2 | Permintaan Demi Kebaikan
“Seharusnya tadi kamu pegang gitar.”
Suara pelan itu mampu melembutkan hati Ramadan Yusuf Rinjani; biasa dipanggil Rama Bodak karena berkulit putih berseri. Anak lelaki berusia tiga belas tahun itu tertunduk dalam duduknya di kursi. Dia terlihat memain-mainkan ujung baju adat berwarna hitam yang belum digantinya sejak sore tadi. Tatapan tajam pria berjubah putih itu benar-benar membuatnya tidak mempunyai pilihan selain diam meratapi kesalahan diri.
“Ingat, Rama! Tempatmu bukan di barisan joget, tetapi di belakang sound system. Percuma kamu latihan tiap hari kalau tidak berani tampil,” kata lelaki itu ketika menyadari buah hati satu-satunya itu mulai menangkap dan memahami perkataannya.
Rama masih bergeming. Posisi duduknya masih seperti semula tetap diam dalam hening.
Bapak Rama kembali meneruskan kata-katanya, “Atau jangan-jangan kamu sudah bosan bermain gitar?”
Rama menerjemahkan perkataan bapaknya dengan gelengan kepala. Pelan seolah pergerakan itu sama sekali tidak terlihat kasat mata.
“Kamu masih ingin bergabung dengan grup kecimol Bapak, kan?”
Ada harapan dalam kata-kata yang diucapkan bapaknya. Anak lelaki yang baru duduk di kelas VII Sekolah Menengah Pertama itu menganggukkan kepala. Seolah ingin menunjukkan kesungguhan dalam mewujudkan niatnya.
Bapaknya membetulkan letak peci putihnya, “Katakan jika memang kamu menginginkan. Jangan diam kalau kamu sudah tidak mau lagi melanjutkan.”
Dengan kekuatan yang tersisa dari perkelahian, anak lelaki berambut hitam tebal itu menjawab, “Saya masih ingin main kecimol, Pak.”
Bapaknya tidak menanggapi ucapan Rama. Pria yang biasa dipanggil Kak Tuan Yusuf itu justru meninggalkan Rama sendiri. Dia sengaja memberikan ruang kesendirian kepada Rama untuk berpikir kembali. Rama pun memahami hal itu sebagai kesempatan untuk menemukan pemahaman tentang kesalahan yang harus diperbaiki. Dia termenung sendirian sambil menatap kosong ke langit-langit ruang tamu yang bercat putih di seluruh sisi. Tatapannya melukiskan kegembiraan saat dia latihan memetik gitar setiap hari. Pandangannya menembus ingatan tentang pertama kalinya belajar memainkan gitar, terlebih menghafal setiap kunci. Sebutir air mata menetas dari sudut matanya ketika ingatannya melukis keriuhan saat nyongkolan sore tadi. Air mata itu menderas saat matanya tertumbuk pada seraut wajah, Rudi Solong, teman sebangkunya sekaligus bermain sehari-hari.
Tanpa disadari oleh Rama, dari arah pintu dapur dua orang perempuan berbeda usia sedang memperhatikannya dalam-dalam. Salah seorang yang lebih muda melangkah menujunya dalam diam. Perempuan bertubuh semampai itu pun akhirnya duduk di sampingnya setelah mengucapkan salam. Dengan lembut dia membelai rambut lebatnya yang hitam legam. Namun, Rama memilih untuk menghindar dalam diam. Tidak seperti biasanya ketika mereka sering bersama-sama menghabiskan malam.
“Kamu kenapa, Nak?” Perempuan berambut sebahu itu berusaha memecah kebisuan.
Rama menggelengkan kepala. Tanpa menjawab dia bergegas berdiri dan masuk kamarnya. Suara bantingan pintu membuat perempuan itu menggelengkan kepala.
Di dalam kamar, Rama mengganti pakaian. Sesaat setelahnya dia meninggalkan rumah dengan membawa gitar kesayangan. Malam ini dia memutuskan menginap di rumah teman sekelasnya, Ipang Jering; anak lelaki berambut keriting yang selalu siap sedia sebagai teman.
