MAAFKAN (1)

Teruslah berlari, selagi kau ingin berlari jika tiba waktu kau berhenti dari rasa sakit yang mengunung maka berhenti dan ucapkan kata maaf yang tulus dari hatimu yang paling dalam. Seandainya semudah mengatakannya maka sudah dari lama luka yang mengangga di hati ini tidak lagi mengeluarkan darah dan tidak ada lagi rasa kecewa.

Langkahku melemah, sudah lelah aku berlari dan akhirnya aku harus mengalah dengan semuanya. Aku memandang nanar kedua insan yang kini telah sah di mata agama dan Negara. Senyumnya merekah dengan luka mengangga di dadaku, tak ada yang peduli dengan kehadiranku tapi mengapa aku dipaksa untuk menghadirinya.

Flashback.

“Hana tidak ada alasan.” Tinggi suara Ayah mengalahkan bunyi petir di siang hari.

“Apa kata undangan jika kakak dari penganti perempuan tidak hadir, Ayah sudah malu dengan hana yang sampai umur kepala tiga tidak juga menikah. Turunkan egomu, jangan sampai Ayah membuangmu dari keluarga.” Bentakan itu sungguh membuatku terluka.

Bukan niatku untuk tidak mau menikah, tapi takdir tak berpihak padaku. Lukaku belum sembuh masih basah pusara tunanganku, Ayah tahu itu. tapi Ayah sepertinya lupa dengan ivoria pernikahan Hani adikku.

“Sudah setahun Hana, jangan hanyut dengan kenangan. Jika Hana menerima pinangan Hanan tentu hari ini yang menikah Hana bukan Hani.” Ayah menabur garam di lukaku.

Hanan yang sekarang menjadi suami adikku Hani, pernah melamarku. Sebelumnya Hanan juga pernah menjadi pesaing cinta buat Riahan yang sekarang bersemadi dihati dan pusara yang menjadi luka hatiku sepanjang setahun ini.

Tidakkah Ayah percaya dengan takdir, jika kehendaknya maka semua yang sudah di genggaman akan lepas tanpa ada daya yang bisa menghalanginya.

Aku, Hanan, dan Raihan merupakan sahabat dari masa sekolah menengah atas. Kami bagaikan trio yang selalu bersama – sama. Keduanya aku menyatakan cinta kepadaku tapi hatiku hanya milik satu orang saja, tapi kami tetap bersahabat, hingga akhirnya Raihan harus meninggalkanku. Hanan dengan sejuta cintanya datang untuk mengobati lukaku, tapi waktu setahun belumnya lama sehingga dengan rasa berat hati aku menolak uluran tangan Hanan untuk menjadi obat atas lukaku.

 Entah karena apa, akhirnya Hanan meminta Hani kepada Ayah dan Ayah menyetujuinya, sejak hari dimana Hani mengatakan setuju atas lamaran Hanan rumah bagaikan neraka bagiku. Setiap hari ada saja yang salah di mata Ayah, apalagi kepulangan Hanan dari mengunjungi Ayah dan Hani tunangnya.

Aku masih mengingat seminggu sebelum mereka menikah, Ayah marah besar denganku tanpa alasan yang jelas.

“Hana di mana fikiranku, yang menikah nanti adikmu bukan orang lain yang bisa dengan seenaknya Hana tidak hadir.” Sorot mata Ayah sunggu memojokkanku

“Ayah, Hani sudah menolak untuk tugas kantor ke luar kota.” Ucapku tidak mau mengalah dengan Ayah

“Ayah jangan dengarkan kata orang, Hana baru saja sampai rumah, penat tapi sudah dituduh macam – macam. Dari siapa Ayah dengar Hani ke luar kota.” Dengan emosi tertahan, jika tidak mengingat rumah lagi banyak orang mungkin aku mengamuk dengan tuduhan Ayah yang tidak pada tempatnya.

“Kalau Ayah tidak mengingatkan, pasti Hana pergikan?” Tuding Ayah tanpa perasaan.

Selalu begitu, tuduhan yang tidak pada tempatnya. Entah apa yang telah merasuki jiwa Ayah sehingga ada saja salahku dimatanya.

Aku berdiri di sudut ruangan, setelah acara meminta restu yang dilakukan oleh adik dan adik iparku, sengaja aku berundur ke sudut ruangan. Ada rasa sesak di dada setelah tadi entah setan apa yang merasuki adik iparku disela – sela meminta restu dan doa

“Jika saja Hana mengatakan iya saat itu, maka hari ini kita yang sudah sah menjadi suami istri.” Ucapan yang tidak pantas diucapkan oleh seorang lelaki yang baru bergelar suami untuk seorang perempuan.(bersambung)

***

Tinggalkan Balasan

1 komentar