- “Sesungguhnya matahari hidup kami memang masih di batas cakrawala tapi bukan matahari yang hampir terbenam melainkan fajar yang hampir menyingsing.” Mira W
Setiap langkah menghantarkan hasrat kehidupan. Hasrat itu akan fasih jika diramu dengan cita-cita paling lapang. Sejatinya hidup ini adalah pencarian jati diri. Menyematkan nama dan memberi identitas pada Universitas Kehidupan.
Aku terjebak atas khayalan paling nanar. Cita-cita yang ku lambungkan terlampau tinggi memberiku candu atas perjalanan paling dingin. Kakiku berjalan dari ufuk paling fajar. Menembus gelap gelombang malam, membuatku harus berlari mengejar terik matahari.
Pada sepertiga malam, ragaku terbangun di tengah gemerisik angin yang liar. Memandikan diri dalam dingin yang pekat semata hanya demi mengejar Ibu Kota. Di Ibu Kota ku gantungkan keyakinan, mengenyam pendidikan S2, dengan berbagai harapan dapat mengaktualisasi diri, menuju taman ilmu paling menawan.
Uraian episode tertata dengan elok. Ulat Baja adalah saksi yang paling memahami perjalananku.
Lantunan suara adzan dari kota Bogor terdengar rapi dalam bingkai ingatan. Suara itu adalah saksi sejati dalam merangkul subuh di Kota Hujan.
Perjalanan ini menciptakan rintih lelah yang berjuntai. Memaksa mata untuk terbangun di jam 2 pagi, serta harus berangkat di jam 3 pagi membuat fisik belajar agar bertahan dalam bugar. Stasiun Bogor adalah kenangan, ketika kaki berlari mengejar ulat Baja di jam 5 pagi.
Ada memori yang paling menyibak perhatian. Sebuah perjalanan pulang Yang di mulai pada jam 5 sore, membuatku tertinggal kereta Tanah Abang – Rangkasbitung. Akhirnya ku dapati kereta pulang yang beroperasi di jam 7 malam. Langkah kaki mulai gemetar, lecutan lelah menjambaki badan yang mulai gelisah. Gelisah atas waktu yang teramat larut.
Menit berlari menunjuk angka 11 malam. Di angka itu aku mencapai stasiunku. Ada resah yang berkecamuk, karena tak ku dapati angkutan umum arah pulang. Baterai Hp Yang tersisa satu persen, semakin membawa rasa pada gawai kesedihan.
Aku semakin bingung, memikirkan jalan keluar. Ku telpon suami tapi Hpnya tak kunjung berdering. Rasa letih semakin bergelantung membungkus badan. Betapa tidak, perjalanan yang di mulai dari gelap di akhiri dengan gelap.
Atas kegundahan itu, aku tulis sebuah status WA dengan caption “Terjebak di Stasiun Tenjo, dan bingung cara pulang” sedetik kemudian, Hp ku mati total.
Aku yang larut dalam bingung, akhirnya pasrah dan berserah. Ku bulatkan tekad untuk bermalam di Mushola. Satu do’a ku pada Tuhan, yaitu berikan keselamatan dari segala kejahatan.
30 menit berlalu, aku yang masih terduduk di kursi tunggu stasiun dikejutkan atas panggilan seseorang yang menyebut namaku.
Maha baik Allah atas segala pertolongan-Nya. Ternyata setelah ku tulis caption di SW ku, salah satu sahabatku membaca Status itu. Dia kebetulan perjalanan pulang dari Bogor. Setelah ia baca statusku, ia langsung mengarahkan laju mobilnya untuk mencariku. Hatiku tersentuh, betapa pertolongan itu begitu nyata.
Kita tak pernah tahu skenario Tuhan. Baik dan buruk, susah dan senang jalani dengan tawakal, niscaya Tuhan selalu memberi keajaiban.
-Bersambung-
#Karena Menulis Aku Ada (KMAA)
#Maydearly
Lebak, 7 September 2021