“Pang … Malam ini aku nginep sini, ya?” tanya Rama setiba di sebuah rumah sederhana milik temannya.
Ipang menjawab dengan ramah, “Boleh aja, sih. Asal kamu nyaman aja sama kamarku yang sempit ndak kayak kamarmu.”
Rama tersenyum kemudian mengikuti langkah Ipang masuk ke dalam rumah bagian belakang. Di sana mereka berdua menghabiskan malam dalam petikan gitar diikuti goyang. Keduanya terlihat kompak sebagai pemain musik pengisi malam panjang.
Suara itu mendadak lenyap saat terdengar teriakan dari dalam rumah, “Tidur woi! Besok sekolah! Sudah jam berapa ini!”
Ipang masih terlihat sibuk mengerjakan pekerjaan rumah ketika Rama melipat dirinya di kasur tipis sudut kamar. Dia memiringkan tubuhnya membelakangi Ipang Jering karena mengantuknya tidak lagi bisa ditawar. Kejadian demi kejadian hari ini cukup melelahkan pikiran sehingga menjadi tidak lancar. Tanpa disadarinya air mata meleleh dalam tidurnya yang dihantui mimpi buruk yang berpendar-pendar.
“Mamaakkk!”
Rama terbangun saat tengah malam. Dia membangunkan Ipang lalu pamit untuk pulang menembus kelam. Dengan mata berat Ipang pun mengantarkan Rama sampai depan rumah yang temaram.
Jalanan dibungkus sunyi ketika Rama menapak gang kecil berlapis paving block itu. Hawa dingin malam memeluk tubuhnya yang melangkah dengan sedikit terburu-buru. Tidak sampai lima menit, dia telah sampai di gerbang rumahnya yang masih tetap terlihat megah meskipun malam telah kelabu. Dia menarik tangannya kembali ketika hendak membuka gerbang yang tidak terkunci itu. Di tempatnya berdiri, dia termangu. Dari celah-celah gerbang, dia mengintip situasi untuk beberapa waktu. Pendar cahaya masih terlihat jelas di kamar mamaknya yang bercat biru. Dia berusaha menajamkan matanya ke arah jendela berwarna abu-abu. Dengan keyakinan penuh akhirnya dia membuka gerbang dan mulai menjejak halaman depan rumah yang sangat lapang itu.
“Ehem, ehem”
Suara deham itu membuat tubuhnya sedikit terlonjak ketika sampai di depan pintu rumahnya. Kayu mengilap berukir dengan ukuran tinggi itu bergetar seolah mempersilakan tuannya untuk membukanya.
“Masuklah, Nak!”
Dia kenal betul dengan suara itu. Dia pun sangat hafal dengan apa yang mamaknya lakukan. Dengan menundukkan kepala, dia membuka pintu pelan-pelan. Derit pintu mewakili perasaannya saat itu yang sudah tidak lagi tertahankan. Langkahnya terhenti ketika dia tiba tepat di depan mamaknya yang berdiri mematung tanpa kedipan.
“Kamu dari mana?”
Rama masih diam di depan pintu. Pertanyaan itu menjelma angin lalu. Gendang telinganya tidak bisa menangkap itu. Yang tertangkap justru dengkur bapaknya dari kamar tidak jauh dari situ. Dengkur keras itu mengugah kesadarannya bahwa malam terlalu larut untuk sebuah perdebatan yang justru akan membuat pikiran semakin kacau. Dia pun memutuskan untuk meninggalkan mamaknya yang langsung mengangkat bahu. Sebelum benar-benar hilang di balik pintu kamarnya, Rama masih sempat berkata, “Mamak berhenti apa jadi tukang joget.”
Angin malam bertiup sepoi ketika Rama menutup pintu kamarnya. Angin itu menerbangkan kata-kata anak lelaki itu ke telinga mamaknya. Kata-kata yang akhirnya mampu melukis air mata.
***