Mimpi yang Tertunda

Jum’at 13 Agustus 2021, sesuai arahan dokter, kami kembali ke rumah sakit berbekal semua hasil rekam medis plus paket berobat. Kami tidak sabar menunggu panggilan agar segera bertemu dokter dan mendapatkan informasi jadwal kemoterapi. Apa yang diharapkan ternyata jauh dari harapan.

Setelah bertemu dokter ternyata masih ada satu kendala utama sehingga belum mendapatkan jadwal kemoterapi. Apa kendala yang dimaksud? Kendala nya adalah hasil laboratorium cek darah suami sudah lewat 10 hari sementara syarat kemoterapi adalah minimal satu minggu. Terpaksa lah hari itu setelah konsultasi, saya meminta surat pengantar untuk cek darah ulang.

Lain yang diharap lain pula yang didapat. Kecewa pasti kecewa. Tapi apa boleh buat. Demi pengobatan suami semua prosedur harus di taati. Terlepas kecewa atau tidak tetap saja aturan tidak bisa diabaikan.

Kemungkinan yang bisa saya simpulkan adalah sewaktu konsultasi yang terakhir, fokus dokter adalah memeriksa semua hasil rekam medis sehingga hasil laboratorium terlewati. Kami sendiri pun belum mengerti akan syarat dan prosedurnya karena ini adalah kali pertama berurusan langsung dalam pengobatan seperti ini.

Tidak ada yang perlu disalahkan, semua sudah ketetapannya, semoga kejadian demi kejadian yang dialami memberi hikmah tersendiri bagi kami. Jika bukan hari ini mungkin esok atau lusa. Sebagai manusia tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanya milikNya seorang.

Setelah mendapatkan surat pengantar, kami pun undur diri. Kami langsung mendaftarkan diri untuk periksa darah. Berhubung waktu istirahat, kami memilih pulang ke rumah singgah dan akan kembali jam satu siang.

Menghabiskan waktu, saya memilih beristirahat. Saya merasa sangat lelah dan letih. Sehingga perlu waktu untuk menyegarkan pikiran dan jiwa. Tepat jam satu, kami sampai di laboratorium, saya berjalan lebih dulu mau memastikan nomor antrian berapa yang terakhir dipanggil. Ternyata antrian berikutnya adalah nomor antrian suami sehingga suami tidak perlu lama menunggu.

Saya memanggil suami. Suami berdiri di depan pintu lab menunggu pintu terbuka. Tak lama kemudian petugas pun memanggil nomor antrian berikutnya yaitu nomor antrian suami. Suamipun menunjukkan nomor antrian dan dipersilahkan masuk.

Selanjutnya saya tidak tahu apa yang terjadi karena akses masuk ditutup. Setelah pengambilan sampel darah, suami pun keluar dan memberikan bukti untuk pengambilan hasil lab nanti nya dan hasil laboratorium itu sendiri baru bisa diambil hari Senin berikutnya.

Saya sebenarnya nya tidak sekuat yang terlihat. Saya hanya menguatkan diri agar sanggup menjalani cobaan ini. Terlalu berat untuk ku pikul sendiri, belum lagi urusan anak-anak yang jauh di sana. Entah sampai kapan bisa bertahan. Untung aktivitas menulis mampu menghilangkan segala gundah dan resah. Meskipun tidak sepenuh nya. Paling tidak ada tempat pelampiasan segala rasa sehingga titik jenuh juga ikut terbuang dan hanyut dalam goresan pena.

Dalam setiap doa, aku memohon kepada Allah SWT, agar senantiasa menjaga anak-anak kami, memaafkan segala kesalahan kami, serta diangkat dan disembuhkan penyakit suami. Tiada upaya yang paling baik selain berserah kepada-Nya. Ketika penyerahan diri inilah segala beban terasa hilang. Dialah Tuhan Sang Penguasa hati manusia.

Semoga harapan dan semua doa kami akan dikabulkan Allah SWT. Semoga kami senantiasa berada di jalan-Nya. Saya yakin dan percaya Tuhan Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan Maha Sempurna. Dia tahu yang terbaik untuk umat-Nya karena Dia Penguasa Alam Semesta.

Tinggalkan Balasan