungkin akan kukisahkan masjid ini suatu ketika. Tak jauh dari masjid terdapat kedai yang menjual minuman.
Kopi panas itu tiba. Aku menyambutnya suka cita. Mataku sudah mulai padam, perlu amunisi untuk membuatnya terjaga. Perjalanan masih panjang dan kami akan terus melalui jalan berkelok-kelok curam sepanjang sekian kilometer mendatang.
Ah panorama ini. Sungguh indahnya. Lautan luas dengan latar gunung di belakangnya. Aku menyesap kopiku dengan menikmati pemandangan di sekitarku.
Kopi hitam panas selalu menyertai perjalanan panjang. Ia membantuku memberiku stamina. Rasa manis pahitnya kusukai sejak kanak-kanak, ia mengingatkanku pada rumah di kampung halaman, suguhan kopi nenek yang manis pahit dalam sebuah mug besar.
Jarum jam terus bergerak. Sudah pukul lima lewat, kami harus melanjutkan perjalanan.
Kusesap kopi yang mulai mendingin. Di depan kami terbentang jalan berliku yang harus kami lalui. Oh perjalanan ini seperti kehidupan riil, kadang-kadang kutemui jalan mulus dan kemudian jalan curam yang membuat kami ekstra hati-hati.
Kopi hitam itu memberiku tenaga.
—